Penulis: Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.
Abstrak:
Kajian mengenai restrukturisasi BUMN merupakan
kajian yang menarik sebab berdasarkan sejarah perkembangan
BUMN di Indonesia telah mengalami pasang surut sejak awal
kemerdekaan hingga saat ini. Peran strategis yang dimiliki BUMN
dalam mendukung perekonomian dan pembangunan nasional,
mendorong pemerintah selalu melakukan pembenahan melalui
kebijakan-kebijakan strategisnya. Restrukturisasi BUMN
menjadi salah satu langkah pemerintah dalam menyehatkan
kinerja BUMN. Terlebih era pascapandemi Covid-19 menjadi
momen yang tepat bagi BUMN dalam melakukan restrukturisasi
untuk memperkuat posisi bisnis BUMN dan meningkatkan
kontribusi kepada negara. Setidaknya sampai dengan tahun
2022 telah terbentuk 12 (duabelas) holding BUMN yang terbagi
dalam sektor-sektor. Holding Ultra Mikro yang terdiri dari PT
BRI, PT Pegadaian dan PT PNM merupakan salah satu kebijakan
pemerintah untuk memastikan terjaminnya penyaluran
pembiayaan bagi pelaku usaha, karena saat ini ada banyak
pelaku usaha mikro dan kecil yang belum memperoleh akses
kredit dari lembaga perbankan.
Hasil kajian memperlihatkan beberapa poin penting
dalam pembentukan Holding Ultra Mikro dan dampaknya
terhadap pemberdayaan UMKM, yaitu: Pertama, UU
Perseroan Terbatas belum mengatur secara eksplisit mengenai pembentukan holding perseroan, namun secara khusus
pembentukan holding perusahaan BUMN mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu UU No. 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, sebagaimana
diubah dengan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
dan PP No. 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan
Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara
sebagaimana telah diubah dengan PP No. 72 Tahun 2016. Sesuai
ketentuan UU BUMN bahwa setiap perubahan penyertaan
modal negara berupa penambahan struktur kepemilikan
negara atas saham BUMN, ditetapkan dengan suatu peraturan
pemerintah. Mengacu pada ketentuan tersebut, Pemerintah
membentuk PP No. 73 Tahun 2021 tentang Penambahan
Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam
Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Bank
Rakyat Indonesia Tbk., sebagai dasar hukum pembentukan
Holding Ultra Mikro. Dalam hal ini, Negara Republik
Indonesia melakukan penambahan Penyertaan Modal Negara
di BRI dengan cara melakukan inbreng atas saham-saham
seri B yang dimiliki negara pada PT Pegadaian dan PT PNM.
Konsekuensi hukum pembentukan Holding Ultra Mikro
melalui penambahan penyertaan modal negara tersebut, yaitu
status PT Pegadaian dan PT PNM berubah menjadi perseroan
terbatas yang sepenuhnya tunduk pada UU PT, namun negara
masih memiliki kewenangan untuk mengontrol kinerja PT
Pegadaian dan PT PNM melalui kepemilikan Saham Seri A
Dwiwarna.
Penulis: Monika Suhayati, S.H., M.H.
Abstrak:
Kajian mengenai restrukturisasi BUMN merupakan
kajian yang menarik sebab berdasarkan sejarah perkembangan
BUMN di Indonesia telah mengalami pasang surut sejak awal
kemerdekaan hingga saat ini. Peran strategis yang dimiliki BUMN
dalam mendukung perekonomian dan pembangunan nasional,
mendorong pemerintah selalu melakukan pembenahan melalui
kebijakan-kebijakan strategisnya. Restrukturisasi BUMN
menjadi salah satu langkah pemerintah dalam menyehatkan
kinerja BUMN. Terlebih era pascapandemi Covid-19 menjadi
momen yang tepat bagi BUMN dalam melakukan restrukturisasi
untuk memperkuat posisi bisnis BUMN dan meningkatkan
kontribusi kepada negara. Setidaknya sampai dengan tahun
2022 telah terbentuk 12 (duabelas) holding BUMN yang terbagi
dalam sektor-sektor. Holding Ultra Mikro yang terdiri dari PT
BRI, PT Pegadaian dan PT PNM merupakan salah satu kebijakan
pemerintah untuk memastikan terjaminnya penyaluran
pembiayaan bagi pelaku usaha, karena saat ini ada banyak
pelaku usaha mikro dan kecil yang belum memperoleh akses
kredit dari lembaga perbankan.
Hasil kajian memperlihatkan beberapa poin penting
dalam pembentukan Holding Ultra Mikro dan dampaknya
terhadap pemberdayaan UMKM, yaitu: Pertama, UU
Perseroan Terbatas belum mengatur secara eksplisit mengenai pembentukan holding perseroan, namun secara khusus
pembentukan holding perusahaan BUMN mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu UU No. 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, sebagaimana
diubah dengan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
dan PP No. 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan
Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara
sebagaimana telah diubah dengan PP No. 72 Tahun 2016. Sesuai
ketentuan UU BUMN bahwa setiap perubahan penyertaan
modal negara berupa penambahan struktur kepemilikan
negara atas saham BUMN, ditetapkan dengan suatu peraturan
pemerintah. Mengacu pada ketentuan tersebut, Pemerintah
membentuk PP No. 73 Tahun 2021 tentang Penambahan
Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam
Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Bank
Rakyat Indonesia Tbk., sebagai dasar hukum pembentukan
Holding Ultra Mikro. Dalam hal ini, Negara Republik
Indonesia melakukan penambahan Penyertaan Modal Negara
di BRI dengan cara melakukan inbreng atas saham-saham
seri B yang dimiliki negara pada PT Pegadaian dan PT PNM.
Konsekuensi hukum pembentukan Holding Ultra Mikro
melalui penambahan penyertaan modal negara tersebut, yaitu
status PT Pegadaian dan PT PNM berubah menjadi perseroan
terbatas yang sepenuhnya tunduk pada UU PT, namun negara
masih memiliki kewenangan untuk mengontrol kinerja PT
Pegadaian dan PT PNM melalui kepemilikan Saham Seri A
Dwiwarna.
Penulis: Marfuatul Latifah, S.H.I., LL.M.
Abstrak:
Kajian mengenai restrukturisasi BUMN merupakan
kajian yang menarik sebab berdasarkan sejarah perkembangan
BUMN di Indonesia telah mengalami pasang surut sejak awal
kemerdekaan hingga saat ini. Peran strategis yang dimiliki BUMN
dalam mendukung perekonomian dan pembangunan nasional,
mendorong pemerintah selalu melakukan pembenahan melalui
kebijakan-kebijakan strategisnya. Restrukturisasi BUMN
menjadi salah satu langkah pemerintah dalam menyehatkan
kinerja BUMN. Terlebih era pascapandemi Covid-19 menjadi
momen yang tepat bagi BUMN dalam melakukan restrukturisasi
untuk memperkuat posisi bisnis BUMN dan meningkatkan
kontribusi kepada negara. Setidaknya sampai dengan tahun
2022 telah terbentuk 12 (duabelas) holding BUMN yang terbagi
dalam sektor-sektor. Holding Ultra Mikro yang terdiri dari PT
BRI, PT Pegadaian dan PT PNM merupakan salah satu kebijakan
pemerintah untuk memastikan terjaminnya penyaluran
pembiayaan bagi pelaku usaha, karena saat ini ada banyak
pelaku usaha mikro dan kecil yang belum memperoleh akses
kredit dari lembaga perbankan.
Hasil kajian memperlihatkan beberapa poin penting
dalam pembentukan Holding Ultra Mikro dan dampaknya
terhadap pemberdayaan UMKM, yaitu: Pertama, UU
Perseroan Terbatas belum mengatur secara eksplisit mengenai pembentukan holding perseroan, namun secara khusus
pembentukan holding perusahaan BUMN mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu UU No. 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, sebagaimana
diubah dengan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
dan PP No. 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan
Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara
sebagaimana telah diubah dengan PP No. 72 Tahun 2016. Sesuai
ketentuan UU BUMN bahwa setiap perubahan penyertaan
modal negara berupa penambahan struktur kepemilikan
negara atas saham BUMN, ditetapkan dengan suatu peraturan
pemerintah. Mengacu pada ketentuan tersebut, Pemerintah
membentuk PP No. 73 Tahun 2021 tentang Penambahan
Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam
Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Bank
Rakyat Indonesia Tbk., sebagai dasar hukum pembentukan
Holding Ultra Mikro. Dalam hal ini, Negara Republik
Indonesia melakukan penambahan Penyertaan Modal Negara
di BRI dengan cara melakukan inbreng atas saham-saham
seri B yang dimiliki negara pada PT Pegadaian dan PT PNM.
Konsekuensi hukum pembentukan Holding Ultra Mikro
melalui penambahan penyertaan modal negara tersebut, yaitu
status PT Pegadaian dan PT PNM berubah menjadi perseroan
terbatas yang sepenuhnya tunduk pada UU PT, namun negara
masih memiliki kewenangan untuk mengontrol kinerja PT
Pegadaian dan PT PNM melalui kepemilikan Saham Seri A
Dwiwarna.
Penulis: YOSEPHUS MAINAKE, M.H.
Abstrak:
Kajian mengenai restrukturisasi BUMN merupakan
kajian yang menarik sebab berdasarkan sejarah perkembangan
BUMN di Indonesia telah mengalami pasang surut sejak awal
kemerdekaan hingga saat ini. Peran strategis yang dimiliki BUMN
dalam mendukung perekonomian dan pembangunan nasional,
mendorong pemerintah selalu melakukan pembenahan melalui
kebijakan-kebijakan strategisnya. Restrukturisasi BUMN
menjadi salah satu langkah pemerintah dalam menyehatkan
kinerja BUMN. Terlebih era pascapandemi Covid-19 menjadi
momen yang tepat bagi BUMN dalam melakukan restrukturisasi
untuk memperkuat posisi bisnis BUMN dan meningkatkan
kontribusi kepada negara. Setidaknya sampai dengan tahun
2022 telah terbentuk 12 (duabelas) holding BUMN yang terbagi
dalam sektor-sektor. Holding Ultra Mikro yang terdiri dari PT
BRI, PT Pegadaian dan PT PNM merupakan salah satu kebijakan
pemerintah untuk memastikan terjaminnya penyaluran
pembiayaan bagi pelaku usaha, karena saat ini ada banyak
pelaku usaha mikro dan kecil yang belum memperoleh akses
kredit dari lembaga perbankan.
Hasil kajian memperlihatkan beberapa poin penting
dalam pembentukan Holding Ultra Mikro dan dampaknya
terhadap pemberdayaan UMKM, yaitu: Pertama, UU
Perseroan Terbatas belum mengatur secara eksplisit mengenai pembentukan holding perseroan, namun secara khusus
pembentukan holding perusahaan BUMN mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu UU No. 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, sebagaimana
diubah dengan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
dan PP No. 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan
Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara
sebagaimana telah diubah dengan PP No. 72 Tahun 2016. Sesuai
ketentuan UU BUMN bahwa setiap perubahan penyertaan
modal negara berupa penambahan struktur kepemilikan
negara atas saham BUMN, ditetapkan dengan suatu peraturan
pemerintah. Mengacu pada ketentuan tersebut, Pemerintah
membentuk PP No. 73 Tahun 2021 tentang Penambahan
Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam
Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Bank
Rakyat Indonesia Tbk., sebagai dasar hukum pembentukan
Holding Ultra Mikro. Dalam hal ini, Negara Republik
Indonesia melakukan penambahan Penyertaan Modal Negara
di BRI dengan cara melakukan inbreng atas saham-saham
seri B yang dimiliki negara pada PT Pegadaian dan PT PNM.
Konsekuensi hukum pembentukan Holding Ultra Mikro
melalui penambahan penyertaan modal negara tersebut, yaitu
status PT Pegadaian dan PT PNM berubah menjadi perseroan
terbatas yang sepenuhnya tunduk pada UU PT, namun negara
masih memiliki kewenangan untuk mengontrol kinerja PT
Pegadaian dan PT PNM melalui kepemilikan Saham Seri A
Dwiwarna.
Penulis: RAIS AGIL BAHTIAR, S. S., M.Si.
Abstrak:
Peran industri pariwisata sebagai salah satu penghasil
devisa terbesar, sering kurang optimal dalam menggerakkan
sektor perekonomian. Slah satu penyebabnya adalah kurang
berkembangnya industri pariwisata di daerah karena mengalami
kendala kurangnya koordinasi di antara para pemangku
kepentingan. Sehubungan dengan itu, peran pemerintah dalam
pengembangan pariwisata diharapkan mampu memberikan
berbagai kemudahan melalui kebijakan yang dapat dilaksanakan
di lapangan serta mampu mendukung semua pemangku
kepentingan untuk bekerja sama mengembangkan pariwisata. Dalam pengelolaan dan pengembangan pariwisata, diperlukan
suatu kordinasi dan kolaborasi antara pihak pemerintah, pelaku
bisnis pariwisata, komunitas, akademisi, serta media dalam
mengembangkan potensi wisata, dimana kerja sama tersebut
disebut dengan kolaborasi Pentahelix.
Dalam mendorong terwujudnya kolaborasi dari
kelima elemen ini, pemerintah harus menerapkan konsep
pemerintahan kolaboratif untuk menginisiasi hubungan antara
pemerintah dengan berbagai komponen pemangku kepentingan
dalam pengembangan pariwisata. Dalam kasus pengembangan
pariwisata berbasis komunitas, peran pemerintah sangat
penting dalam memulai pengembangannya maupun untuk
menyediakan insentif bagi pemangku kepentingan agar muncul
minat untuk turut serta secara bersama-sama mengembangkan
pariwisata yang dapat menarik kunjungan, baik dari wisatawan
domestic maupun dari mancanegara.
Penulis: Masyithah Aulia Adhiem, S.Si, M.E.
Abstrak:
Pandemi Covid-19 telah menyebabkan perubahan
signifikan pada industri pariwisata. Pembatasan kegiatan
masyarakat, faktor keamanan kesehatan, dan penutupan
lalu lintas antar negara merupakan beberapa faktor yang
melatarbelakangi terhentinya kegiatan pariwisata selama masa
pandemi Covid-19 di Indonesia maupun global. Pukulan berat
dirasakan hampir di seluruh sektor pendukung pariwisata,
menyebabkan tingginya gelombang pemberhentian operasional
kegiatan, pemutusan kerja. Pariwisata menjadi salah satu
industri yang menerima pukulan berat akibat pandemi dan saat
ini berada dalam tahap pemulihan untuk bisa bangkit kembali.
Pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan, baik
yang bersifat preventif untuk menahan laju penyebaran virus
sekaligus mengatasi dampak yang terjadi akibat pandemi.
Langkah pemerintah tersebut memberikan peluang bagi
pengembangan desa wisata. Adapun pengembangan desa
wisata tidak dapat dilakukan parsial secara sepihak, namun
harus melibatkan seluruh elemen stakeholders baik masyarakat
setempat, pemerintah, maupun swasta/industri pendukung.
Bersamaan dengan semakin melandainya dampak
pandemi Covid-19, berbagai kebijakan pelonggaran pergerakan
orang juga dilakukan. Hal tersebut direspon baik oleh
masyarakat, termasuk untuk menggiatkan kembali kegiatan
wisata, baik di dalam maupun luar kota, termasuk ke luar negeri.
Peningkatan kunjunganwisman mulai meningkat pasa saat
memasuki kuartal kedua di tahun 2022. Selain itu pemerintah
juga sudah menerapkan kebijakan bebas visa untuk negara-
negara anggota ASEAN. Untuk beberapa negara lain telah
mulai diterapkan visa on arrival sebagai bentuk kemudahan
berpariwisata ke Indonesia. Hasilnya mulai terlihat, musalnya
pada bulan Juli 2022 tercatat kenaikan wisman yang berkunjung
ke Indonesia yang cukup signifikan
Penulis: Sony Hendra Permana, S.E., M.S.E.
Abstrak:
Pandemi Covid-19 memberikan dampak signifikan
terhadap penurunan kinerja sektor pariwisata di Indonesia.
Pelaku usaha di sektor ini kehilangan pekerjaan akibat berkurang
atau bahkan tidak adanya aktivitas pengunjung obyek wisata
akibat adanya pembatasan mobilitas masyarakat.
Bagi masyarakat di desa wisata, ternyata pandemi
tidak menghilangkan seluruh pekerjaan masyarakat karena
sesungguhnya pekerjaan utama masyarakat di desa wisata
adalah sebagai petani, pengrajin, pekerja swasta, dan lain-
lain. Dengan demikian, sesungguhnya masyarakat desa wisata
memiliki kemandirian yang berlandasrkan potensi sumber daya lokal, jauh sebelum adanya pandemi. Kegiatan pariwisata
di desa merupakan suatu inovasi penciptaan kesempatan kerja,
peningkatan pendapatan masyarakat, dan perekonomian desa
berbasis kekayaan sumber daya atau agro-ekosistem setempat.
Pemerintah dan pemerintah daerah terus berupaya untuk
mengembangkan desa wisata sebagai bagian dari pengembangan
10 Destinasi Pariwisata Prioritas maupun menjadikan desa wisata
sebagai pariwisata alternatif, yang mengedepankan wisata alam,
budaya, keunikan, atau karakteristik lokal di daerah. Desa wisata
menyediakan tujuan wisata bagi wisatawan yang tidak ingin
berkunjung ke tempat ramai, yang lebih bersahabat dengan alam
dan masyarakat lokal.
Meskipun masyarakat desa wisata dapat lebih bertahan
terhadap guncangan (shock) yang diakibatkan oleh pandemi
Covid-19, namun kunjungan wisatawan ke desa wisata tetap
mengalami penurunan. Kunjungan wisata hanya mengandalkan
dari wisatawan lokal saja sehingga pendapatan tambahan
masyarakat dari kegiatan sektor ini menurun.
Pada aspek ketahanan masyarakat, sesungguhnya
masyarakat di Desa Wisata lebih kuat dibandingkan masyarakat
di desa lainnya atau di perkotaan. Hal ini terlihat dari ketahanan
pangan masyarakat di desa wisata berbasis pertanian yang
secara umum mampu memenuhi kebutuhan pangannya dari
usaha pertanian, perkebunan, dan peternakan yang dihasilkan
sendiri. Sementara pada aspek ketahanan pekerjaan, bahwa
pekerjaan utama masyarakat desa wisata merupakan di sektor
pertanian, sehingga tidak terganggu adanya pandemi. Di
Desa Wisata berbasis non pertanian, ketahanan pangan dan
ketahanan pekerjaan sedikit terganggu, karena ada penurunan
aktivitas ekonomi. Pada aspek ketahanan kesehatan, kasus
terjadi infeksi Covid-19 jauh lebih rendah karena mobilitas
masyarakat hanya bersifat lokal, dengan pola hidup yang sehat
dan fasilitas kesehatan dasar yg tersedia.
Penulis: Anih Sri Suryani, S.Si., M.T.
Abstrak:
Tujuan 15 dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
yaitu melindungi, merestorasi dan meningkatkan pemanfaatan
berkelanjutan ekosistem daratan, mengelola hutan secara
lestari, menghentikan penggurunan, memulihkan degradasi
lahan, serta menghentikan kehilangan keanekaragaman hayati.
Dalam pelaksanaannya Tujuan 15 yang terkait pengelolaan
dan pelestarian SDG hingga saat ini sudah melampaui target
yang ditetapkan, baik untuk indikator 25 hewan yang terancam
punah, maupun indikator ketersediaan kerangka administrasi
dan kebijakan untuk memastikan pembagian keuntungan yang
merata yang adil.
Keanekaragaman hayati Indonesia telah dimanfaatkan,
baik secara langsung dari alam, maupun melalui kegiatan
budi daya. Namun demikian masih banyak yang perlu digali
potensinya, dan masih banyak lagi kegiatan pemanfaatan
yang harus di benahi, untuk menjadikan kekayaan nasional
ini sebagai aset pembangunan yang berkelanjutan. Untuk
itu pengetahuan yang mendasar mengenai besar dan sifat
kekayaan nasional ini perlu ditingkatkan dengan memanfaatkan
pengetahuan tradisional maupun teknologi yang sesuai sebagai
dasar pengembangan pemanfaatan secara lestari.
Keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia
merupakan aset negara yang menjadi tanggung jawab bersama
untuk dikelola secara optimal dan berkelanjutan. Untuk menjaga keanekaragaman hayati pemerintah hendaknya terus berupaya
melakukan penyelamatan terhadap tumbuhan dan satwa liar
melalui teknik dan strategi konservasi keanekaragaman hayati
pada berbagai bentukan lanskap dan. Bentang alamnya, namun
perlu ditingkatkan lagi dan dilaksanakan secara lebih terpadu
dan luas.
Guna mengoptimalisasi pengelolaan SDG di Indonesia
serta menjaga kedaulatan negara atas kekayaan alamnya,
beberapa hal yang perlu untuk terus dikembangkan antara lain:
memperkuat kompetensi domestik; meningkatkan investasi di
bidang riset, ilmu pengetahuan teknologi dan inovasi mengenai
SDG; meningkatkan kerjasama multipihak baik dengan
pemangku kepentingan nasional maupun internasional, serta
dengan penguatan mekanisme dan kerja sama internasional.
Penulis: Sri Nurhayati Qodriyatun, S.Sos., M.Si.
Abstrak:
-
Penulis: Teddy Prasetiawan, S.T., M.T.
Abstrak:
-
Penulis: Masyithah Aulia Adhiem, S.Si, M.E.
Abstrak:
-
Penulis: Denico Doly, S.H., M.Kn.
Abstrak:
-
Penulis: Novianti, S.H., M.H.
Abstrak:
Pengakuan dan perlindungan terhadap kesatuan
masyarakat hukum adat termasuk tanah ulayat secara tegas
dinyatakan dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 3
UUPA dengan memberikan persyaratan dan pembatatasan
yakni sepanjang masih ada, harus sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan kepentingan nasional dan negara. Beragamnya
istilah hak ulayat yang digunakan di seluruh wilayah Indonesia.
Seperti di Sumatera Barat menggunakan beberapa istilah
tanah ulayat suku, tanah ulayat kaum, tanah ulayat keluarga,
dan tanah ulayat nagari .Demikian juga di Provinsi banten
menggunakan istilah tanah ulayat masyarakat Baduy. Adanya
beragam istilah tersebut karnanya UUPA tidak secara limitatif
menyebutnya dengan hak ulayat saja, namun ”hak ulayat dan
hak-hak serupa itu. Namun dalam kenyataannya hak ulayat
yang dimaksud dalam Pasal 3 UUPA dalam masyarakat hukum
adat Minangkabau hanya hak ulayat nagari yang sesuai dengan
ketentuan Pasal 3 UUPA tersebut. sementara itu ulayat suku,
kaum dan keluarga bukanlah merupakan suatu hak ulayat tetapi
sebagai tanah milik adat, baik yang bersifat komunal maupun
pribadi.
Penulis: Dian Cahyaningrum, S.H.. M.H.
Abstrak:
Investasi baik di Sumbar maupun di Banten terus
meningkat meskipun hingga kini masih terjadi pandemi
Covid-19. Bahkan realisasi investasi di kedua provinsi tersebut
pada tahun 2020 telah melampaui target. Investasi tersebut
membutuhkan tanah yang bisa beraasal dari tanah ulayat.
Pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan investasi dapat
dilakukan melalui kerjasama antara lain dalam bentuk
perolehn saham, bagi hasil, dan sewa menyewa. Kerjasama
tersebut tidak hanya mendatangkan keuntungan bagi investor,
melainkan juga kesejahteraan bagi masyarakat adat. Selain
itu, tanah ulayat juga kembali dikuasai atau dimiliki oleh
masyarakat adat setelah perjanjian pemanfaatan tanah ulayat
untuk investasi berakhir dan tidak diperpanjang. Namun
pada tataran empiris, baik di Sumbar maupun Lebak Banten
terjadi jual beli tanah ulayat untuk investasi. Tanah yang
dikuasai oleh investor melalui jual beli tersebut menjadi tanah
negara setelah jangka waktu HGU telah berakhir dan tidak
diperpanjang atau diperbarui lagi oleh investor. Oleh karena
itu tanah ulayat dikhawatirkan habis ke depannya. Terkait
dengan hal tersebut, PP No. 18 Tahun 2021 yang mengatur hak
pengelolaan masyarakat adat atas tanah ulayatnya diharapkan
dapat mengatasi masalah tersebut. Melalui hak pengelolaan
diharapkan tanah ulayat dapat dikerjasamakan dengan baik
untuk kepentingan investasi.
Penulis: Luthvi Febryka Nola, S.H., M.Kn.
Abstrak:
Sengketa pemanfaatan tanah ulayat yang melibatkan
investor marak terjadi di Sumatera Barat. Penyebab maraknya
sengketa adalah adanya permasalahan dengan hukum berupa
ketidakjelasan dan ketidaksingkronan aturan; keberpihakan
aparat dan pemuka adat; tidak adanya bukti outentik pemilikan
tanah ulayat dan posisi tanah yang tersebar diseluruh wilayah
provinsi; melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap
pemuka adat; buruknya komunikasi; dan budaya tutur dan
ikut campur suami. Jika dibandingkan dengan Sumatera
Barat, sengketa di Provinsi Banten jumlahnya jauh lebih kecil
karena peran pemuka adat masih sangat kuat; relasi baik antar
pemuka adat dengan pemerintah; posisi masyarakat adat yang
terlokalisir dan terpencil serta budaya yang sangat menjunjung
kelestarian alam.
Penulis: Drs. Simela Victor Muhammad, M.Si.
Abstrak:
Parlemen, sebagai representasi rakyat dan aktor hubungan
internasional, sudah seharusnya mengambil peran dalam ikut
mengupayakan terwujudnya perdamaian di Ukraina. Perang
Rusia dan Ukraina telah menimbulkan dampak luar biasa bagi
kelangsungan hidup warga Ukraina, dan juga dampak secara
geopolitik dan geoekonomi, bahkan secara global, terutama
terkait dengan kelangsungan rantai pasok komoditas pangan
yang berasal dari kedua negara yang sedang berperang tersebut.
Sekjen PBB, Antonio Guterres, pernah mengingatkan bahwa
konflik dapat berdampak jauh di luar Ukraina, menyebabkan
badai kelaparan dan kehancuran sistem pangan global. Oleh
karena itu, menjadi kewajiban masyarakat internasional,
termasuk parlemen melalui IPU, untuk ikut mengupayakan
terwujudnya perdamaian di Ukraina.
Meski tidak mudah mengupayakan perdamaian di
Ukraina, setidaknya melalui Task Force IPU, parlemen termasuk
DPR RI telah berupaya menegakkan dan mengimplementasikan
visi berdirinya IPU yang meyakini bahwa tatanan internasional
yang lebih damai adalah sangat mungkin terwujud jika negara-
negara dapat menyelesaikan perbedaan atau perselisihan di
antara mereka melalui dialog, dan bukan perang. Upaya DPR
RI sebagai tuan rumah Sidang IPU Bali dan sebagai anggota
Task Force IPU yang aktif menyuarakan pentingnya diplomasi
parlemen dan membuka ruang dialog antara Parlemen Rusia
dan Parlemen Ukraina untuk mengakhiri konflik menjadi
catatan tersendiri dalam perjalanan diplomasi DPR RI.
Penulis: Dr. Ariesy Tri Mauleny, S.Si., M.E.
Abstrak:
Tanda-tanda fisik dan dampak sosial ekonomi perubahan
iklim semakin nyata karena konsentrasi rumah kaca dan
emisi karbon telah mendorong kenaikan suhu global rata-rata
mencapai 1,1oC. Kenaikan memicu peningkatan intensitas,
frekuensi, dan durasi bencana hidrometerologi, iklim ekstrem,
serta krisis pangan dan energi. Ancaman global tersebut
mendorong lahirnya kesepakatan dan komitmen banyak negara
untuk mempertimbangkan keberlanjutan dan aksi iklim dalam
setiap aktivitas ekonomi yang dilakukan.
Deklarasi Nusa Dua yang disepakati dalam Sidang
IPU ke 144 di Bali menjadi wujud komitmen parlemen
melakukan akselerasi pembangunan berkelanjutan dan aksi
iklim yang harus diwujudkan dalam setiap tahapannya. IPU
memandang setidaknya ada dua fokus yang harus disiapkan
untuk memastikan dapat terwujud, yaitu: pertama, penyiapan
SDM bagi aksi iklim dan pembangunan berkelanjutan yang
memerhatikan keterbukaan dan kemudahan akses pendidikan
dan kesehatan. Disamping membangun transformasi teknologi
digital nasional, IPU terus mendorong lahirnya Anggota
Parlemen Muda dalam sebagai penyuara keberlanjutan.
Kedua, Akuntabilitas parlemen dalam aksi iklim dan
pembangunan berkelanjutan, yang dilihat dari 2 aspek yaitu
akuntabilitas dalam IPU Bali dan Akuntabilitas Indonesia
hari ini. Menghadapi ancaman perubahan iklim, tidak bisa
dilakukan hanya dengan deklarasi atau komitmen, butuh aksi
nyata berkelanjutan yang terukur akuntabilitasnya.
Penulis: Dr. Rohani Budi Prihatin, S.Ag., M.Si.
Abstrak:
Setiap tahun, dampak negatif perubahan iklim menjadi
lebih intens. Setiap tahun, ia membawa lebih banyak
kesengsaraan dan rasa sakit untuk ratusan juta orang di seluruh
dunia. Setiap tahun, ia menjadi peringatan akan konsekuensi
yang lebih berat di masa yang akan datang. Kita semua dalam
kondisi darurat perubahan iklim. Saat ini, konsentrasi gas rumah
kaca (GRK) di atmosfer menyebabkan suhu global meningkat
dengan sejumlah dampak dan konsekuensi bencana. Dunia
sedang menuju kenaikan lebih dari 3°C pada abad ini. Ini adalah
rata-rata global yang mencakup variasi ekstrim di seluruh
wilayah dan musim sehingga terjadi cuaca ekstrim yang lebih
parah seperti terlihat pada banyaknya kasus banjir, kekeringan,
kebakaran hutan, dan angin topan.
Pemerintah Indonesia, sebagaimana dikutip dari laporan
IPU di Bali, dalam posisi mendorong semua negara agar
berkontribusi sesuai kapasitas masing-masing dan menjadi
bagian dari solusi. Indonesia sendiri selalu berkomitmen untuk
mencapai target pengurangan emisi secara nasional. Ke depan,
diperlukan komitmen semua pihak dalam mengurangi laju
pemanasan global dan menangani dampak perubahan iklim
yang semakin dirasakan di berbagai pelosok dunia.
Penulis: Monika Suhayati, S.H., M.H.
Abstrak:
Deklarasi Nusa Dua sebagai suatu soft law tidak memiliki
kekuatan hukum yang mengikat, namun waktu penyusunan yang
diperlukan jauh lebih singkat dibandingkan suatu perjanjian
internasional yang bersifat mengikat. Dalam implementasinya,
Deklarasi Nusa Dua cenderung kurang efektif karena tidak
mengikat negara yang terlibat dalam proses pembentukannya
dan tidak dapat ditegakkan secara hukum. Walaupun demikian, pembentukan Deklarasi Nusa Dua memiliki arti sangat penting
sebagai bentuk pernyataan anggota Parlemen berbagai negara
untuk berupaya memastikan pemenuhan komitmen iklim
sebagaimana telah disepakati dalam beberapa perjanjian
internasional yang mengikat, seperti Persetujuan Paris dan
UNFCCC.
DPR RI telah menyatakan persetujuan terhadap komitmen-
komitmen yang terdapat dalam Deklarasi Nusa Dua, yaitu
memperkuat aksi tingkat nasional untuk memenuhi komitmen
global; mempercepat transisi energi bersih untuk pemulihan
Covid-19 yang ramah lingkungan; menuju aksi iklim inklusif;
mempromosikan parlemen yang lebih hijau; dan meningkatkan
kerja sama regional dan global untuk solusi iklim bersama.
Penulis: Sali Susiana, S.Sos, M.Si.
Abstrak:
Pasal 12 Konvensi CEDAW (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination against Women).
menegaskan kewajiban negara untuk menghapus diskriminasi
terhadap perempuan di bidang perawatan kesehatan agar
dapat menjamin akses kepada pelayanan kesehatan atas dasar
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan [Pasal 12 ayat (1)]
dan menjamin pelayanan bagi perempuan dalam hubungannya
dengan kehamilan, persalinan, dan masa sesudah melahirkan
[Pasal 12 ayat (2)]. Selain menjamin terpenuhinya hak
kesehatan reproduksi perempuan, dalam hal ini ibu hamil,
pengaturan tentang hak kesehatan reproduksi perempuan juga
akan mendukung pencapaian salah satu target dalam tujuan
ke-5 SDGs, yaitu menjamin akses universal terhadap kesehatan
seksual dan reproduksi.
Parlemen dengan segala fungsinya memiliki peran yang
strategis dalam upaya penyelenggaraan kesehatan reproduksi
perempuan, terutama dalam menurunkan AKI. Untuk itu Forum
of Women Parliamentarians yang beranggotakan perempuan
anggota parlemen dari seluruh dunia dapat berkontribusi
dengan selalu menaruh perhatian dan mengangkat isu ini
dalam pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan pada
masa-masa mendatang, sehingga diperoleh solusi dan praktik
terbaik (best practices) dalam penyelenggaraan kesehatan reproduksi perempuan, terutama dalam menurunkan AKI dan
pada akhirnya apa yang menjadi target SDGs tercapai.
Penulis: Yulia Indahri, S.Pd., M.A.
Abstrak:
Untuk mewujudkan lembaga perwakilan yang terbuka,
transparan, partisipatif, inklusif, dan akuntabel, DPR RI
menginisiasi Open Parliament Indonesia (OPI). Pembentukan
OPI menjadi awal bagi parlemen dan masyarakat untuk
berkolaborasi dan berpartisipasi dalam proses pembentukan
undang-undang serta meningkatkan akses dan keterbukaan
informasi publik. Selain itu OPI mengutamakan proses ko–kreasi
antara parlemen dengan berbagai pemangku kepentingan guna
mewujudkan parlemen modern (OpenParliament.id., 2019).
Kesulitan dan tantangan yang dihadapi DPR
diinventarisasi berdasarkan survei yang dilaksanakan pada Juli
dan Agustus 2020 dan dituangkan dalam Peta Jalan OPI 2020–
2024. Survei mencoba memahami kesulitan dan tantangan
yang harus dihadapi oleh DPR RI. Masih banyak masyarakat
yang kesulitan mengakses informasi pembentukan undang-
undang secara online dan lengkap dikarenakan lemahnya
literasi informasi digital di masyarakat, masih adanya informasi
asimetris antarmasyarakat dan parlemen, dan terbatasnya
partisipasi masyarakat dalam forum seperti rapat dengar
pendapat.
Untuk mengatasi hal tersebut diperlukannya ruang
partisipasi publik sebagai tempat berdialog di luar mekanisme
yang sudah ada untuk menjangkau berbagai pihak. Forum-
forum tersebut dapat dimanfaatkan DPR untuk mengetahui isu-
isu krusial di masyarakat serta membangun kepercayaan publik.
Membangun kepercayaan publik bukanlah hal yang mudah
tetapi dapat menjadi kunci untuk menjangkau partisipasi
publik.
Penulis: BURHANUDIN MUKHAMAD FATURAHMAN, S.A.P., M.AP.
Abstrak:
Untuk menjaga keberlanjutan sektor pariwisata di masa
pandemi Covid-19 maka diperlukan keterpaduan kebijakan
pembangunan yang bertujuan mengurangi risiko bencana
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penangulangan Bencana. UU tersebut menyebutkan bahwa
pengurangan risiko bencana dan keterpaduan dengan program
pembangunan merupakan tanggung jawab pemerintah dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana. Urgensi pemulihan
sektor pariwisata dilandasi oleh perannya sebagai penyumbang
devisa terbesar kedua bagi Indonesia.
Dinamika perkembangan sektor pariwisata pada masa
pandemi Covid-19 tidak hanya melibatkan isu kesehatan
tetapi juga ekonomi pariwisata. Keseimbangan keduanya akan
beresultan pada kesehatan wisatawan dan sekaligus perbaikan
kinerja sektor pariwisata yang mengutamakan mobilitas
manusia agar resiliensi di masa pandemi Covid-19. Upaya
pencegahan penyebaran Covid-19 dalam kegiatan pariwisata
dimulai dari pengusaha/penyedia jasa wisata, pengunjung, dan
karyawan dengan menerapkan aturan atau protokol kesehatan
ketat. Kegiatan wisatawan tersebut memerlukan panduan
untuk meminimalisir penyebaran Covid-19 agar pelaku/agen
wisata dapat menjalankan kegiatan pariwisata dengan aman.
Oleh karena itu, kesadaran dan komitmen, baik dari pemerintah
maupun pelaku kegiatan wisata (pengusaha, pengunjung, dan karyawan), sangat penting untuk mewujudkan tujuan perbaikan
kondisi sektor pariwisata secara menyeluruh.
Selain dari kebijakan pemerintah, pengurangan
risiko yang berbasis peran serta masyarakat lokal perlu
mempertimbangkan karakteristik sebaran wabah pandemi
Covid-19 yang transmisinya bersifat person-to-person, atau
sangat bersifat lokalitas Masyarakat dapat berperan serta untuk
mendukung penguatan ketahanan bencana pandemi Covid-19
dengan berkolaborasi pihak terkait.
Penulis: Mandala Harefa, S.E., M.Si.
Abstrak:
Pemulihan sektor pariwisata menjadi kunci kemajuan
ekonomi dan peningkatan penerimaan. Tahun 2022 merupakan
momentum yang penting dalam upaya pemulihan sektor
pariwisata. Namun demikian, pemerintah pusat dan daerah
harus kerja keras dalam mengembalikan Indonesia menjadi
tujuan utama pariwisata internasional yang sempat terganggu
akibat pandemi Covid-19. Kontribusi sektor pariwisata terhadap
perekonomian nasional cukup tinggi dan bahkan tertinggi di
Provinsi Bali. Oleh sebab itu, pulihnya sektor pariwisata akan
menjadi stimulus bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi
dan penerimaan sektor perpajakan, khususnya pajak hotel dan
restoran untuk penerimaan daerah.
Sebelum adanya pandemi Covid-19, fokus pembangunan
pariwisata diarahkan pada upaya mendukung peningkatan
penguatan destinasi pariwisata prioritas (DPP) dan revitalisasi
destinasi pariwisata dengan tujuan untuk menjaring devisa
sebanyak-banyaknya melalui peningkatan mass tourism.
Pandemi Covid-19 yang memengaruhi ruang gerak masyarakat
dunia adalah bencana bagi sektor pariwisata, termasuk
Indonesia. Pembangunan sektor pariwisata dipaksa untuk
beradaptasi dengan pandemi Covid-19 yang diterjemahkan
Pemerintah Indonesia dalam bentuk kebijakan new normal.
Upaya saat ini tidak hanya terkait penanganan bencana,
tetapi juga mengkaji ulang perencanaan nasional dan daerah
untuk mendorong sektor pariwisata. Potret pariwisata saat ini
digambarkan sebagai kondisi yang memerlukan penanganan
khusus dan extra-ordinary.
Pariwisata di Indonesia pada akhir tahun 2020 diprediksi
oleh berbagai ahli hanya akan mencapai 4-5 juta kunjungan
wisman. Pasar wisman diperkirakan baru akan kembali normal
secara bertahap mulai tahun 2021, momentum mulai menuju
normal pada tahun 2022, dan kembali normal di tahun 2023. Sebenarnya sejak bulan Maret 2020, Pemerintah Indonesia
telah mengeluarkan beberapa kebijakan stimulus ekonomi
untuk menciptakan stabilitas pada beberapa sektor dalam
perekonomian negara, namun hasilnya tidak sesuai yang
diharapkan. Berbagai usulan kebijakan khusus pada sektor
pariwisata telah., sedang, dan akan, baik jangka pendek,
menengah, maupun panjang. Usulan ini didasarkan pada
tinjauan pustaka tentang potret pariwisata sebelum dan sesudah
pandemi Covid-19, termasuk tidak efektifnya kebijakan yang
telah dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia saat ini. Hasil
analisis merekomendasikan bahwa kaji ulang perencanaan
pembangunan pariwisata ditekankan pada stimulus umum,
stimulus UMKM, penataan paket akomodasi, transportasi dan
aksesibilitas, stimulus perpajakan, bimbingan teknis, penguatan
diversifikasi wisata, serta penguatan demand dan supply side
pariwisata. Pemerintah perlu meningkatkan strategi kolaborasi
pentahelix, baik academic, bussiness, government, community/
customer, dan media, yang lebih optimal dalam penanganan
Covid-19.
Dengan melihat perkembangan ekonomi di dunia,
pemulihan sektor pariwisata agak terganggu dengan adanya
harga tiket transportasi udara akibat konflik Ukraina-Rusia.
Untuk itu, para pelaku pariwisata cenderung memprioritaskan
potensi wisnus dibandingkan wasman guna mempertahankan
bisnisnya.
Penulis: Niken Paramita Purwanto, S.E., M.Ak.
Abstrak:
Pariwisata merupakan salah satu sektor yang sangat
terdampak akibat adanya pandemi Covid-19. Beberapa
kebijakan telah diupayakan oleh pemerintah, khususnya
kebijakan pemulihan ekonomi pariwisata dari pusat maupun
daerah, walaupun belum sesuai dengan harapan ataupun
keinginan para pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif. Kunci
utama bagi pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif agar dapat
bertahan di tengah pandemi Covid-19 adalah memiliki
kemampuan adaptasi, inovasi, dan kolaborasi yang baik karena
tren pariwisata mengalami pergeseran. Apabila sebelum pandemi Covid-19 masyarakat biasanya berlibur ke destinasi
wisata, baik dalam negeri maupun luar negeri, namun setelah
pandemi pandemi Covid-19 masyarakat memilih destinasi
wisata yang aman dan nyaman, seperti staycation. Kondisi
ini memaksa pelaku industri perhotelan beradaptasi seperti
melengkapi sertifikat CHSE agar pengunjung merasa aman saat
staycation di hotel. Kemudian hotel mulai mempromosikan
staycation atau paket work from hotel secara online.
Penulis: Dr. Ariesy Tri Mauleny, S.Si., M.E.
Abstrak:
Pembangunan ekonomi yang maju, sejahtera, berkeadilan, inklusif, berkualitas, dan berkelanjutan pada masa kini dan mendatang dipastikan akan menghadapi masalah dan tantangan yang semakin kompleks, sulit dan bahkan sering tidak menentu. Implikasi dari masalah dan tantangan tersebut tentu akan memengaruhi peran pemerintah dalam menjalankan roda perekonomian. Paling tidak ada tiga pilihan peran yang dapat dimainkan oleh pemerintah. Pertama, peran pemerintah yang sepenuhnya mengatur perekonomian (the government does the most). Kedua, peran pemerintah dalam perekonomian yang semakin berkurang (the government does the least). Ketiga, peran pemerintah yang merupakan kombinasi keduanya. Pilihan peran mana yang akan dilakukan pemerintah dalam perekonomian diyakini tidak sederhana. Penentunya antara lain dinamika kompleksitas masalah dan tantangan yang dihadapi penduduk, ketergantungan perekonomian dengan dunia luar, kemampuan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya, dan besar kecilnya proporsi penerimaan pajak terhadap pendapatan nasional.
Penentu yang disebutkan terakhir ini pada masa pandemi Covid-19 menjadi salah satu fokus perhatian besar dan serius oleh pemerintah. Pasalnya, pandemi Covid-19 yang terjadi di awal tahun 2020 telah meluluhlantahkan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baik dari sisi permintaan maupun sisi produksi nasional. Dari sisi permintaan agregat, misalnya, konsumsi rumah tangga yang sebelum terjadi pandemi Covid-19 merupakan penopang utama pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 5 persen sejak tahun 2012, kini pada tri wulan III-2020 diperkirakan pemerintah akan terperosok negatif dengan perkiraan tumbuh minus 1,5 persen sampai minus 3 persen. Demikian pula dengan sumber pertumbuhan investasi yang telah terjerumus tumbuh negatif sebesar minus 6,6 persen sampai minus 8,5 persen. Sementara ekspor tumbuh negatif 8,7 persen sampai negatif 13,9 persen, dan impor tumbuh negatif 16 persen sampai negatif 26,8 persen pada Triwula II/2020. Dari sisi produksi, kontraksi pertumbuhan ekonomi juga terjadi akibat tertahannya mesin-mesin produksi. Hal ini, misalnya, diindikasikan dari perbaikan indeks PMI (Purchasing Manufacturing Index) yang belum mendorong sektor manufaktur, usaha besar, dan perdagangan untuk tumbuh positif maupun geliat aktivitas sektor pariwisata yang masih relatif mandek yang berpengaruh pada sektor produksi lainnya, seperti sektor transportasi, restoran, hotel, dan termasuk pula sektor usaha ultra mikro, mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lainnya.
Buku dengan judul Optimalisasi dan Penguatan Perpajakan Indonesia ini tentu tidak dimaksudkan untuk mendikusikan secara langsung upaya menyelamatkan ekonomi melalui Perpajakan dalam masa pandemi Covid-19 untuk meminimalkan defisit APBN. Pasalnya, sektor perpajakan sebagai sumber utama penerimaan negara juga nyaris lumpuh sebagai akibat tidak bekerjanya mesin permintaan dan produksi selama pandemi Covid-19. Fokus buku ini lebih dimaksudkan mendiskusikan catatan-catatan penting dalam upaya optimalisasi dan penguatan perpajakan di Indonesia.
Penulis: Riris Katarina
Abstrak:
Reformasi birokrasi yang hendak ditempuh dalam koridor UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN pada implementasinya belum berjalan sesuai cita-cita para pembentuknya. Hal ini tampak dari tidak terbentuknya PP sebagai pelaksana UU ini dalam waktu 2 (dua) tahun sebagaimana amanat UU No. 5 Tahun 2014.
Terputusnya konektivitas antara pembentuk UU dengan pelaksana, yang disebabkan karena pergantian rezim pemerintahan, dapat dijadikan salah satu alasan melencengnya beberapa ketentuan yang dimaksud oleh pembentuk UU. Namun sesungguhnya, peran menyambungkan konektivitas ada pada diri birokrat di Kementerian PAN-RB yang tidak berganti, sekalipun menteri atau Presiden berganti. Namun, tampaknya para birokrat mengambil kesempatan ini untuk mengatur teknis pelaksanaan UU menurut versinya.
Penulis: Dewi Sendhikasari Dharmaningtias, S.IP., MPA
Abstrak:
Penghapusan status tenaga honorer yang ditetapkan pemerintah sebenarnya bukan hal yang baru karena memang istilah tenaga honorer tidak dicantumkan dalam UU ASN dan tidak boleh ada lagi penerimaan tenaga honorer maupun pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS tanpa melalui proses seleksi penerimaan CPNS. Namun demikian, permasalahan tenaga honorer sampai saat ini belum dapat terselesaikan, terutama sisa eks THK II. Permasalahan tenaga honorer tidak hanya terkait status, tapi juga kesejahteraan yaitu gaji yang belum layak. Terlebih lagi untuk eks THK II yang telah lama mengabdi dan tidak lolos menjadi PNS dikarenakan tidak dapat memenuhi persyaratan yang dibutuhkan dalam penerimaan CPNS terutama masalah umur. Berbeda dengan tenaga honorer yang ada saat ini masih banyak ditemukan di berbagai instansi pemerintah walaupun telah ada larangan penerimaan tenaga honorer atau dengan sebutan lainnya. Hal ini dikarenakan terbatasnya jumlah SDM aparatur dan kebutuhan tenaga SDM yang mendesak demi kelancaran proses pelayanan publik.
Sejak ditetapkan UU ASN, permasalahan tenaga honorer diharapkan dapat segera terselesaikan. Namun ternyata peraturan pelaksana manajemen ASN tidak langsung dapat terbentuk. Adapun PP Manajemen PNS terbentuk pada tahun 2017 dan PP Manajemen PPPK tahun 2018. Selain itu, pemerintah sebaiknya dapat menyelesaikan permasalahan tenaga honorer dengan tuntas terutama bagi tenaga honorer yang tidak lolos penerimaan ASN tetapi masih dibutuhkan dalam pelayanan publik. Hal ini berlaku bagi seluruh tenaga honorer yang ada di pusat dan daerah. Terutama di daerah yang masih banyak sekali tenaga honorer, sehingga permasalahan tenaga honorer merupakan tanggung jawab pemerintah pusat selaku pembuat regulasi kebijakan dalam mengelola SDM aparatur melalui berbagai regulasi kebijakan yang ada selama ini. Diperlukan regulasi kebijakan yang konkret dan dapat mengakomodir semua lapisan pemerintahan sehingga tercapai tujuan kebijakan untuk menyejahterakan rakyat dan terwujudnya good governance.
Penulis: Riris Katarina
Abstrak:
Penelitian ini menyimpulkan bahwa kebijakan penghapusan eselon III dan IV yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo dan ditindaklanjuti oleh Kementerian PAN dan RB masih direspons berbeda di daerah. Ada daerah seperti Kota Semarang yang merespons dengan cepat dan sigap arah kebijakan yang dikeluarkan dalam SE Menteri PAN dan RB pada tahun 2019. Namun, masih ada daerah yang belum merespons kebijakan tersebut, dengan alasan belum ada arahan dari kepala daerah (walikota), sebagaimana terjadi di Kota Sorong.
Bagi daerah yang tidak merespons kebijakan tersebut, alasan utama yang dikemukakan adalah belum adanya arahan dari kepala daerah. Hal ini membuktikan bahwa birokrasi Indonesia, khususnya di Kota Sorong masih menjalankan birokrasi tradisional, sangat bergantung pada atasan, dan berorientasi pada kekuasaan. Hal ini mematikan inovasi dan kreativitas yang sangat dibutuhkan dalam organisasi birokrasi yang agile, mengikuti perubahan di masyarakat secara terus-menerus (dinamis).
Penelitian ini merekomendasikan agar Kementerian PAN dan RB memasifkan sosialisasi terkait rencana Kementerian PAN dan RB untuk melaksanakan kebijakan Presiden menghapus eselon III dan IV, terutama kepada kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian di daerah. Selain itu, solusi untuk mengalihkan jabatan eselon III dan IV kepada jabatan fungsional harus dilakukan secara bertahap. Perlu dilihat apakah sudah ada jabatan fungsional di daerah, jabatan fungsional apa yang tepat untuk dibuka di daerah. Tentu ini membutuhkan bantuan assessment dari pihak Kementerian PAN dan RB. Selain itu, perlu dipertimbangkan apakah anggaran daerah memadai untuk membayar tunjangan fungsional di daerah, mengingat anggaran daerah selama ini untuk belanja pegawai sudah sangat besar.
Terkait persoalan budaya dalam masyarakat yang memandang birokrat sebagai orang yang menduduki posisi terhormat, merupakan persoalan yang tidak mudah mengubahnya. Cara yang paling efektif untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap jabatan birokrat adalah mengubah persepsi birokrat itu sendiri terhadap siapa dirinya, yakni sebagai pelayan masyarakat, bukan sebagai penguasa.
Penulis: ANIN DHITA KIKY AMRYNUDIN, S.A.P., M.Si.
Abstrak:
Perjalanan deregulasi di Indonesia yang sudah mulai dilakukan pada tahun 1980-an yaitu pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto hingga Presiden Joko Widodo dengan berbagai Paket Kebijakan mulai dari tahap I sampai tahap XVI serta dikeluarkannya Omnibus Law Undang- Undang Cipta Kerja, tampaknya masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk meningkatkan ease of doing business di Indonesia. Ease of doing business (EoDB) dapat tercipta manakala urusan terkait perizinan dan investasi berjalan dengan baik dengan prosedur yang ringkas, murah dan cepat. Kenyataannya, peringkat EoDB di Indonesia masih stagnan dalam dua tahun terakhir.
Permasalahan yang terlihat adalah inkonsistensi kebijakan, patologi birokrasi, dan tata laksana kebijakan. Apabila berkaca dari teori yang dibawa oleh Gifford dan Elizabeth Pinchot, maka untuk menyelesaikan ketiga hambatan dalam mewujudkan ease of doing business khususnya terkait perizinan dan investasi maka diperlukan Free Intraprise, yaitu adanya dorongan untuk menumbuhkan daya inovasi, dan keleluasaan bagi pegawai dalam menyampaikan ide dan gagasan sehingga tercipta intraprises di dalam organisasi, mewujudkan organization in market- mediated networks yang dapat mengelola apa yang diinginkan dan dibutuhkan customer “what they want and what they need”. Intraprises di dalam organisasi diyakini dapat meningkatkan efisiensi dan menjadikan organisasi lebih luwes, agile, dan lebih mengetahui apa yang dibutuhkan customers karena adanya prinsip “multiskilling specialist and intrapreuneuring” dan “organization in market-mediated network”.
Penulis: RAIS AGIL BAHTIAR, S. S., M.Si.
Abstrak:
UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara telah menegaskan bahwa komponen gaji yang diterima Pegawai ASN terdiri dari tiga komponen, yaitu gaji, tunjangan kinerja, dan tunjangan kemahalan. Dengan begitu, istilah gaji pokok tidak dikenal lagi dalam UU ASN tetapi diganti menjadi gaji. Gaji merupakan kompensasi dasar berupa honorarium yang disesuaikan dengan beban kerja, tanggung jawab jabatan, dan risiko pekerjaan yang ditetapkan oleh peraturan perundang- undangan. Tunjangan kinerja dibayar sesuai dengan pencapaian kinerja. Sedangkan tunjangan kemahalan dibayarkan sesuai dengan tingkat kemahalan berdasar indeks harga yang berlaku di daerah masing-masing.
Konsep Single Salary System mengakumulasi semua jenis pendapatan PNS. Sistem ini didasarkan pada bobot atau grade (nilai) terhadap kinerja jabatan. Hal ini dinilai lebih baik dari sistem penggajian yang berlaku saat ini, karena sistem penggajian PNS saat ini terdiri dari jabatan, kinerja, grade, dan step. Selain itu, model penggajian Single Salary System ini dianggap lebih adil karena pemberian kompensasi diberikan atas dasar tugas jabatan, kinerja, dan wilayah kerjanya.
Penulis: SIDIQ BUDI SEJATI, S.T., M.AP.
Abstrak:
Peran pengawasan sudah seharusnya merupakan sebuah kegiatan yang bertolak dari sikap membendung proses dari hulu dalam bentuk tindakan preemtif serta preventif, ibarat “sedia payung sebelum hujan” untuk menghindari kerusakan-kerusakan yang akan terjadi, lalu memberikan tindakan represif agar tidak terulang kembali sehingga dapat menjadi contoh yang lainnya. Strategi skema pengawasan dalam menghadapi perilaku KKN sebaiknya diletakkan sebagai inti dari upaya- upaya pencegahan yang dilakukan, di mana mempercepat pembangunan sistem integritas yang komplet serta memastikan sistem tersebut dapat bekerja dengan baik. Upaya-upaya politik seharusnya diarahkan untuk menata secara sistematis aransemen institusionalnya serta memberikan dukungan yang kuat terkait posisi atau keberadaannya, yang disertai dukungan anggaran operasional dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kedudukan KASN dalam mewujudkan reformasi birokrasi telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, di mana KASN merupakan salah satu Lembaga Non-Struktural yang mandiri dan bebas intervensi politik serta memiliki fungsi serta wewenang sebagai badan yang memonitoring pelaksanaan sistem merit dalam manajemen kepegawaian ASN agar agenda reformasi birokrasi dapat terwujud.
Pemerintah perlu memperkuat peran KASN sebagai pengawal reformasi birokrasi dan lembaga independen pengawas meritokrasi, kode etik, kode perilaku, dan netralitas ASN. Pemerintah dapat meningkatkan peran aktif setiap instansi dalam melaksanakan sistem merit, menerapkan pengisian JPT, mematuhi kode etik dan kode perilaku serta netralitas ASN. Pemerintah dapat terus menjalin sinergi terhadap pencegahan pelanggaran netralitas ASN melalui kolaborasi para pemangku kepentingan, baik itu antarinstansi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), masyarakat sipil, komunitas, ataupun media massa. Mempercepat penguatan birokrasi yang berbasis digital melalui pembangunan e-Government yang masif, terutama aplikasi e-Budgeting. Selain itu penting untuk dipertimbangkan oleh pemerintah terhadap posisi KASN saat ini dalam mendukung mewujudkan reformasi birokrasi, yakni dengan membentuk perwakilan KASN di daerah untuk meringankan beban kerja KASN yang saat ini masih berkedudukan di ibukota negara, dan KASN sepatutnya diberikan kewenangan dalam hal menetapkan kebijakan tentang pembinaan kepegawaian nasional.
Penulis: BURHANUDIN MUKHAMAD FATURAHMAN, S.A.P., M.AP.
Abstrak:
Akuntabilitas merupakan perwujudan dari kewajiban seseorang atau instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban dan berupa laporan akuntabilitas yang disusun secara periodik. Pemerintahan dan sistem manajemen merupakan agenda penting dalam reformasi birokrasi yang sedang dijalankan oleh pemerintah saat ini. Sistem manajemen pemerintahan diharapkan berfokus pada peningkatan akuntabilitas serta sekaligus peningkatan kinerja yang berorientasi pada hasil (outcome). Maka pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk penerapan sistem pertanggungjawaban yang jelas dan teratur dan efektif yang disebut dengan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). SAKIP adalah instrumen untuk menciptakan tata kelola dan kelembagaan yang baik melalui perwujudan akuntabilitas kinerja oleh instansi pemerintah yang sedikit demi sedikit menuai hasil yang diharapkan. Semakin banyak instansi pemerintah yang memperbaiki sistem manajemen kinerjanya untuk mewujudkan akuntabilitas kinerja.
Masih banyak tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah untuk terus meningkatkan perwujudan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Beberapa di antaranya adalah komitmen pimpinan instansi yang rendah, budaya akuntabilitas yang belum tercipta, adanya tumpang-tindih sistem manajemen kinerja, serta kapasitas aparatur negara, khususnya aparatur pemerintah daerah yang rendah. Manajemen kinerja yang masih rendah memerlukan perbaikan program dan kegiatan yang memiliki dampak langsung pada kesejahteraan masyarakat. Untuk menyelesaikan berbagai tantangan tersebut diperlukan komitmen seluruh pejabat dan pegawai di lingkungan instansi pemerintahan agar terus mendorong penciptaan akuntabilitas kinerja dan penciptaan anggaran berbasis kinerja.
Penulis: Dr. Ariesy Tri Mauleny, S.Si., M.E.
Abstrak:
Buku ini mengawali pembahasannya dengan memaparkan secara jelas
mengenai pajak dalam perspektif makroekonomi, perkembangan
perpajakan nasional, perkembangan perpajakan di daerah, kepatuhan
wajib pajak dan modernisasi perpajakan. Bagian penting lainnya adalah
pengawasan dan sanksi perpajakan, sumber daya manusia perpajakan
dan insentif pajak di era ‘new normal’. Kemudian dilanjutkan dengan
membahas mengenai pajak, UMKM, dan penguatan perekonomian. Pada
bagian akhir ditutup dengan mengintip draft awal RUU omnibus law
fasilitas perpajakan.
Penulis: Nidya Waras Sayekti, S.E., M.M.
Abstrak:
Buku ini mengawali pembahasannya dengan memaparkan secara jelas
mengenai pajak dalam perspektif makroekonomi, perkembangan
perpajakan nasional, perkembangan perpajakan di daerah, kepatuhan
wajib pajak dan modernisasi perpajakan. Bagian penting lainnya adalah
pengawasan dan sanksi perpajakan, sumber daya manusia perpajakan
dan insentif pajak di era ‘new normal’. Kemudian dilanjutkan dengan
membahas mengenai pajak, UMKM, dan penguatan perekonomian. Pada
bagian akhir ditutup dengan mengintip draft awal RUU omnibus law
fasilitas perpajakan.
Penulis: Edmira Rivani, S.Si., M.Stat.
Abstrak:
Buku ini mengawali pembahasannya dengan memaparkan secara jelas
mengenai pajak dalam perspektif makroekonomi, perkembangan
perpajakan nasional, perkembangan perpajakan di daerah, kepatuhan
wajib pajak dan modernisasi perpajakan. Bagian penting lainnya adalah
pengawasan dan sanksi perpajakan, sumber daya manusia perpajakan
dan insentif pajak di era ‘new normal’. Kemudian dilanjutkan dengan
membahas mengenai pajak, UMKM, dan penguatan perekonomian. Pada
bagian akhir ditutup dengan mengintip draft awal RUU omnibus law
fasilitas perpajakan.
Penulis: Venti Eka Satya, S.E., M.Si., Ak.
Abstrak:
Buku ini mengawali pembahasannya dengan memaparkan secara jelas
mengenai pajak dalam perspektif makroekonomi, perkembangan
perpajakan nasional, perkembangan perpajakan di daerah, kepatuhan
wajib pajak dan modernisasi perpajakan. Bagian penting lainnya adalah
pengawasan dan sanksi perpajakan, sumber daya manusia perpajakan
dan insentif pajak di era ‘new normal’. Kemudian dilanjutkan dengan
membahas mengenai pajak, UMKM, dan penguatan perekonomian. Pada
bagian akhir ditutup dengan mengintip draft awal RUU omnibus law
fasilitas perpajakan.
Penulis: Lisnawati, S.Si., M.S.E.
Abstrak:
Buku ini mengawali pembahasannya dengan memaparkan secara jelas
mengenai pajak dalam perspektif makroekonomi, perkembangan
perpajakan nasional, perkembangan perpajakan di daerah, kepatuhan
wajib pajak dan modernisasi perpajakan. Bagian penting lainnya adalah
pengawasan dan sanksi perpajakan, sumber daya manusia perpajakan
dan insentif pajak di era ‘new normal’. Kemudian dilanjutkan dengan
membahas mengenai pajak, UMKM, dan penguatan perekonomian. Pada
bagian akhir ditutup dengan mengintip draft awal RUU omnibus law
fasilitas perpajakan.
Penulis: Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.
Abstrak:
Buku ini mengawali pembahasannya dengan memaparkan secara jelas
mengenai pajak dalam perspektif makroekonomi, perkembangan
perpajakan nasional, perkembangan perpajakan di daerah, kepatuhan
wajib pajak dan modernisasi perpajakan. Bagian penting lainnya adalah
pengawasan dan sanksi perpajakan, sumber daya manusia perpajakan
dan insentif pajak di era ‘new normal’. Kemudian dilanjutkan dengan
membahas mengenai pajak, UMKM, dan penguatan perekonomian. Pada
bagian akhir ditutup dengan mengintip draft awal RUU omnibus law
fasilitas perpajakan.