Editor:
Muhammad Zilal Hamzah
Pengantar Editor:
Pertumbuhan ekonomi suatu negara terjadi ketika terdapat peningkatan
produksi barang dan jasa pada negara tersebut dalam satu periode tertentu
dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini umumnya diukur dalam Produk
Domestik Bruto (PDB)/Produk Nasional Bruto (PNB). Pertumbuhan ekonomi suatu
negara yang stabil di atas angka 5%/tahun mengidentifikasikan bahwa negara
tersebut tergolong sebagai negara maju. Walt Whitman Rostow menulis di dalam
bukunya yang berjudul The Stages of Economic Growth: A Non-Communist
Manifesto (1960), menyajikan lima langkah yang harus dilalui semua negara
untuk menjadi maju: (1) masyarakat tradisional, (2) prasyarat untuk lepas
landas, (3) lepas landas, (4) dorongan menuju kedewasaan, dan (5) usia
konsumsi massal yang tinggi. Selanjutnya, terdapat 4 (empat) faktor utama
untuk pertumbuhan ekonomi yaitu tanah, tenaga kerja, modal, dan
kewirausahaan, yang juga dikenal sebagai fungsi produksi Cobb and Douglas.
Indonesia mempunyai semua faktor ini dan menjadi keunggulan Indonesia saat
ini (tentunya dengan beberapa argumen) dan Indonesia juga telah melalui fase-
fase tahapan pertumbuhan ekonomi tersebut. Fase yang menjadi fokus di era
Global saat ini adalah fase usia konsumsi massal yang tinggi yang intinya adalah
persoalan demand. Ini sejalan dengan teori-teori dasar/klasik maupun neo
klasik, bahkan sampai kepada liberalis dan Indonesia mempunyai keunggulan
disini (dengan nama lain bonus demografi).
Buku ini mencoba menjawab isu industri strategis ini dengan merujuk kepada
industri pengolahan. Industri pengolahan telah membuktikan kemampuannya
dalam menunjang perekonomian nasional dengan baik dalam beberapa tahun
terakhir ini, terutama pada masa dan sesudah wabah Covid-19 melanda
Indonesia. Buku ini disusun sebagai berikut:
Penulis:
- Dr. Ari Mulianta Ginting, S.E., M.S.E.
- Dr. Ariesy Tri Mauleny, S.Si., M.E.
- Dr. Rasbin, S.TP., M.S.E.
- Sony Hendra Permana, S.E., M.S.E.
Abstrak:
Sektor industri pengolahan, berdasarkan perhitungan
metode LQ, merupakan sektor unggulan bagi Provinsi Jawa
Timur, tapi bukan sektor unggulan bagi Provinsi Bali.
Berdasarkan indeks LQ, ada 11 industri pengolahan prioritas di
Provinsi Jawa Timur sedangkan identifikasi oleh OJK hanya
industri pupuk (industri kimia, farmasi, dan obat tradisional)
yang menjadi prioritas. Di Provinsi Bali ada tiga industri
pengolahan prioritas, walaupun sektor industri pengolahan
bukan sektor unggulan. Dalam pengembangan industri
pengolahan sebagai industri prioritas, baik di Provinsi Jawa
Timur dan Bali, Pemerintah Provinsi dan pihak-pihak terkait
memiliki beberapa kendala dan permasalahan. Namun, pihak-
pihak tersebut berusaha menyiapkan strategi agar kendala dan
permasalahan tersebut dapat teratasi sehingga mendorong
pengembangan industri prioritas yang dimaksud.
Berdasarkan temuan tersebut, ada beberapa rekomendasi
kebijakan yang perlu segera pemerintah bersama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) lakukan terkait
dengan pengembangan industri prioritas. Pertama, optimalisasi
dukungan sektor perbankan ke sektor industri pengolahan yang
menjadi prioritas. Kedua, peningkatan kualitas SDM untuk
meningkatkan optimalisasi kualitas produk industri pengolahan.
Ketiga, menjaga ketersediaan bahan baku/bahan penolong.
Keempat, meningkatkan kualitas dan kuantitas investasi di
sektor industri pengolahan. Kelima, mendorong pengembangan
industri ramah lingkungan (green industry) sebagai upaya untuk
mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development).
Editor:
Pengantar Editor:
Buku ini disusun berdasarkan hasil pengumpulan data yang telah dilakukan oleh
para Analis Legislatif pada tahun 2022 dan juga atas hasil studi kepustakaan
sebelum buku ini diterbitkan. Buku ini dibuat sebagai bentuk
pertanggungjawaban secara ilmiah dari tujuan dan kegunaan pengumpulan data
yang telah dilakukan. Kerja sama pertahanan Indonesia–Singapura menjadi
penting diangkat sebagai tema pengumpulan data karena seiring dengan
kepentingan untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatan negara serta
berpartisipasi dalam menjaga ketertiban dunia. Indonesia menjalin kerja sama di
bidang pertahanan yang merupakan salah satu faktor yang sangat diperlukan
guna meningkatkan hubungan baik antarnegara dalam rangka meningkatkan
kemampuan pertahanan negara. Kerja sama pertahanan Indonesia-Singapura
diwujudkan dalam bentuk Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Republik Singapura tentang Kerja Sama Pertahanan (Agreement
between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of
the Republic of Singapore on Defence Cooperation) yang telah disahkan dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2023.
Tema ini juga menjadi bertambah penting untuk ditulis dalam bentuk buku,
mengingat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2023 tentang Pengesahan
Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik
Singapura tentang Kerja Sama Pertahanan atau Defence Cooperation Agreement
(DCA) sudah disahkan dan perlunya pengawasan terhadap implementasinya.
Buku ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembentuk undang-undang dalam
rangka pengawasan terhadap implementasi DCA tersebut.
Penulis:
- Novianti, S.H., M.H.
- Rizki Roza, S.Ip., M.Si.
- Lisbet, S.Ip., M.Si.
- Aulia Fitri, S.IP., M.Si. (Han)
Abstrak:
Secara umum, DCA Indonesia–Singapura mengadopsi bentuk-bentuk kegiatan
yang normal dilakukan antara Indonesia dan negara-negara mitra lain, yang
dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori, yakni pertukaran informasi,
interoperabilitas, transfer material, penelitian dan pengembangan, serta
kunjungan resmi. Poin penting yang perlu dikritisi dari DCA Indonesia–
Singapura terletak pada pemberian akses bagi SAF untuk melakukan latihan di
wilayah Indonesia, dan Singapura dapat mengajak negara ketiga untuk menjadi
partner mereka dalam latihan di area tersebut. Namun, hal tersebut hanya
terjadi jika Indonesia selaku pemilik wilayah memberikan izin, dan apabila
terjadi latihan gabungan yang melibatkan negara lain, maka Indonesia berhak
untuk mengawasi dan menjadi observer. Komite Kerja Sama Pertahanan yang
akan dibentuk, yang memiliki tugas untuk mengawal dan mengawasi
implementasi DCA, juga perlu dikritisi dan diisi oleh orang-orang yang
berkompeten dan profesional.
Editor:
Dr. A. Bakir Ihsan, MSi.
Pengantar Editor:
Pemilu menjadi jalan penentu arah demokrasi. Daya tahan demokrasi
tergantung pada kualitas pemilu yang dijalankan secara jujur, adil, dan terbuka
pada koreksi baik sebagai langkah antisipasi maupun solusi. Kesediaan
membuka diri atas koreksi adalah modal penting untuk memperkuat kualitas
pemilu sebagai fondasi konsolidasi demokrasi.
Salah satu problem yang sering muncul dalam pemilu adalah proses
pelaksanaan kampanye dengan segala kaitannya. Dalam beberapa kasus,
kampanye menjadi jalan efektif untuk memastikan raihan kursi untuk pengisian
posisi di lembaga legislatif, pun di eksekutif. Pelaksanaan pemilu di Indonesia
mengalami dinamika mengikuti langgam rezim yang hadir. Kebebasan yang
tersaji di awal kemerdekaan menjadi tonggak sejarah demokrasi yang tumbuh
melalui Maklumat X tentang pendirian partai politik yang kemudian dirayakan
dengan Pemilu 1955.
Buku ini hadir untuk menerangi sisi gelap pemilu serentak 2019 sebagai
catatan dan pengingat agar pemilu 2024 terlihat lebih terang dan
menyenangkan. Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung menjadi 2 (dua) contoh untuk dilihat sisi penyelenggaraan pemilu
serentak pada 2019. Namun demikian, catatan penting untuk diantisipasi dalam
setiap perhelatan kampanye adalah peluang terjadinya gesekan antara
pendukung partai politik. Seperti biasa, dalam beberapa kampanye umum di
Yogyakarta, bentrok terjadi antara kelompok merah dan kelompok hijau yang
merepresentasikan perbedaan dukungan. Hal
Penulis:
- RAIS AGIL BAHTIAR, S. S., M.Si.
- ARYO WASISTO, M.Si.
- Aryojati Ardipandanto, S.IP., M.Sos
- ANIN DHITA KIKY AMRYNUDIN, S.A.P., M.Si.
- Juniar Laraswanda Umagapi
Abstrak:
Persiapan Pemilu serentak 2024 tidak dapat dilepaskan dari perjalanan pemilu-
pemilu sebelumnya di Indonesia, terutama setelah memasuki era reformasi
1998. Pemilu 2019 menjadi tonggak baru bagi sejarah politik elektoral bangsa
Indonesia, karena untuk pertama kalinya pemilihan presiden-wakil presiden,
anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
diselenggarakan secara serentak nasional. Keserentakan Pemilu 2019
merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum sebagai tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.
14/PUU-XI/2013. Dalam perkembangannya, lahir Putusan MK berikutnya, yaitu
Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang memberikan arah baru bagi penyelenggaraan
pemilu. Hal yang menarik dalam Putusan MK ini adalah pelaksanaan Pilkada
yang digabung dengan pelaksanaan Pemilu.
Pelaksanaan pemilu dan Pilkada 2024 secara serentak perlu belajar dari
pengalaman Pemilu 2019. Pembelajaran ini penting, karena selain adanya
kesamaan dalam hal keserentakan, juga adanya implikasi-implikasi tak terduga
pada Pemilu 2019 yang dapat diantisipasi dan diminimalisasi agar tidak terjadi
kembali dalam Pemilu 2024.
Buku ini merupakan hasil dari kegiatan pengumpulan data di tahun 2022 yang
mencakup pembahasan dari setiap unsur penyelenggara dan pihak terkait. Buku
ini dimaksudkan untuk melihat lebih detail pelaksanaan pemilu 2019 daripada
sekadar liputan media massa secara umum. Untuk itu, diharapkan pembaca
buku ini bisa melihat beberapa hal yang tidak saja secara substansi bisa
berpengaruh pada kualitas pemilu yang diselenggarakan, tetapi juga bagaimana
hal-hal teknis atau sederhana sekalipun juga bisa menjadi kendala tersendiri
dengan peluang alternatif yang bisa dijalankan.
Editor:
Rizal Firmansyah, S.H., M.H.
Pengantar Editor:
Buku ini disusun berdasarkan hasil pengumpulan data mengenai penerapan
prinsip keadilan restoratif dalam penegakan hukum yang dilakukan para Peneliti
pada Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI pada Tahun 2022. Buku ini dibuat
sebagai bentuk pertanggungjawaban secara ilmiah dari tujuan dan kegunaan
penelitian yang sudah dilakukan.
Penerapan prinsip keadilan restoratif dalam penegakan hukum menjadi penting
diangkat sebagai topik penelitian karena sistem pemidanaan di Indonesia saat
ini banyak mengalami dinamika perkembangan terkait dengan penjatuhan
pidana, dari yang berfokus pada pemidanaan untuk tindak pidana ringan,
beralih kepada proses mediasi. Pelaksanaan proses mediasi ini lebih banyak
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku dan korban, serta pihak lain yang
terkait untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian
perkara pidana secara adil, baik bagi pihak korban maupun pihak pelaku,
sehingga terjadi pergeseran penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme di
luar pengadilan. Dalam praktik peradilan, memang tidak semua perkara pidana
berujung pada suatu hukuman penjara. Hal ini disebabkan adanya penerapan
konsep restorative justice (keadilan restoratif) sebagai mekanisme penyelesaian
di luar pengadilan berdasarkan prinsip keadilan yang lebih mengedepankan
pada pencarian keadilan melalui suatu pemulihan keadaan terhadap akibat atau
kerugian yang muncul dari peristiwa pidana yang terjadi.
Topik ini juga menjadi bertambah penting untuk ditulis dalam bentuk buku,
mengingat saat ini DPR masih dalam tahap penyusunan revisi terhadap Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penyelesaian perkara dengan pendekatan
keadilan restoratif tentunya perlu dipertimbangkan untuk diatur pula dalam
peraturan hukum setingkat undang-undang, agar lebih jelas dan lebih
memberikan kepastian hukum.
Penulis:
- Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM.
- Marfuatul Latifah, S.H.I., LL.M.
- NOVERDI PUJA SAPUTRA, M.H.
Abstrak:
A. Kesimpulan
Penerapan keadilan restoratif (restorative justice) oleh
aparat penegak hukum (APH) telah dilakukan dengan
mendasarkan pada peraturan internal masing-masing institusi
APH, kecuali dalam perkara anak dengan mendasarkan pada UU
No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
sehingga penyelesaian perkara pidana lainnya dengan keadilan
restoratif dalam sistem peradilan pidana tidak terkoordinasi.
Meskipun beberapa APH telah melakukan koordinasi penanganan
perkara pidana untuk menghentikan kasus melalui keadilan
restoratif, namun masih terjadi ego sektoral dan belum adanya
pemahaman yang sama di antara APH dalam menerapkan keadilan
restoratif yang terstandar.
Penerapan keadilan restoratif oleh aparat penegak hukum berbeda-beda jenis
tindak pidananya. Kepolisian menerapkan keadilan restoratif pada tindak pidana
anak, narkotika, ITE, dan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Sedangkan Kejaksaan
menerapkan keadilan restoratif dengan persyaratan tersangka baru pertama kali
melakukan tindak pidana; tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda
atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan tindak
pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan
akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus
ribu rupiah). Sementara dalam penerapannya di pengadilan hanya ada 4 (empat)
perkara yang dapat dilakukan keadilan restoratif yaitu: perkara tindak pidana
ringan, perkara anak, perkara dalam hal perempuan yang berhadapan dengan
hukum, dan perkara narkotika.
Editor:
Humprey Wangke
Pengantar Editor:
Buku ini disusun berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan oleh
Analis Legislatif dan Analis Kebijakan pada Pusat Analisis Keparlemenan Badan
Keahlian DPR RI pada tahun 2022. Buku ini dibuat sebagai bentuk
pertanggungjawaban secara ilmiah dari tujuan dan kegunaan pengumpulan data
yang telah dilakukan.
Revisi Undang-Undang Kewarganegaraan: Perspektif Politik dan Hukum
menjadi penting diangkat sebagai tema pengumpulan data karena hasil
perkawinan campuran dari warga negara Indonesia seringkali menimbulkan
permasalahan dari aspek hukum dan politik, seperti timbulnya kasus
kewarganegaraan ganda dan masalah kewarganegaraan anak hasil perkawinan
campuran. Permasalahan lain terkait dengan sinkronisasi antara UU
Kewarganegaraan dengan UU lain, seperti UU Keimigrasian, khususnya terkait
izin tinggal menjadi masalah penting bagi warga negara asing yang berdomisili
di Indonesia. Dari perspektif politik, masalah kewarganegaraan ganda (double
citizenship) masih menjadi isu yang terus diperjuangkan oleh kelompok
masyarakat diaspora. Isu ini mengambil sudut pandang perkembangan
globalisasi dan hak asasi manusia.
Tema ini juga menjadi bertambah penting untuk ditulis dalam bentuk buku,
mengingat Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang
Tahun 2020-2024. Buku ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembentuk
undang- undang dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut.
Penulis:
- Novianti, S.H., M.H.
- Poedji Poerwanti, S.H., M.H.
- Aulia Fitri, S.IP., M.Si. (Han)
Abstrak:
UU Kewarganegaraan telah berupaya untuk memberikan jaminan terhadap hak-
hak warga negara dalam kerangka hak asasi manusia, karenanya pengaturan
terhadap diaspora pada dasarnya dapat diakomodasi tanpa mengubah sistem
kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi ganda tidak terbatas.
Pertimbangan untuk status kewarganegaraan ganda bagi diaspora perlu ditelaah
lebih dalam, apakah pemberian dua kewarganegaraan ini akan menimbulkan
permasalahan baru di kemudian hari atau tidak, karena memiliki
kewarganegaraan ganda berarti tunduk kepada dua yurisdiksi. Apabila terdapat
pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, akan terdapat
kerancuan mengenai penentuan status personal seseorang. Penentuan prinsip
kewarganegaraan sangat berkaitan politik hukum nasional untuk merespons
globalisasi, melindungi hak asasi manusia, termasuk mengantisipasi implikasi
dari migrasi internasional, juga memberdayakan sumber daya manusia
Indonesia di luar negeri untuk kepentingan nasional. Namun di sisi lain,
kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal
penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka
seseorang akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya.
Penerapan status kewarganegaraan ganda bagi anak berimplikasi terhadap
anak dari perkawinan campur yang lahir sebelum dan sesudah diundangkannya
UU Kewarganegaraan yang tidak didaftarkan oleh orang tua atau walinya
sebagai anak berkewarganegaraan ganda. Implikasi lain anak yang dilahirkan
dari perkawinan antara ayah WNA dan ibu WNI yang lahir di luar wilayah NKRI
yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan
kewarganegaraan kepada anak- anak tersebut. Selain itu, limitasi waktu untuk
memilih salah satu kewarganegaraan bagi anak perkawinan campuran yang
sedang menempuh pendidikan memang dirasa masih kurang mengakomodasi
permasalahan tersebut. Oleh karena itu, Pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2022 sebagai solusinya. Potensi besar yang
dimiliki anak perkawinan campuran sudah saatnya dimanfaatkan oleh
Pemerintah Indonesia, mengingat anak-anak merupakan aset sumber daya
manusia yang menjadi human capital yang penting dan mampu memberikan
sumbangsih besar bagi Indonesia ke depannya, terutama menyongsong era
Indonesia Emas 2045.
Secara umum, UU Kewarganegaraan dengan peraturan perundang-undangan
terkait telah selaras, namun perlu penguatan materi muatan peraturan untuk
memberikan perlindungan hukum secara maksimal kepada masyarakat.
Sinkronisasi antara UU Kewarganegaraan dengan UU Perkawinan tidak terdapat
pertentangan. UU Perkawinan memiliki keterkaitan dengan UU Kewarganegaraan
terutama mengenai perkawinan campuran. Demikian juga sinkronisasi
horizontal antara UU Kewarganegaraan dengan UU Keimigrasian tidak terdapat
pertentangan. Undang- Undang Keimigrasian memiliki keterkaitan yang kuat
dengan UU Kewarganegaraan terutama mengenai paspor yang pada satu sisi
sebagai dokumen perjalanan dan juga sebagai dokumen yang menunjukkan
status kewarganegaraan seseorang.
Editor:
Prof. Carunia Mulya Firdausy, MADE, Ph.D., APU
Pengantar Editor:
Pariwisata merupakan salah satu sektor yang penting dalam pertumbuhan
ekonomi Indonesia, sehingga diperlukan upaya khusus untuk mengembangkan
pariwisata di Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah, yaitu
dengan mengembangkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata. KEK
Pariwisata memfokuskan pada pembangunan dan pengembangan wilayah untuk
pariwisata dengan menarik investor dari beberapa sektor secara terintegrasi.
Diharapkan pembangunan KEK Pariwisata di berbagai daerah mampu
mengoptimalkan potensi pariwisata di daerah, sekaligus menumbuhkan
kreativitas dan potensi ekonomi lainnya. Multiplier efek dari pembangunan KEK
Pariwisata bagi daerah dan masyarakat sekitar pada gilirannya diyakini akan
menciptakan pertumbuhan ekonomi yang positif bagi bangsa Indonesia.
Namun pada tataran praktik, pembangunan dan pengembangan KEK Pariwisata
masih menghadapi tantangan dan kendala sehingga diperlukan strategi yang
tepat untuk mengatasi persoalan dan tantangan yang dihadapi. Dari sisi
regulasi, dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, pemerintah telah melakukan
berbagai macam transformasi kebijakan, salah satunya melalui KEK untuk
menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru di daerah. Di samping itu,
penyempurnaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
juga diharapkan mampu memajukan pembangunan kepariwisataan Indonesia.
Buku ini berisi informasi tentang pembangunan kepari- wisataan, khususnya
tantangan dan strategi pembangunan KEK Pariwisata. Melalui buku ini
diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan pembaca, tentang
tantangan dan strategi pengembangan KEK Pariwisata.
Penulis:
- Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.
- Monika Suhayati, S.H., M.H.
- Nidya Waras Sayekti, S.E., M.M.
- YOSEPHUS MAINAKE, M.H.
Abstrak:
Pariwisata merupakan salah satu sektor ekonomi yang sangat penting bagi
pembangunan nasional karena dapat menjadi lokomotif bagi peningkatan
pendapatan masyarakat dan negara. Kawasan pariwisata khusus atau kawasan
wisata khusus dan kawasan khusus pariwisata atau zona eksklusif pariwisata
memiliki terminologi yang berbeda. Kawasan wisata khusus lebih mengacu
kepada kawasan strategis pariwisata yang memiliki potensi untuk
pengembangan pariwisata yang berdampak bagi berbagai aspek seperti
pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam,
dan lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.
Berbagai strategi yang dapat dilakukan dalam pengembangan pariwisata dan
kawasan wisata khusus, antara lain memanfaatkan kekayaan alam dan budaya
Indonesia, mengembangkan KEK dengan orientasi pada nilai tambah atas
penguasaan teknologi dan sumber daya manusia, meningkatkan penanaman
modal melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan
geostrategis, dan meningkatkan kapasitas dan kinerja BUPP KEK. Strategi lainnya
yaitu, penentuan visi yang jelas, terukur, dan futuristik; penyediaan fasilitas
pariwisata dan infrastruktur pendukungnya yang berstandar nasional dan
internasional; penguatan pemasaran secara masif dan berkelanjutan;
pengembangan destinasi wisata yang berkelanjutan; pemberdayaan masyarakat
dan pengembangan kemitraan; kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah
serta pelaku industri pariwisata.
Keberadaan kawasan wisata di suatu wilayah dapat menjadi pemicu bagi
peningkatan perekonomian suatu wilayah. Demikian juga dengan keberadaan
KEK Pariwisata yang dapat menjadi pemicu pertumbuhan perekonomian suatu
daerah. Oleh karenanya, sektor pariwisata membutuhkan dukungan dari sektor-
sektor ekonomi lainnya seperti transportasi, hotel, dan restoran, pendidikan dan
pelatihan, ekonomi kreatif, UMKM, dan sebagainya.