Penulis: Frisca Alexandra -- Rahmah Daniah
Abstrak:
Walapun pihak pemerintah Indonesia merasa telah melewati fase darurat terorisme namun
bukan berarti kondisinya bena-benar bebas dari ancaman terorisme, buktinya aksi terror yang
diluar dugaan muncul di Kalimantan Timur yang kondisi masyarakatnya sangat majemuk dengan
tingkat kenyamanan dan keamanan kota yang cukup ideal, yaitu jauh dari ancaman bom, malah
terjadi pada November 2016, dimana bom meledakkan gereja Oikumene dan ledakan tersebut
menimbulkan korban. Aksi tersebut malah dilakukan oleh mantan narapidana pelaku terror
bom buku di Tangerang yang mendapatkan remisi tahanan. Penelitian ini bertujuan untuk
menjelaskan pendekatan manajemen identitas ethnopolitical pemerintah Indonesia pasca bom
gereja Oikumene, Samarinda dengan fokus pada pendekatan pemerintah melalui jangka pendek
dan jangka panjang. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan data
primer yang diperoleh melalui wawancara mendalam terutama pada pihak-pihak terkait dan telaah
dokumen dari instansi pemerintah, serta menggunakan data sekunder yaitu buku, jurnal, media
cetak dan elektronik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sesuai dengan social learning theory,
munculnya peledakan bom gereja Oikumene disebabkan kurangnya perhatian dan pengawasan
dari masyarakat Sengkotek yang memiliki sikap yang terbuka dan perilaku toleransi yang tinggi
terhadap pendatang dikarenakan kondisi budaya heterogen etnis yang tinggi. Lingkungan pemicu
konteks juga diakibatkan oleh UU No.015/2003 yang mengatur tindak penangkapan terhadap
perilaku terorisme. Sehingga pemerintah masih memiliki kendala-kendala yang cukup tinggi
dalam memanajemen identitas etnopolitikal terutama dalam jangka panjang.
Penulis: Prawita Meidi Handayani
Abstrak:
Kebangkitan politik identitas dikatakan banyak berpengaruh terhadap politik dalam negeri,
bahkan mempengaruhi Pilkada Jakarta yang lalu. Oleh karena itulah, tulisan ini bertujuan
untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari bangkitnya politik identitas islam di Indonesia
terhadap kebijakan politik luar negeri Indonesia, khususnya dalam isu Rohingnya. Pelanggaran
HAM yang terjadi pada kelompok minoritas muslim Rohingya mendorong Indonesia untuk
bereaksi terhadap isu tersebut. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri, juga
telah melakukan upaya diplomasi terkait menanganan isu ini. Selain itu, pemerintah juga
memberikan bantuan kepada kelompok Rohingya dan menampung pengungsi Rohingya yang
datang ke Indonesia.
Penulis: Aryojati Ardipandanto, S.IP., M.Sos
Abstrak:
Menjelang Pilpres 2019, beberapa survey menunjukkan bahwa pasangan Jokowi-Ma’ruf memiliki
tingkat elektabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasangan Prabowo-Sandiaga. Survey
mengenai kepuasan dan ketidakpuasan atas kinerja Jokowi selama menjadi Presiden RI adalah
relatif seimbang. Beberapa kalangan menilai bahwa Presiden Jokowi telah berhasil meraih
kemajuan-kemajuan dalam pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat, sementara
pihak lain berpandangan sebaliknya. Tulisan ini mengkaji kekuatan dan kelemahan politik
Jokowi dalam konteks menghadapi Pilpres 2019. Metodologi yang digunakan adalah kualitatif
dengan teknik analisa deskriptif. Kesimpulan kajian ini adalah bahwa kekuatan politik Jokowi
terutama terletak pada aspek political image sebagai pemimpin yang merakyat, keberhasilan
dalam pembangunan infrastruktur, positioning prestasi sebagai Presiden RI secara nasional
dan internasional, positioning dalam kehidupan ke-Islam-an nasional, dan dukungan prestasi
beberapa Menteri Kabinet Kerja secara nasional dan internasional. Adapun kelemahan politik
Jokowi terutama terletak pada belum terpenuhinya beberapa janji kampanye pada Pilpres 2014.
Kelemahan politik yang paling utama Jokowi adalah dalam bidang perekomian yang belum
memenuhi target pencapaian sebagaimana yang dijanjikan.
Penulis: Efriza
Abstrak:
Tulisan ini membahas relasi Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pengelolaan koalisi berdasarkan tiga tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang merupakan akibat dari perpaduan antara sistem presidensial dan multipartai. Awalnya, Presiden Jokowi memiliki keinginan untuk mewujudkan koalisi yang berbasis ideologis dan program yang sama
(concensus coalition) antar partai politik, namun realitasnya, sulit mewujudkannya disebabkan stabilitas pemerintahan terganggu di awal pemerintahan, akhirnya Presiden Jokowi memilih mewujudkan koalisi “semua partai.” Menggunakan dasar pemikiran dari Scott Mainwaring dan David Altman mengenai kombinasi sistem presidensial dan multipartai serta koalisi dalam sistem
presidensial, dilengkapi juga dengan beberapa pemikiran lainnya mengenai Koalisi. Berikutnya, dilengkapi analisis dari Otto Kirchheimer tentang Catch All Party, untuk menguraikan tranformasi kepartaian di era modern ini. Disertai pembahasan mengenai orientasi partai-partai politik di Indonesia, berdasarkan uraian Yasraf Amir Piliang tentang nomadisme politik. Berdasarkan realitas dan pemikiran di atas, dihasilkan bahwa kombinasi sistem presidensial dan multipartai dan cara pengelolaan pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi, adalah Pengelolaan koalisi bersifat “gemuk” dengan kepemimpinan yang akomodatif dan cenderung transaksional. Sifat pengelolaan tersebut sebuah upaya menjaga hubungan harmonis antara Presiden dan DPR
dengan konsekuensi bahwa Presiden Jokowi melanggar komitmennya untuk mewujudkan Koalisi tanpa syarat dan tidak bagi-bagi kursi kekuasaan. Pengelolaan koalisi itu dapat dilakukan karena pilihan partai bergabung sebagai pendukung pemerintahan turut didasari bukan saja kebutuhan pencitraan politik berdasarkan dorongan elektoral dalam pasar politik, tetapi juga dalam upaya
partai politik tersebut mendanai kelangsungan hidupnya.
Penulis: Ramdhan Muhaimin
Abstrak:
Salah satu pembaharuan dalam peta Negara Kesatuan Republik Indonesia terbaru yang diterbitkan tahun lalu adalah penamaan Laut Natuna Utara di sebelah utara Pulau Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Sebelumnya, perairan tersebut masuk dalam kawasan Laut Tiongkok
Selatan (LTS). Kebijakan pemerintah Indonesia mengubah nama kawasan perairan ini dalam peta terbarunya mendapat protes keras dari pemerintah Tiongkok. Sebab kawasan yang dinamai pemerintah Indonesia sebagai Laut Natuna Utara diklaim pemerintah Tiongkok masuk ke
dalam Laut Tiongkok Selatan berdasarkan peta tradisional Tiongkok. Tentu ada aspek politik dan keamanan dalam penamaan kawasan tersebut sehingga memicu kritik keras dari Tiongkok menyusul dinamika konflik yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan selama ini. Kebijakan penamaan
Laut Natuna Utara tidak bisa dilihat sebagai kebijakan pertikular yang tidak tekait sama sekali dengan tindakan politik lainnya yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia sebelumnya, seperti pembuatan ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) hingga peningkatan kapasitas militer di sekitar perairan Natuna. Termasuk visi maritim Pemerintah Indonesia yang termuat dalam Nawa Cita. Oleh karena itu, kajian ini mencoba menganalisis aspek keamanan pada kebijakan tersebut menggunakan pendekatan Persepsi Ancaman (Threat Perception) dan Teori Sekuritisasi yang dikembangkan Mazhab Copenhagen (Copenhagen School).Tujuan pendekatan konseptual dalam studi keamanan ini, untuk melihat sejauh mana kebijakan penamaan Laut Natuna Utara dapat dilihat sebagai upaya sekuritisasi kedaulatan kepentingan nasional Indonesia dari ancaman eksternal.
Penulis: Sheiffi Puspapertiwi -- Anggara Raharyo
Abstrak:
Mega-regional has become a major trend of the global political economy in this contemporary era. The most talked mega-regional negotiations are centered in East Asia, where Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) and Trans-Pacific Partnership (TPP) seemed to be contested toward each other. The two mega-regional negotiations promised solution and advancement from stagnant multilateralism and regional trade agreement redundancy. Both regimes also promised possibility for East Asia regionalism, as an inevitable consequence of deeper integration created by the two regimes. Regional leadership is thus becoming a prominent issue, as great powers such as Japan, China, and ASEAN, will struggle to become a regional leader. While participating countries are motivated to conclude negotiation, major event occurred with the withdrawal of the US from TPP and the establishment of its successor, Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP). This study is aimed to understand East Asia political economy leadership constellation, regarding the current development of mega-regional trade agreements
involving the region. We use “leadership” and “regional leadership” as our conceptual frameworks. We use the qualitative method in our study, in which data is obtained from the latest journals and books through literature review. Based on our analysis, we argue that this major shock event has created disruption in East Asia Regionalism, as it provided a new playing field for Japan, changing the balance of regional leadership. To conclude our study, we also propose scenarios for each East Asia great power as an initial discussion responding to this changing event.
Penulis: Hendra Manurung
Abstrak:
Relations between Indonesia and Russia seem to be getting closer after agreeing to speed up the drafting of
a new strategic partnership agreement in Moscow. A Plan of Consultation for 2017-2019 was signed by Ministers Retno L.P Marsudi and Sergey Lavrov aimed at intensifying dialogue between the two countries. Indonesia is important to Russia not only as a partner on international level, but as a country that plays a major role in the Southeast Asia. Under the Russia-ASEAN dialogue partnership, a road map for economic cooperation has been agreed upon and implemented. Over the past two decades, economic cooperation between Russia and Southeast Asia has lagged behind political cooperation. The writer argues efforts to
strengthen closer trade and economic cooperation are needed to overcome existing barriers. This paper attempts to elaborate Indonesia-Russia trade relations in searching for a new strategic partnership. It is further argued that Russia is important to Indonesia and vice versa considering both countries are promising and reliable partner in economy and defense cooperation.
Penulis: Aulia Fitri, S.IP., M.Si. (Han)
Abstrak:
Pemerintah Indonesia mengesahkan penambahan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme yang salah satu pasalnya mengatur mengenai pelibatan TNI melalui tugas perbantuan dalam penanganan terorisme. Lebih jauh, pengaturan mengenai teknis pelibatan TNI melalui tugas
perbantuan akan diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) yang akan diterbitkan maksimal satu tahun setelah pengesahan penambahan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme. Pelibatan TNI dalam penanganan terorisme telah memicu kekhawatiran publik akan kemungkinan terjadinya pergeseran mekanisme penanganan terorisme di Indonesia dari criminal justice model yang mengedepankan penegakan hukum, ke war model yang mengedepankan pengerahan kapasitas
militer. Walaupun pada prakteknya, pelibatan TNI dimungkinkan melalui Operasi Militer Selain Perang. Namun, Indonesia belum memiliki pengaturan teknis mengenai mekanisme tugas perbantuan militer. Tulisan ini membahas mengenai skema pelibatan TNI dalam penanganan terorisme dalam kerangka OMSP dengan pendekatan criminal justice model, termasuk hal-hal
apa saja yang penting untuk diatur dalam Perpres mengenai perbantuan TNI dalam penanganan terorisme.
Penulis: Prof. Lili Romli
Abstrak:
Pada era reformasi ini, partai politik mengalami konflik internal. Faktor yang menyebabkan konflik internal tersebut, antara lain, disebabkan oleh pilihan koalisi dan oposisi. Kecenderungan yang muncul, partai-partai politik terlibat dalam konflik internal, sebagian memunculkan perpecahan yang berujung pada lahirnya partai-partai baru dan sebagian lagi melahirkan kepengurusan ganda. Kerap munculnya konflik internal partai-partai politik tersebut memperlihatkan betapa lemahnya kohesivitas di tubuh partai-partai politik. Konflik internal pada partai-partai politik juga menandakan betapa minimnya pelembagaan di tubuh partai dalam mengatasi konflik untuk menuju konsensus. Kecenderungan konflik internal bukan disebabkan perbedaan visi-misi, platform dan ideologi partai, tetapi cenderung disebabkan oleh pragmatisme atas pilihan koalisi partai politik dalam mendukung calon presiden dan wakil presiden dan/atau pemerintahan serta kepentingan kekuasaan.
Kata kunci: partai politik, faksionalisme, konflik internal partai, koalisi politik, pemilihan presiden
Penulis: Regina Anjani Karissaputri
Abstrak:
Transparansi, saat ini, dipercaya dan berkembang sebagai suatu best practice untuk mencapai tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Termasuk transparansi bagi industri ekstraktif, khususnya minyak, gas, dan tambang yang diterima sebagai solusi paling efektif untuk ‘menyelamatkan’ negara-negara berkembang dari buruknya tata kelola mereka (resource curse). Meskipun begitu, diterimanya transparansi industri ekstraktif sebagai solusi menjalankan pemerintahan yang baik tidak terjadi begitu saja. Terciptanya pandangan umum bahwa transparansi industri ekstraktif merupakan prasyarat pemerintahan yang baik telah melalui proses politik yang dapat ditelusuri. Tulisan ini mencoba melihat dari sudut pandang kritis penyebaran gagasan transparansi industri ekstraktif hingga adopsi dan implementasinya di Indonesia. Penulis menggunakan perspektif Gramscian untuk melihat proses politik berupa hegemoni intelektual dalam penyebaran gagasan transparansi industri ekstraktif. Penulis memfokuskan analisis pada lima fitur hegemoni intelektual Robert Cox, kemudian melihat proses pembentukan blok historis serta penyebaran gagasan oleh blok historis. Tulisan ini akan memperlihatkan proses perkembangan gagasan transparansi industri ekstraktif serta peran berbagai aktor didalamnya hingga mencapai adopsi dan implementasi di Indonesia.
Kata kunci: EITI, extractive industries transparency initiative, good governance, transparansi, transparansi industri ekstraktif, gramsci, hegemoni
Penulis: Fajar Apriani -- Rahmah Daniah
Abstrak:
Penelitian ini menganalisa kebijakan nasional anti perdagangan manusia dalam migrasi internasional khususnya dalam mengawal tenaga kerja perempuan Indonesia yang sering menjadi korban, melalui analisis komprehensif terhadap faktor eksternal dari komitmen internasional dan regional tentang penanganan perdagangan manusia, serta faktor internal dari komitmen nasional yang tertuang dalam UU PTPPO, yang dikaitkan dengan konsepsi implementasi kebijakan publik beserta berbagai faktor-faktor yang mempengaruhinya. Melalui jenis penelitian eksplanatif, tulisan ini menerangkan hubungan-hubungan kausal antar fenomena yang terjadi pada input, konversi dan output dari kebijakan anti perdagangan manusia di Indonesia secara kualitatif. Dengan mempergunakan data primer dari substansi UU PTPPO dan data sekunder dari berbagai buku, jurnal dan laporan, tulisan ini mengelaborasi empat hal. Pertama, upaya pemerintah dalam mengubah pola pikir keberadaan tenaga kerja perempuan sebagai pembantu rumah tangga, pelayan dan penghibur karena tidak memiliki keahlian; Kedua, lemahnya komitmen organisasi internasional dikarenakan belum jelasnya penghargaan dan sanksi bagi negara anggota serta tertutupnya informasi negara anggota terkait masalah kedaulatan; Ketiga, lemahnya komitmen organisasi regional melalui Deklarasi ASEAN yang dikarenakan rendahnya kesadaran negara dalam memandang pentingnya pengelolaan bersama jalur perbatasan negara anggota serta lemahnya konsolidasi negara yang berbatasan dari institusi maupun masyarakat di wilayah perbatasannya; keempat, penerapan kebijakan anti perdagangan manusia yang tertuang pada UU PTPPO masih berhadapan dengan sejumlah hambatan dari aspek sumberdaya, komunikasi, disposisi dan lingkungan dimana kebijakan tersebut diimplementasikan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bagaimanapun keberhasilan peran pemerintah dalam melakukan pemberantasan perdagangan manusia tergantung dari kemampuan masyarakatnya, sebab perdagangan manusia pada dasarnya dipengaruhi oleh adanya pola bias gender yang tidak lepas dari dimensi lain yang terkait dengan usia, ketidakberdayaan ekonomi, sosial, budaya dan politik yang berkaitan dengan proses industrialisasi serta globalisasi. Pada sisi lain, peran pemerintah melalui aparat penegak hukum dan berbagai pejabat publik yang terkait, membutuhkan koordinasi yang lebih baik, tegas dan bersih dalam penindakan, pencegahan dan perlindungan korban perdagangan manusia.
Kata kunci: migrasi internasional, perdagangan manusia, tenaga kerja perempuan, UU PTPPO.
Penulis: Lintang Suproboningrum -- Yandry Kurniawan
Abstrak:
Tulisan ini menganalisis kerja sama keamanan Indonesia-Malaysia-Singapura sebagai negara pantai dalam mengamankan Selat Malaka dari ancaman keamanan non-tradisional. Sebagian besar kajian terdahulu mengenai topik ini telah menjelaskan pentingnya kerja sama keamanan maritim, mekanisme kerja sama dan keterlibatan aktor eksternal dalam pengamanan Selat Malaka. Namun, kajian-kajian tersebut belum menjelaskan mengapa kerja sama keamanan di Selat Malaka tersebut dapat berjalan baik. Dengan menggunakan konsep diplomasi maritim, tulisan ini menjelaskan rezim, diplomasi kooperatif dan diplomasi koersif sebagai faktor-faktor yang menjadi latar belakang keberhasilan patroli terkoordinasi ketiga negara pantai di Selat Malaka. Temuan tulisan ini menunjukkan bahwa diplomasi maritim yang dilakukan Indonesia-Malaysia-Singapura telah mendukung dan memfasilitasi keberhasilan patroli terkoordinasi di Selat Malaka.
Kata kunci: Selat Malaka, diplomasi maritim, patrol terkoordinasi, keamanan non-tradisional
Penulis: Ikhsan Darmawan
Abstrak:
Pilkada calon tunggal tahun 2015 terjadi di tiga daerah, yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten
Blitar, dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Dalam praktiknya, tidak semua pihak setuju dengan
Pilkada calon tunggal tahun 2015. Di tiap daerah yang Pilkadanya terdiri dari calon tunggal, terdapat
kelompok “tidak setuju” yang awalnya tidak setuju dengan putusan MK tentang Pilkada calon tunggal
lalu mereka menyuarakan kesetaraan hak dan pengakuan untuk pilihan “tidak setuju”. Akan tetapi,
pada kenyataannya, mereka mendapatkan perlakuan yang tidak setara dengan calon atau kelompok
“setuju”. Artikel ini berusaha untuk menjawab pertanyaan: Mengapa kelompok “tidak setuju”
diperlakukan tidak setara dalam Pilkada calon tunggal di tahun 2015? Kerangka pemikiran yang
digunakan dalam penelitian ini adalah konsekuensi dari aturan pemilu dan hubungan antara demokrasi
dan pemilu. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan
cara wawancara mendalam di ketiga daerah disertai pengumpulan data-data sekunder dari sumber
internet. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa penyebab tidak diakomodirnya kelompok “tidak setuju”
di ketiga daerah yang melaksanakan Pilkada calon tunggal di tahun 2015 adalah ketiadaan aturan yang
dapat mengakomodir persoalan-persoalan yang muncul terkait Pilkada calon tunggal. Sebagai reaksi dari
hal itu, ketiga kelompok “tidak setuju” di ketiga daerah melakukan usaha perlawanan dan protes kepada
penyelenggara Pilkada. Simpulan penelitian ini yaitu fenomena tidak diberi ruang yang sama untuk
kelompok “tidak setuju” dalam Pilkada calon tunggal disebabkan oleh aturan yang tidak menempatkan
kelompok “tidak setuju” sebagai pihak yang sama dan setara dengan calon kepala daerah.
Penulis: Anggalih Bayu Muh. Kamim
Abstrak:
Pertumbuhan pariwisata di Parangtritis telah berpengaruh terhadap kehidupan komunitas. Kenaikan
tingkat pariwisata telah menyebabkan adanya masalah sampah dan tekanan sosial pada komunitas.
Sistem politik intrakomunitas mencoba untuk menyelesaikan permasalahan dengan mendorong
terbentuknya Bank Sampah. Penelitian ini dirancang dengean metode kualitatif untuk melihat
proses Bank Sampah sebagai elemen dari sistem politik intrakomunitas mengatur komunitas sosial di
Mancingan XI. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapangan dan wawancara mendalam.
Wawancara mendalam dilakukan dengan teknik snowball sampling. Hasil dari penelitian menunjukan
Bank Sampah sebagai elemen sistem politik intrakomunitas di Mancingan XI memiliki peranan penting
dalam melakukan manajemen konflik, mendorong proses pemberdayaan dan demokratisasi di aras lokal.
Penulis: Anak Agung Banyu Perwita -- Rahma Yustika Dewi
Abstrak:
China’s strategic position in the South China Sea dispute has created lots of controversy, particularly
with the claimants. The activities done by China have triggered heightened tensions especially with
Vietnam as one of the biggest claimants in the disputed sea. China did oil drilling in the disputed water
with Vietnam and attacked oil exploration vessel which operates in the Vietnamese ZEE as a part of the
South China Sea water. Those examples of Beijing actions have made Hanoi worries upon their claims in
the South China Sea. In 2009 Vietnam released Defense White Paper which contained the defense policy
of Vietnam as well as Vietnam’s concerns upon the South China Sea dispute. Vietnam has implemented
its defense policy in the field of economy, military, politics, and technology. The implementation of
Vietnam defense policy is a part of Vietnam’s action in encountering China’s strategic position in the
disputed waterways. In general, this writing aimed to analyze the particular issues by using the theories of
defensive realism and defense policy to answer the research question on how Vietnam implemented its
defense policy in encountering China’s strategic position in the South China Sea dispute.
Penulis: Arya Sandhiyudha
Abstrak:
The Global War on Terror discourse in Southeast Asian countries has been responded in various ways
in order to face religious-motivated terrorism. Among those, there are hardline approaches in state level
classified as military-focused, intelligence-focused, and law enforcement-focused approaches. Each has
different policy backgrounds and is influenced by different actors. The analysis on each’s strength and
weakness is presented in this writing by focusing on four countries, i.e Philippines, Singapore, Malaysia,
and Indonesia. The result shows that military-focused approach implemented in Philippines has proven
as the most risky one even though has also proven as effective to paralyses terrorist group capability.
Meanwhile, the use of excessive power undermines many achievement of intelligence-focused approach
in Singapore and Malaysia. In both countries, neutralizing the terrorist groups is achieved by using less
firepower, then decreasing the support and legitimacy of the groups in wider society. In Indonesia herself,
law enforcement-focused approach has proven gaining success even though the terrorism threats remain.
Penulis: Hidayat Chusnul Chotimah
Abstrak:
Amerika Serikat telah menginisiasi pembentukan norma internasional dalam memerangi aksi dan
jaringan terorisme melalui slogan “global war on terror” dan bertindak sebagai norm entrepreneur dalam
meluaskan slogan tersebut melalui pengaruh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dewan Keamanan PBB kemudian mengeluarkan sejumlah resolusi untuk menangani aksi dan jaringan
terorisme. Siklus pembentukan norma internasional terkait penanggulangan terorisme ini diawali dengan
norm emerge yang muncul dari tahun 1990-an, yang kemudian diikuti dengan norm cascade dalam rangka
menyebarluaskan norma tersebut secara global, serta proses internalisasi. Sebagai salah satu negara
anggota PBB, Indonesia juga melakukan proses internalisasi yang didasarkan pada identitas nasionalnya
yaitu filsafat Pancasila dan konstitusi dasar negara Indonesia. Proses internalisasi sebagai wujud respons
Indonesia dalam memerangi aksi dan jaringan terorisme global melahirkan respons aktif-reaktif yaitu
respons profesional dan respons politik.
Penulis: Indra Cahyadi
Abstrak:
Perkembangan teknologi internet memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
suatu negara. Di sisi lain, teknologi internet juga turut meningkatkan jumlah dan bentuk ancaman
terhadap kedaulatan suatu negara di dunia maya. Kedaulatan di dunia maya menjadi topik penting
dalam pembahasan keamanan nasional maupun internasional, terutama setelah Edward Snowden
mengungkapkan program pengawasan rahasia milik pemerintah Amerika Serikat. Artikel ini bertujuan
untuk memahami perdebatan internasional mengenai tata kelola dunia maya dan mengidentifikasi
tantangan dalam penegakan kedaulatan di dunia maya. Untuk itu, artikel ini membahas isu-isu terkait
kedaulatan di dunia maya termasuk; konsep kedaulatan di dunia maya, tantangan dalam pembentukan
tata pemerintahan dunia maya yang berdasarkan kesetaraan kedaulatan, serta strategi yang sudah
dilakukan Indonesia dalam menegakan kedaulatan di dunia maya. Artikel ini berkesimpulan bahwa
China dan Amerika Serikat telah menerapkan prinsip-prinsip kedaulatan untuk memandu tata
pemerintahan dunia maya global, dan oleh karena itu Indonesia harus segera menyusul dan bertindak
secara terintegrasi agar dapat melindungi dan menjaga kedaulatannya di dunia maya secara efisien.
Penulis: Yandry Kurniawan
Abstrak:
Tulisan ini membahas Inisiatif ‘One Belt, One Road (OBOR)’ yang ditawarkan oleh pemerintah Tiongkok
sebagai mekanisme kerja sama multilateral lintas kawasan, yang meliputi Asia Timur, Asia Tenggara,
Asia Selatan, Asia Barat, Afrika hingga ke Eropa Timur. Inisiatif OBOR ini penting untuk ditelaah
melalui berbagai perspektif ilmiah karena merupakan gagasan kerja sama multilateral yang paling
ambisius yang pernah ditawarkan oleh satu negara. Dari segi geografis, kerja sama OBOR akan lebih
besar dari Uni Eropa dan hanya akan lebih kecil dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun demikian,
sebagian besar kajian terdahulu lebih banyak melihat inisiatif OBOR dengan menggunakan sudut
pandang ekonomi-politik, dinamika politik domestik Tiongkok, dan kajian kawasan tanpa mengulas
lebih dalam aspek paradigmatik yang mendasari pemikiran dan tujuan yang ingin dicapai pemerintah
Tiongkok melalui gagasan ini. Dengan menggunakan sudut pandang pemikiran liberal sebagai kerangka
analisis, tulisan ini membingkai inisiatif OBOR sebagai agenda pemerintah Tiongkok untuk menjaga
dan meningkatkan stabilitas keamanan di kawasan. Argumen utama dalam tulisan ini adalah stabilitas
keamanan kawasan merupakan syarat penting bagi Tiongkok untuk menjaga kebangkitannya dalam
kancah politik internasional. Melalui mekanisme multilateral pemerintah Tiongkok pada dasarnya
mengajak negara-negara di kawasan untuk terlibat aktif dalam berbagi peran (division of labor) dalam
menjaga dan meningkatkan stabilitas kawasan dengan kerja sama ekonomi sebagai sektor penjuru.
Penulis: Retnaningtyas Dwi Hapsari
Abstrak:
Tulisan naratif ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan antara reformasi pendidikan pada masa
Hindia Belanda terhadap orientasi nasionalisme penduduk Tionghoa. Pembahasannya meliputi pelopor
pergerakan, dampak reformasi pendidikan, dan peran komunitas Tionghoa dalam upaya kemerdekaan.
Tulisan ini merupakan hasil penelitian tentang peristiwa yang telah lama terjadi, yang menggunakan
metode sejarah, bertumpu pada empat hal yaitu, heuristik, kritik, intepretasi, dan historiografi. Adanya
diskriminasi pendidikan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda membuat pendirian sekolah
Tionghoa secara mandiri yang diprakasi oleh sebuah organisasi. Jalinan kerjasama antara sekolah ini
dengan negeri China menimbulkan kecurigaan tentang orientasi nasionalisme penduduk Tionghoa.
Dualisme nasionalisme terjadi di dalam tubuh penduduk Tionghoa, adanya yang memihak kepada negeri
China, adanya tetap setia kepada Belanda, tetapi ada pula yang memihak ke Indonesia. Perpecahan
ini membuat penduduk Tionghoa sulit untuk dapat membuat suatu kesepakatan baik dalam bidang
pendidikan maupun politik.
Penulis: Debora Sanur Lindawaty, S.Sos., M.Si.
Abstrak:
Aksi-aksi terorisme terkait Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) membangunkan kewaspadaan
banyak negara di dunia. Seperti juga negara lain, Indonesia menghadapi tantangan dalam menangani
kelompok teroris yang tergabung dalam jaringan ISIS. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui
perkembangan terorisme ISIS dalam mengancam keamanan nasional Indonesia. Tulisan ini sampai pada
kesimpulan bahwa perkembangan ISIS sudah mengancam Indonesia. Karenanya, diperlukan strategi
yang efektif untuk menanggulangi ancaman terorisme di Indonesia. Secara khusus, pemerintah harus
segera meningkatkan kemampuan unit anti-terornya.
Penulis: Drs. Ahmad Budiman, M.Pd.
Abstrak:
Digitalisasi penyiaran mampu meningkatkan kinerja pengelolaan infrastruktur penyiaran yang efisien dan
menghasilkan produk siaran berupa audio dan audio visual yang maksimal. Pilihan model pengelolaan
digitalisasi penyiaran tidak boleh lepas dari prinsip efisiensi pengelolaan infrastruktur penyiaran dan
menghasilkan digital deviden yang maksimal. Digitalisasi penyiaran juga memberikan kesempatan yang
lebih bervariasi dalam memilih teknologi penyebarluasan dan cara penerimaan isi siaran bagi masyarakat.
Regulasi digitalisasi penyiaran di Indonesia harus dituangkan dalam undang-undang yang materinya
mengatur tentang penyiaran.
Penulis: Aryojati Ardipandanto, S.IP., M.Sos
Abstrak:
Tulisan ini membahas tentang problematika dalam pelaksanaan Pilpres 2014. Dalam beberapa hal memang
pelaksanaan Pilpres 2014 lebih baik daripada pelaksanaan Pileg 2014, misalnya terkait transparansi proses
penyelenggaraan Pilpres. Hal-hal yang masih belum optimal implementasinya antara lain adalah terkait
DPT yang masih belum akurat, adanya praktek kampanye hitam, penyelenggara pemilu dan media massa
yang kurang bisa menjaga netralitasnya. Permasalahan DPT dapat diatasi dengan pemberian otoritas
sumber data kependudukan pada satu lembaga saja. Praktek kampanye hitam serta keberpihakan politik
oleh penyelenggara pemilu dan media massa dan lembaga dapat diminimalisir dengan penyempurnaan
regulasi Pilpres dan penegakkan hukum yang adil dan tegas.
Penulis: Marfuatul Latifah, S.H.I., LL.M.
Abstrak:
Statuta Roma merupakan perjanjian internasional yang mengatur penegakan hukum atas kejahatan
HAM berat di dunia internasional. Walaupun Indonesia mengikuti konferensi yang mengesahkan
Statuta Roma pada tahun 1998, namun sampai saat ini tidak menjadi negara pihak dari Statuta Roma.
Salah satu alasan karena masih adanya kekhawatiran yurisdiksi Statuta Roma akan menghukum warga
negara Indonesia (WNI) dalam pelanggaran HAM berat di masa lalu. Hasil kajian ini mengungkapkan
bahwa kekhawatiran itu tidak benar, karena Mahkamah Internasional menganut prinsip non-retroaktif
dan komplementer. Juga, penerapan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional di Negara Pihak akan
dilakukan dengan lebih mengutamakan hukum nasional, terkait pelanggaran HAM berat, untuk bisa
diterapkan lebih efektif. Indonesia sebenarnya akan mendapatkan banyak manfaat dengan menjadi
Negara Pihak dari Statuta Roma dan melakukan pengadopsian ketentuan yang terdapat dalam Statuta
Roma ke dalam hukum nasional di Indonesia.
Penulis: Dewi Amelia Tresna Wijayanti
Abstrak:
Masyarakat global saat ini menghadapi ancaman bahaya meluasnya wabah Ebola. Tulisan ini membahas
ancaman wabah Ebola sebagai bentuk ancaman keamanan non tradisional dan perlunya organisasi
regional di kawasan Asia Tenggara untuk mempertimbangkan dan melakukan gagasan baru dalam bentuk
kerjasama multilateral untuk menanggulangi ancaman tersebut. Hasil analisa deskriptif ini menunjukkan
bahwa wabah Ebola, sebagai ancaman keamanan non tradisional dapat menjadi katalis bagi terciptanya
bentuk kerjasama antar negara ASEAN di bidang keamanan yang lebih formal dan terinstusionalisasi.
Penulis: Ade Armando
Abstrak:
Sistem siaran televisi berjaringan sesungguhnya merupakan bentuk tanggungjawab dari media penyiaran
yang telah menggunakan spektrum frekuensi radio. Sistem siaran televisi berjaringan merupakan sistem
siaran di mana lembaga penyiaran induk yang memancarluaskan siarannya ke beberapa atau banyak
wilayah siar melalui lembaga penyiaran lokal secara tetap pada jam siaran tertentu. Sistem siaran televisi
berjaringan berangkat dari pemikiran sistem penyiaran yang demokratis dalam rangka mendorong
partisipasi dan pemberdayaan lembaga penyiaran lokal, keberagaman isi siaran, dan perlindungan
terhadap hak masyarakat dalam memperoleh materi siaran
Penulis: Dr. Achmad Muchaddam F., S.Ag., M.A.
Abstrak:
Meskipun telah berlangsung selama empat tahun, hingga saat ini, konflik Suriah belum tampak akan
berakhir. Sejak Maret 2011 konflik ini telah menelan korban yang tidak sedikit, ribuan pengungsi, dan
ribuan anak menjadi yatim akibat kehilangan orang tua mereka. Ribuan rumah, infrastruktur dan sarana
publik hancur. Tulisan ini berupaya memahami akar persoalan yang menjadi penyebab konflik Suriah,
siapa aktor kunci yang terlibat dalam konflik, dan dampak konflik itu bagi Suriah dan dunia internasional.
Data-data tentang konflik Suriah dikumpulkan dari buku, jurnal, dan web. Data-data tersebut kemudian
dikategorisasi, disistematisasi dan dianalisis sesuai dengan tujuan penulisan. Tulisan ini menyimpulkan
bahwa sumber masalah atau penyebab lahirnya konflik Suriah bukanlah perbedaan mazhab keagamaan
melainkan kepentingan politik dan ekonomi dari oposisi penentang Assad dan negara-negara pendukung
oposisi, ada tiga aktor yang berperan dan terlibat dalam konflik, Presiden Bashar al-Assad dan para
pendukungnya, oposisi Suriah, dan kelompok Jihadis. Dampak konflik bagi Suriah jatuhnya korban jiwa
dan pengungsi. Sejak meletusnya konflik pada Maret 2011 sampai dengan April 2013 jumlah korban
meninggal sebanyak 150.000 jiwa. Sementara warga yang mengungsi sebanyak 2.4 juta orang, 3/4 di
antara pengungsi itu adalah anak-anak dan perempuan. Sekitar 4 juta warga Suriah yang kehilangan
tempat tinggal dan tetap bertahan di Suriah sampai sekarang. Bagi dunia internasional, konflik Suriah
berdampak dalam penanganan pengungsi.
Kata Kunci: Syi’ah, sunni, al-Qaeda, perang sipil, pengungsi
Penulis: Drs. Ahmad Budiman, M.Pd.
Abstrak:
Lembaga Penyiaran Komunitas merupakan salah satu penyelenggara penyiaran yang ada di Indonesia.
Kegiatannya tidak komersial dan didirikan oleh komunitas tertentu. Komunikan yang loyal dan
daya jangkau frekuensinya yang terbatas, menyebabkan program siarannya fokus pada informasi,
pendidikan dan budaya komunitasnya. Kendala operasionalnya yaitu ijin penyelenggara penyiaran
yang sulit didapatkan, anggaran dan kualitas program siaran yang terbatas. Penataannya dimaksudkan
memaksimalkan kemanfaatan lembaga penyiaran ini bagi masyarakat. Penataan yang perlu dilakukan
terkait dengan dasar hukum kelembagaan, sumber anggaran, ketersediaan dan daya jangkau frekuensi,
serta peningkatan kualitas program siaran.
Kata kunci: Lembaga penyiaran komunitas, LPK, penyiaran, frekuensi siaran, program siaran
Penulis: Hanif Nurcholis
Abstrak:
Pemerintahan daerah di Indonesia terdiri atas dua lapis: provinsi dan kabupaten/kota. Di bawah
kabupaten/kota terdapat Pemerintahan Desa. Awalnya, pada zaman Belanda Pemerintahan Desa
dijadikan sebagai persekutuan rakyat pribumi di bawah pengaturan hukum adat. Akan tetapi, di bawah
UU No. 19/ 1965 status pemerintahan desa demikian dihapus. Kemudian UU No. 5/ 1979 membentuk
model pemerintahan desa baru. Dilihat dari perspektif administrasi negara, model baru tersebut
memunculkan pertanyaan: apakah ia daerah otonom, wilayah administrasi, organisasi nonpemerintah,
atau komunitas. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dilakukan penelitian di Desa Jabon MekarBogor-Jawa
Barat. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan melalui pengamatan
lapangan, wawancara mendalam, kajian dokumen, dan FGD. Data yang terkumpul dianalisis secara
deskriptif kualitatif. Penelitian ini menemukan bahwa Desa Jabon Mekar adalah lembaga antara lembaga
masyarakat dan lembaga pemerintah. Dengan demikian, Pemerintahan Desa dalam sistem birokrasi
pemerintah Indonesia adalah “unit pemerintahan palsu”.