Penulis: Risni Julaeni Yuhan -- Saputri Kusumaningrum
Abstrak:
Pada tahun 2016, pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang tinggi di beberapa provinsi di Indonesia ternyata diikuti pula ketimpangan pendapatan, kemiskinan, dan penganggurannya yang tinggi, seperti di Papua, Gorontalo, dan Sulawesi Tenggara. Kondisi tersebut tentu saja belum sesuai dengan konsep pertumbuhan inklusif, di mana dalam mencapai pertumbuhan ekonomi maka seluruh lapisan masyarakat harus ikut serta dalam prosesnya dan dapat menikmati hasilnya. Berdasarkan hal tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat capaian pertumbuhan inklusif provinsi di Indonesia pada tahun 2016 dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi capaian tersebut. Pendekatan penelitian menggunakan 2 metode, yaitu indeks komposit pertumbuhan inklusif yang diadopsi dari McKinley (2010) dan regresi berganda untuk menjawab terkait faktor-faktor yang memengaruhinya. Data yang digunakan bersumber dari Badan Pusat Statistik, Kementerian Kesehatan, dan Bank Indonesia. Hasil analisis menujukkan bahwa ternyata belum ada provinsi di Indonesia yang memiliki capaian pertumbuhan inklusif berkategori unggul (nilai indeks: 8-10) selama tahun 2016. Sebagian besar provinsi di Indonesia mencapai pertumbuhan inklusif dengan kategori memuaskan (nilai indeks: 4-7) dan terdapat dua provinsi yang memiliki kategori tidak memuaskan (nilai indeks: < 4), yaitu Provinsi Papua dan Nusa Tenggara Timur. Selain itu, penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan inklusif provinsi di Indonesia menggunakan analisis regresi linier berganda. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pembentukan modal tetap bruto, keterbukaan perdagangan, dan rasio kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) terhadap PDRB memengaruhi pertumbuhan inklusif.
Penulis: K. Riesta
Abstrak:
Meskipun perhatian terkait manfaat foreign direct investment (FDI) terhadap produktivitas semakin berkembang, masih sedikit penelitian yang menguji pengaruh FDI spillovers terhadap produktivitas tenaga kerja pada perusahaan domestik di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan tiga hal. Pertama, menguji pengaruh FDI spillovers terhadap produktivitas perusahaan domestik. Kedua, menginvestigasi dampak jangka pendek dan jangka panjang dari FDI spillovers terhadap produktivitas perusahaan domestik. Ketiga, menelaah lebih dalam dampak dari FDI spillovers terhadap produktivitas perusahaan domestik pada kelompok industri yang berbeda berdasarkan intensitas faktor produksinya. Penelitian ini menggunakan mikro panel data yang mencakup kurang lebih 20.000 perusahaan industri manufaktur sedang dan besar tiap tahunnya pada tahun 2010-2014. Hasil estimasi menunjukkan bahwa, di industri yang sama, horizontal spillovers memiliki pengaruh negatif terhadap produktivitas perusahaan domestik di jangka pendek namun positif pada jangka panjang. Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa, di industri yang berbeda, backward spillovers berdampak negatif terhadap produktivitas perusahaan domestik. Selain itu, FDI Spillovers memengaruhi produktivitas perusahaan domestik dengan lebih efektif ketika industri tersebut capital-intensive. Dengan demikian, hasil penelitian menunjukkan pentingnya mempertahankan perspektif jangka panjang terhadap perusahaan investasi asing di Indonesia, dan pemerintah perlu untuk menstimulasi kebijakan yang dapat meningkatkan kapasitas perusahaan domestik dalam memasok barang setengah jadi dan barang modal ke perusahaan asing di pasar hilir dengan cara memotong kesenjangan teknologi antara perusahaan asing dan domestik.
Penulis: Euis Naya Sari
Abstrak:
Perkembangan tingkat perekonomian dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah inflasi. Sementara itu tingkat inflasi sendiri banyak dipengaruhi oleh beberapa variabel, seperti pengeluaran yang dikelompokkan menjadi berbagai subkelompok. Dengan demikian, pemahaman tentang perkembangan tingkat inflasi sangat penting untuk diketahui oleh pemerintah daerah agar dapat mempertahankan tingkat inflasi dan mengeluarkan kebijakan ketika terjadi masalah. Berkaitan dengan hal itu, penelitian ini bertujuan menganalisis variabel-variabel pengeluaran subkelompok yang berperan dalam menjelaskan tingkat inflasi bulanan di Provinsi Banten. Penelitian ini fokus pada data ekonomi Provinsi Banten tahun 2011-2017, terutama pada Indeks Harga Konsumen (IHK) dari tiga kota besar di Banten, yaitu Serang, Kota Tangerang, dan Kota Cilegon, dengan menggunakan kajian pustaka yang ditunjang dengan analisis deskriptif kuantitatif dan Uji KMO (Kaiser-Meyer-Olkin), Uji Bartlett, serta Analisis Faktor terhadap data sekunder. Dalam analisis faktor digunakan 5 faktor yang berasal dari data inflasi pada 35 subkelompok pengeluaran barang/jasa dengan data series bulanan tahun 2011-2017 (84 bulan). Masing-masing subkelompok terbentuk dari beberapa komoditas yang datanya berasal dari pencatatan harga barang/jasa di setiap minggu atau bulannya. Hasil kajian ini menunjukkan, berdasarkan hasil analisis faktor dari 35 variabel subkelompok yang dipilih, hanya 26 variabel yang dapat dikelompokkan ke dalam 5 faktor, sisanya tidak masuk dalam faktor manapun. Sebanyak 26 variabel tersebut dapat menjelaskan variasi tingkat inflasi bulanan di Provinsi Banten, yaitu sebesar 34 persen. Sisanya dijelaskan oleh faktor lain yang belum masuk di dalam model. Selain itu, dapat dijelaskan pula bahwa inflasi di Provinsi Banten selama periode penelitian disebabkan oleh demand-pull inflation dan cost-push inflation.
Penulis: Margiyono -- Akhmad Fauzi -- Bambang Juanda -- Ernan Rustiadi
Abstrak:
Kalimantan Timur adalah salah satu provinsi terkaya di Indonesia yang dikaruniai kelimpahan sumber daya alam. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi Kalimantan Timur selama tahun 1990an hingga tahun 2000an mencapai lebih dari 7 persen per tahun, indeks pembangunan manusia (IPM) tertinggi ketiga di Indonesia, dan indeks kualitas lingkungan juga sangat baik. Namun saat ini, Provinsi Kalimantan Timur mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi hingga -1,28 persen yang dibarengi pula dengan peningkatan kejadian bencana alam. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa Provinsi Kalimantan Timur mengalami paradoks kesejahteraan dan kelestarian. Oleh karena itu, tujuan studi ini adalah untuk mengetahui nilai kerugian ekologis, dampaknya terhadap kesejahteraan, dan penyebab kerugian ekologis. Untuk menjawab tujuan itu maka digunakan metode ecological account. Hasil studi menunjukkan bahwa kerugian ekologis tertinggi disebabkan oleh luasnya lahan kritis, kemudian secara berurutan kerugian akibat eksploitasi batu bara, gas bumi, dan minyak bumi. Kerugian ekologis tersebut telah mengoreksi tingkat kesejahteraan sampai 76 persen dari PDRB. Hasil studi lainnya menunjukkan bahwa tingginya kerugian ekologis disebabkan oleh lemahnya peraturan daerah yang berkaitan dengan lingkungan dan penegakan hukum. Akhirnya, studi ini merekomendasikan bagi para pembuat kebijakan bahwa dalam upaya untuk meningkatkan pembangunan di Provinsi Kalimantan Timur atau daerah lain yang memiliki karakteristik yang sama maka perlu merehabilitasi lahan kritis untuk aktivitas yang produktif, diikuti dengan transformasi struktur ekonomi yang lebih berorientasi pada sumber daya alam yang dapat diperbaharui, serta melakukan revisi peraturan daerah tentang lingkungan dengan menerapkan pendekatan insentif dan disinsentif.
Penulis: Lesmana Rian Andhika
Abstrak:
Model Sistem Dinamis dapat menjadi alat pendukung pengambilan keputusan praktis yang memungkinkan untuk menguji berbagai skenario formulasi kebijakan. Penelitian ini berfokus untuk menggambarkan Model Sistem Dinamis formulasi kebijakan dalam sebuah simulasi, tujuan dari penerapan model tersebut untuk mengamati berbagai struktur yang kompleks, dan mungkin memengaruhi tujuan berdasarkan fenomena masalah yang teridentifikasi. Selain itu, Model Sistem Dinamis dapat melihat perubahan perilaku kebijakan dan memungkinkan skema umpan balik untuk memberikan arus informasi merancang formulasi kebijakan yang lebih kompleks. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan meta-data-analysis, bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan secara sistematis tentang fenomena tertentu melalui analisis data yang diolah dari data sekunder terpilih. Untuk mengembangkan argumentasi penelitian ini juga merujuk kepada beberapa kasus penelitian terdahulu dan diperlakukan sebagai bukti. Hasil penelitian ini memberikan informasi bahwa dalam model simulasi formulasi kebijakan dengan sistem dinamis digunakan aspek analysis, planning, dan control. Ketiga aspek ini menyediakan sarana untuk menilai kemungkinan penyebab penyimpangan, menghasilkan berbagai kemungkinan analisis dari berbagai sumber informasi, metode, referensi untuk menetapkan umpan balik dari semua analisis yang terkait dalam sistem dinamis. Dengan demikian memberikan peringatan dini tentang perlunya tindakan lebih lanjut, namun dari ketiga aspek tersebut mungkin menimbulkan efek, perubahan dan penyimpangan satu bagian dari sistem, dan sering berbeda dari pada yang dimaksudkan. Untuk itu penyimpangan memberikan sinyal untuk analisis tambahan, apakah kebijakan/strategi telah diterapkan secara efektif.
Penulis: Ernawati Pasaribu -- Hotmaria Elecktawati Lumbangaol
Abstrak:
Bank Dunia mengklasifikasikan negara Indonesia ke dalam kelompok negara dengan pendapatan menengah ke bawah (lower-middle income country) selama 13 tahun terakhir. Hal ini, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup stagnan dalam waktu yang lama dan membuat potensi Indonesia masuk jebakan pendapatan menengah (Middle Income Trap) sangat besar. Penelitian ini, diantaranya bertujuan untuk mengidentifikasi apakah Indonesia telah masuk dalam MIT. Analisis time series ECM digunakan sekaligus untuk mengetahui tindakan apa yang perlu dilakukan dalam jangka panjang untuk keluar atau terhindar dari jebakan pendapatan menengah. PNB per kapita sebagai dasar pengklasifikasian kelompok pendapatan negara-negara di dunia digunakan sebagai variabel untuk melihat MIT. Didapatkan hasil bahwa baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang sektor jasa dan jumlah tenaga kerja berpendidikan tinggi akan berpengaruh positif terhadap PNB per kapita. Sektor pertanian berpengaruh positif hanya dalam jangka pendek, sedangkan sektor manufaktur berpengaruh negatif dalam jangka panjang. Struktur perekonomian yang tidak didukung bersama-sama oleh sektor-sektor ekonomi ini menunjukkan bahwa transformasi struktur ekonomi tidak berjalan dengan baik dan mengindikasikan Indonesia telah masuk dalam jebakan pendapatan menengah. Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan sektor jasa, PMTB, dan tenaga kerja berpendidikan tinggi (human capital), serta memperbaiki sektor pertanian dan manufaktur di Indonesia sebagai upaya keluar dari jebakan pendapatan menengah dan bertransisi menuju negara maju.
Penulis: Radot Manalu
Abstrak:
Kakao (Theobroma cacao L) merupakan salah satu komoditas perkebunan di Indonesia yang memiliki peranan penting bagi perekonomian nasional untuk peningkatan devisa negara. Namun demikian, mutu kakao Indonesia khususnya produksi biji kakao perkebunan rakyat masih rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para petani perkebunan rakyat di Provinsi Sulawesi Selatan belum memerhatikan mutu biji kakao karena pada umumnya petani menjual biji kakao hasil pertaniannya yang belum difermentasi. Jika petani perkebunan kakao rakyat mengolah biji kakao dengan teknologi fermentasi akan mendapatkan mutu dan nilai ekonomi yang lebih baik karena harga biji kakao fermentasi lebih tinggi dari harga biji kakao yang tidak difermentasi dengan selisih harga sekitar Rp3.000,-/kg – Rp5.000,-/kg. Selain peningkatan mutu untuk memperoleh nilai ekonomi yang lebih baik, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pakan ternak dari limbah biji kakao yang difermentasi juga lebih baik dibandingkan dengan biji kakao yang tidak fermentasi. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji dan merumuskan saran kebijakan guna meningkatkan mutu biji kakao produksi perkebunan rakyat untuk meningkatkan pendapatan petani. Oleh karena itu, bimbingan teknis pengelolaan biji kakao dari pemerintah daerah kepada petani perkebunan rakyat sangat penting agar mutu biji kakao petani dapat ditingkatkan. Selanjutnya, secara berkelanjutan program pengembangan kakao di masa depan harus diarahkan kepada upaya mewujudkan produk biji kakao yang bermutu tinggi, sehingga dapat memperoleh nilai ekonomi yang lebih baik terutama bagi petani sebagai pemasok biji kakao. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Pengambilan sampel penelitian dilakukan melalui teknik purposive sampling. Analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif eksploratif dengan kerangka penelitian pengolahan biji kakao pascapanen sehingga dapat menjelaskan dan menjawab permasalahan dalam penelitian.
Penulis: Dr. Indra, S.Si, M.Si.
Abstrak:
Tulisan ini berfokus pada pengembangan model yang mampu melakukan pengujian tekanan makro (macro stress test) terhadap risiko kredit perbankan konvensional dan perbankan syariah di Indonesia dengan menggunakan beberapa analisis skenario. Tujuannya adalah untuk menginvestigasi sekaligus mengkomparasi daya tahan sistem keuangan kedua sistem perbankan tersebut dari berbagai guncangan makro. Variabel risiko kredit yang digunakan adalah NPL untuk perbankan konvensional dan NPF untuk perbankan syariah. Variabel makro eksogenus yang digunakan adalah Produk Domestik Bruto (PDB), kurs, indeks harga konsumen (IHK), dan tingkat suku bunga. Spesifikasi model yang digunakan adalah ARDL, yang diestimasi untuk setiap tipe kredit perbankan yang diklasifikasikan ke dalam 9 (sembilan) sektor dan total seluruh sektor. Studi ini menemukan bahwa, penurunan PDB, depresiasi kurs, kenaikan IHK (inflasi) dan tingkat suku bunga (BI Rate) berkontribusi dalam mendorong kenaikan level NPL maupun NPF. IHK (inflasi) merupakan sumber kerentanan terbesar bagi risiko kredit pada kedua kelompok bank, diikuti oleh PDB, kurs, dan tingkat suku bunga. Fakta ini mengindikasikan bahwa kerentanan sistem keuangan pada kedua kelompok bank tidak hanya bergantung pada kinerja internal pada setiap bank, namun juga dinamika makro eksternal. Hasil ini mengonfirmasi bahwa meski bank syariah dan bank konvensional menggunakan sistem operasi yang berbeda, namun keduanya tidak terlepas dari dinamika ekonomi makro yang terjadi.
Penulis: Muhammad Ilham Riyadh
Abstrak:
Kurang meratanya ketersediaan pangan, dan timpangnya jalur distribusi dari produsen ke konsumen menunjukkan bahwa sistem produksi dan sistem distribusi beberapa pangan terganggu karena kualitas sarana dan prasarana transportasi yang banyak rusak sehingga kenaikan harga di tingkat konsumen jauh lebih besar dibandingkan dengan kenaikan harga di tingkat produsen. Tujuan penelitian yaitu untuk menganalisis (1) saluran pemasaran komoditas pangan, (2) efisiensi tata niaga pada setiap saluran pemasaran, dan (3) kebijakan tata niaga komoditas pangan. Penelitian ini dilakukan di Provinsi Sumatera Utara dengan 5 daerah kabupaten yang memiliki keunggulan komoditas pangan, yaitu Simalungun (beras), Karo (jagung), Dairi (bawang merah), Tapanuli Utara (cabai merah), dan Langkat (sapi). Metode analisis margin tata niaga, farmer’s share, dan B/C ratio. Panjangnya saluran pemasaran akan meningkatkan disparitas harga yang tinggi sehingga dapat merugikan petani dan konsumen. Komoditas padi mengalami disparitas paling tinggi yaitu sebesar 132 persen, rasio keuntungan petani komoditas cabai merah tertinggi yaitu sebesar 45,31 persen. Farmer share tertinggi komoditas cabai merah 89 persen. Tata struktur pasar yang dihadapi oleh petani beras, jagung, bawang merah, cabai merah, dan daging sapi potong cenderung persaingan pasar tidak sempurna. Harga kesepakatan penjual dan pembeli merupakan hasil dari tawar-menawar, sedangkan cara pembayaran pembeli atas harga kesepakatan bisa dengan cara tunai dan angsuran. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi pemasaran adalah mempersiapkan kelembagaan petani yang kuat dan terampil dalam kewirausahaan dalam upaya pembinaan petani serta mengkhususkan diri untuk pelayanan dan pemasaran komoditas.
Penulis: Kumara Jati -- Arie Mardiansyah
Abstrak:
Beras merupakan makanan pokok bagi masyarakat dan secara signifikan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia. Terkadang intervensi pasar harus dilaksanakan oleh pemerintah di luar musim panen untuk mengendalikan dan mengelola harga beras dan inflasi, sehingga masyarakat berpenghasilan rendah dapat memenuhi kebutuhan mereka. Penelitian ini mengkaji bagaimana aspek komunikasi sangat penting sebagai mekanisme intervensi pasar untuk mengendalikan harga dan stok beras di Indonesia. Autoregressive and Moving Average and Autoregressive Conditional Heteroskedasticity /Generalized Autoregressive Conditional Heteroskedasticity serta the Structural Time-Series Model digunakan dengan variabel dummy pada data stok dan harga beras, baik harian maupun bulanan, antara 1 Januari 2015 hingga 27 Juni 2016. Hasil analisis menyimpulkan bahwa komunikasi massa oleh pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan (pelaku usaha dan konsumen) dapat berjalan dengan baik terutama untuk menjaga pasokan dan stabilitas harga beras. Namun demikian, model ARMA(1,1)-GARCH(1,1) dengan variabel dummy yaitu komunikasi massa, serta jumlah operasi pasar dan kebijakan beras kurang berpengaruh terhadap harga beras namun lebih berpengaruh terhadap stok beras. Kemudian, the Structural Time-Series Model menunjukkan bahwa naik turunnya harga dan stok beras berasal dari komponen musiman dan siklus terutama lebih berfluktuasi pada bulan Januari-Maret. Oleh karena itu, otoritas terkait diharapkan dapat memaksimalkan kebijakan beras untuk menjaga stabilitas harga dan stok beras dalam jangka pendek, menengah, dan panjang.
Penulis: Ia Arga Dhelia -- Budhi Hascaryo Iskandar -- Rina Oktaviani
Abstrak:
Sektor perikanan berperan penting dalam pembentukan PDB nasional dengan tumpuan utama sektor perikanan tangkap dan budidaya perikanan. Dirjen Perikanan Budidaya menyatakan ikan bandeng merupakan salah satu pilihan untuk meningkatkan produksi perikanan budidaya yang belum optimal meskipun harganya terjangkau, kaya akan kandungan gizi, budidaya mudah dilakukan, dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir. Provinsi Jawa Barat menjadi produsen bandeng terbesar ke tiga di Indonesia dan lebih dari setengah produksinya dihasilkan di Kabupaten Indramayu. Kabupaten Indramayu memiliki potensi tambak terluas di Jawa Barat. Produksinya selalu melampaui target dan meningkat setiap tahunnya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi kondisi faktual perikanan bandeng di Kabupaten Indramayu, menganalisis daya saing industri bandeng di Kabupaten Indramayu, dan merumuskan strategi kebijakan untuk meningkatkan daya saing industri bandeng di Kabupaten Indramayu. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah model Porter’s diamond, analisis gap, dan analytical hierarchy process (AHP). Hasil analisis menunjukkan bahwa Kabupaten Indramayu dapat meningkatkan daya saing dengan memperhatikan beberapa faktor, yaitu peningkatan kualitas sumber daya manusia, terciptanya kemudahan akses sumber daya modal, penguatan infrastruktur, serta kemudahan kerjasama dengan industri pendukung dan industri terkait. Faktor utama adalah sumber daya modal, dengan aktor dan tujuan utama adalah pelaku usaha dan meningkatkan pendapatan pelaku usaha. Strategi alternatif berdasarkan prioritas secara berturut-turut adalah strategi meningkatkan produksi, strategi penguatan infrastruktur, strategi peningkatan kerjasama antar stakeholder, strategi penyuluhan, serta strategi perbaikan regulasi.
Penulis: Agung Sulistyo Purnomo
Abstrak:
Penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan sejak kejatuhan rezim otoriter sampai saat sekarang. Perubahan ini ditandai dengan maraknya penggunaan teknologi informasi dan komunikasi di bidang pelayanan publik. Imigrasi adalah salah satu dari beberapa instansi publik yang sedang memaksimalkan perkembangan teknologi informasi ini dengan meluncurkan berbagai inovasi di bidangnya. Akibatnya, menurut data dari survei internal Direktorat Jenderal Imigrasi, indeks kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan keimigrasian meningkat cukup tajam di tahun 2015. Pencapaian yang sangat memuaskan ini, bagaimanapun, menjadi target pembantahan dari sudut pandang dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam paradigma new public service dan critical system heuristics. Sebagai penunjang terhadap dua teori ini, model kolaborasi dari theory of change juga akan dijabarkan. Sangat diharapkan bahwasanya model kolaborasi ini, nantinya, dapat digunakan untuk membantu pencapaian kualitas pelayanan publik yang prima. Kajian ini menggunakan data-data sekunder yang didapat dari Imigrasi dan di olah menggunakan metode kualitatif. Tulisan ini menyimpulkan penentuan cara yang tepat dalam penyelenggaraan pelayanan publik, khususnya di bidang pelayanan paspor online dan inovasi-inovasi yang mengikutinya beserta implikasinya terhadap tingkat kepuasan dan kepercayaan masyarakat. Beberapa rekomendasi seperti pencanangan program partisipasi publik dan penggunaan sistem kerja mandiri untuk kantor pelayanan di daerah diyakini dapat menjadi jalan keluar untuk menuju pelayanan publik berskala dunia.
Penulis: D.S. Priyarsono -- Tony Irawan -- Ready Prima Dudesy
Abstrak:
Kinerja pasar modal tidak hanya ditentukan oleh faktor internal perusahaan saja, tetapi juga oleh faktor eksternal perusahaan. Faktor eksternal perusahaan salah satunya adalah kondisi ekonomi. Investor dapat menggunakan indikator kondisi perekonomian nasional yaitu tingkat inflasi untuk keputusan investasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengaruh guncangan tingkat inflasi Indonesia terhadap imbal hasil saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Tingkat inflasi Indonesia yang tidak signifikan memengaruhi imbal hasil indeks saham gabungan di BEI. Hasil penelitian menemukan satu hubungan kausalitas atau saling memengaruhi yaitu antara variabel tingkat inflasi nasional dan variabel imbal hasil saham sektor industri dasar dan kimia. Hasil penelitian juga mendekteksi bahwa terdapat empat hubungan satu arah yaitu antara imbal hasil saham sektor pertanian yang signifikan memengaruhi tingkat inflasi, imbal hasil saham sektor keuangan yang signifikan memengaruhi tingkat inflasi, imbal hasil indeks saham gabungan di BEI yang signifikan memengaruhi tingkat inflasi, dan tingkat inflasi yang signifikan memengaruhi imbal hasil saham sektor infrastruktur. Guncangan tingkat inflasi Indonesia direspon negatif oleh imbal hasil saham sektor industri dasar dan kimia. Sebaliknya guncangan imbal hasil saham sektor industri dasar dan kimia juga direspon negatif oleh tingkat inflasi nasional. Guncangan Imbal hasil saham sektor pertanian direspon positif oleh tingkat inflasi nasional. Guncangan Imbal hasil saham sektor keuangan direspon negatif oleh tingkat inflasi nasional. Guncangan Imbal hasil indeks Harga Saham Gabungan direspon negatif oleh tingkat inflasi nasional. Guncangan tingkat inflasi Indonesia direspon negatif oleh imbal hasil saham sektor infrastruktur, pekerjaan umum, dan transportasi.
Penulis: Mardianis -- Hanibal Syartika
Abstrak:
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011, Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi termasuk Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Tahun 2010-2025. Sementara kontribusi sektor pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih sangat kecil. Peningkatan jumlah tempat wisata sampai dengan tahun 2014 dan penetapan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional menjadi potensi peningkatan PAD dari sektor pariwisata sehingga menjadi sektor unggulan di Kabupaten Kerinci ke depannya. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji potensi sektor pariwisata di Kabupaten Kerinci sebagai sektor unggulan sehingga memberikan dampak ekonomi terhadap PAD dan bagaimana strategi pengembangan sektor pariwisata di Kabupaten Kerinci. Metode penelitian dengan analisis deskriptif dari data sekunder selama periode tahun 2010-2014, alat analisis digunakan Metode Location Quotient, Dynamic Location Quotient dan Indeks Spesialisasi. Analisis SWOT digunakan untuk analisis strategi pengembangan sektor pariwisata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor pariwisata belum menjadi sektor unggulan, akan tetapi merupakan sektor yang prospektif untuk dikembangkan dalam mendukung pembangunan perekonomian dan meningkatkan pendapatan daerah Kabupaten Kerinci ke depannya. Kontribusi sektor pariwisata terhadap PAD pada periode penelitian hanya 0,57 persen atau relatif tidak berperan. Adapun strategi pengembangan ke depannya difokuskan pada peningkatan keunikan Kabupaten Kerinci sebagai destinasi wisata melalui pengembangan kawasan wisata berbasis partisipasi masyarakat, pembinaan masyarakat yang sadar wisata, diversifikasi produk wisata yang bisa menjadi ciri khas daerah dibanding daerah lainnya, menumbuhkan gerakan sadar wisata “tradisi mudik/pulang kampung”, melestarikan budaya lokal sebagai keunikan wisata dan peningkatan promosi dan publikasi.
Penulis: Ragimun
Abstrak:
Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dibentuk sebagai wujud dari respon ASEAN terhadap dinamika ekonomi di kawasan dan global berupa integrasi negara-negara ASEAN dengan perekonomian global. RCEP memiliki tujuan progresif menghapuskan tarif dan hambatan non-tarif serta memfasilitasi dan meningkatkan transparansi antar negara anggota. Penyatuan 16 negara dalam satu skema perjanjian perdagangan bebas akan menjadikan RCEP menjadi blok perdagangan besar yang menguasai sepertiga dunia. Penelitian ini bertujuan menganalisis optimalisasi perdagangan barang dengan diberlakukannya RCEP dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan manfaat atas perdagangan barang bagi Indonesia. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan-pendekatan ekonomi yang lebih menekankan pada dampak pembentukan RCEP terhadap perdagangan barang bagi Indonesia melalui pendekatan deskriptif. Sebagai hasilnya adalah bahwa optimalisasi peningkatan ekspor Indonesia jangka menengah dan jangka panjang akan dapat dicapai, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui percepatan penyelesaian perundingan RCEP khususnya terkait tiga isu penting yaitu isu perdagangan barang (trade in goods), perdagangan jasa (trade in services), dan investasi. Upaya-upaya lainnya adalah mendorong transformasi struktur ekspor dari berbasis komoditi menjadi produk dan jasa yang bernilai tambah, memanfaatkan seluruh skema preferensi yang ada selama ini dan request delegasi Indonesia terkait pembukaan akses pasar dengan menargetkan pasar secara spesifik. Demikian juga senantiasa fokus pada skala untuk membantu perbaikan neraca perdagangan serta menyusun “negative list” beberapa negara tujuan ekspor yang selama ini perlu dioptimalkan seperti Cina, Jepang dan Korea Selatan.
Penulis: Agus Maulana -- Arif Satria -- Muhammad Aris Nurcholis
Abstrak:
Dalam rangka melaksanakan amanat reformasi birokrasi khususnya program penguatan akuntabilitas serta dalam rangka meningkatkan kinerja, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan kebijakan untuk mengimplementasikan manajemen kinerja dengan pendekatan balanced scorecard dalam proses penyusunan rencana strategis sejak tahun 2013. Penelitian bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang menentukan implementasi strategi dan mengevaluasi implementasi strategi balanced scorecard ditinjau dari prinsip-prinsip strategy-focused organization, serta melakukan analisis apakah balanced scorecard telah dipahami dan digunakan dengan baik oleh para pimpinan dan seluruh pegawai untuk pencapaian strategi organisasi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sequential explanatory research. Data diambil dari 231 responden pegawai dan dilanjutkan dengan wawancara mendalam terhadap sembilan responden terpilih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi strategi di Kementerian Kelautan dan Perikanan ditentukan oleh faktor-faktor kualitas tahapan strategi dan faktor-faktor pendukung implementasi strategi. Di antara faktor-faktor kualitas tahapan strategi, kejelasan indikator kinerja berbasis posisi mempunyai nilai yang paling tinggi dan yang paling rendah nilainya adalah kejelasan penilaian kinerja. Untuk faktor pendukung yang paling menentukan adalah program manajemen perubahan, sedangkan faktor pendukung yang masih kurang dan harus diperbaiki adalah dukungan anggaran dan peran unit manajemen strategi. Penelitian juga menyimpulkan bahwa ditinjau dari lima prinsip strategy-focused organization, level implementasi balanced scorecard untuk pencapaian strategi oleh para pimpinan sudah baik. Namun pemahaman pegawai secara keseluruhan terhadap balanced scorecard masih belum baik.
Penulis: Lesmana Rian Andhika
Abstrak:
Konsep tata kelola pemerintahan dari good governance, sound governance, dynamic governance, dan open government merupakan sebuah konsep rujukan yang dianggap dapat mengelola aktivitas pemerintahan dengan baik. Konsep tata kelola pemerintah apa pun yang diadopsi menyiratkan untuk menolak berbagai bentuk aktivitas pemerintah yang didasari dari kegiatan otoritarian, korupsi, kolusi, dan nepotisme yang akan membuka peluang tindakan-tindakan jahat lainnya dalam melaksanakan aktivitas pemerintah. Tujuan penelitian ini berusaha memberikan kontribusi pengetahuan dengan mengeksplorasi konseptual teoritis dan membandingkan di antara konsep tersebut dari literatur ilmiah yang relevan, berbagai argumentasi mengungkapkan belum tentu konsep tata kelola pemerintah yang diadopsi bisa dan sukses dilaksanakan pada tempat yang berlainan. Artikel penelitian ini merupakan synthesis of qualitative research, dengan menggunakan metode meta-theory (the analysis of theory). Penelitian ini berusaha untuk mengidentifikasi beberapa bukti tertulis yang ada mengenai tema penelitian. Hasil penelitian mengungkapkan, tata kelola pemerintah diadopsi karena kebutuhan untuk merespon berbagai masalah aktivitas pemerintah. Berbagai model tata kelola pemerintah itu muncul akibat adanya pemikiran baru untuk mengisi kekurangan dari konsep yang telah ada sebelumnya dengan pendekatan dan fokus yang berbeda. Hasil lain juga mengungkapkan bahwa konsep tata kelola pemerintah memiliki intisari dan merujuk kepada inovasi pemerintah sebagai upaya untuk mengelola aktivitas pemerintah, dan berkontribusi menghadirkan pelayanan publik yang baik. Konsep tata kelola pemerintah akan tidak bermakna apabila dijalankan oleh orang-orang dengan kualitas sumber daya manusia rendah, tidak cerdas, dan tidak responsif.
Penulis: Joko Tri Haryanto
Abstrak:
Pemetaan kemampuan keuangan daerah sangat penting untuk melihat tingkat kemandirian daerah dalam menjalankan kewenangannya. Dalam beberapa kasus, rendahnya kemandirian daerah, selain disebabkan oleh lemahnya penerimaan PAD juga disebabkan oleh beban pengelolaan belanja APBD yang besar. Di sisi lain, kondisi daerah di Indonesia sangat bervariasi. Beberapa daerah merupakan penghasil SDA dan beberapa lainnya tergolong non-SDA, namun memiliki basis pajak yang besar. Sementara sebagian besar daerah lainnya justru tidak memiliki kekayaan apapun. Dengan kondisi yang sangat bervariasi tersebut, tentu dibutuhkan sebuah analisis yang komprehensif dalam pengambilan kebijakan secara nasional dengan tetap memerhatikan karakteristik masing-masing daerah. Sayangnya, penelitian dengan mendasarkan karakteristik daerah tersebut belum banyak dilakukan. Untuk itulah di tahap awal, kajian ini memfokuskan analisis pada perbandingan daerah penghasil SDA dan non-SDA. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuadran dengan pendekatan analisis share dan growth dari masing-masing daerah. Dari hasil analisis share, disimpulkan bahwa daerah penghasil SDA memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan daerah non-SDA. Sebaliknya dari analisis growth, daerah non-SDA memiliki nilai lebih besar dibandingkan daerah penghasil SDA. Dari analisis metode kuadran, hanya Kabupaten Badung yang masuk di kuadran I. Seluruh daerah non-SDA masuk di kuadran II, sementara keseluruhan daerah penghasil SDA masuk di kuadran III minus Kabupaten Indragiri Hilir. Di dalam kuadran IV, dari seluruh lokus penelitian hanya ada Kabupaten Indragiri Hilir. Berdasarkan hasil tersebut, pemerintah wajib memfokuskan kebijakan transfer ke daerah kepada daerah-daerah yang berada kuadran IV sehingga ke depannya mereka dapat melakukan berbagai perbaikan menuju kondisi yang lebih baik.
Penulis: Hadi Susanto -- Wisnu Winardi -- Kadim Martana
Abstrak:
Dalam beberapa tahun ini ekonomi Indonesia tumbuh baik dengan diikuti tren penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Namun demikian, capaian tersebut menjadi kurang maksimal karena belum disertai dengan peningkatan kualitas distribusi pendapatan. Sebagai negara besar dengan penduduk yang heterogen dan menganut nilai sosial, budaya dan agama yang kuat, Indonesia memiliki modal potensial yang dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi tersebut. Salah satu modal tersebut di antaranya adalah transfer antar rumah tangga. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak peningkatan transfer antarrumah tangga sebagai refleksi dari peningkatan kepedulian sosial terhadap beberapa aspek ekonomi. Alat analisis yang digunakan adalah model computable general equilibrium, berdasarkan data sistem neraca sosial ekonomi Indonesia tahun 2008. Model yang digunakan termasuk dalam kelas neoklasik yang mengasumsikan analisis dampak bersifat jangka panjang. Hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan transfer antar rumah tangga berdampak terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga,
peningkatan penerimaan pemerintah, penurunan tingkat harga komposit, dan peningkatan pemerataan distribusi pendapatan. Lebih lanjut, peningkatan transfer antar rumah tangga juga berpengaruh terhadap struktur ekonomi, terutama pada komponen konsumsi rumah tangga dan investasi. Kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB menurut pengeluaran diperkirakan menjadi turun, sedangkan investasi meningkat. Temuan ini mengindikasikan bahwa peningkatan transfer antar rumah tangga memiliki manfaat yang luas, baik dari aspek sosial maupun ekonomi.
Penulis: Ajeng Tri Wardhani
Abstrak:
Dalam menyikapi kenaikan harga bahan pangan yang tidak stabil, terdapat perubahan pola perilaku petani di negara berkembang
untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangganya melalui swasembada pangan. Dalam hal ini, konsumsi bahan pangan di rumah
tangga perdesaan dapat berasal dari hasil produksinya sendiri. Untuk menjamin ketahanan pangan rumah tangganya, petani sengaja
mengalokasikan sebagian dari lahan yang dibudidayakan untuk menghasilkan tanaman pangan yang akan mereka konsumsi nantinya.
Penelitian ini berusaha mempelajari apakah mengonsumsi hasil produksi sendiri menjadi strategi rumah tangga perdesaan dalam
memenuhi kebutuhan pangan keluarganya, yaitu dengan menambahkan variabel konsumsi bahan pangan hasil produksi sendiri
ke dalam sistem permintaan Linearly Approximated Almost Ideal Demand System (LA/AIDS). Peneliti juga membagi rumah tangga
ke dalam tiga kelompok pendapatan yaitu rendah, menengah, dan tinggi untuk menangkap heterogenitas di tingkat rumah tangga
perdesaan. Dari data Susenas 2008 dan 2011, variabel konsumsi bahan pangan hasil produksi sendiri terbukti memengaruhi share
(proporsi) konsumsi rumah tangga di semua kelompok komoditas. Pada tahun 2011, semakin rendah pendapatan rumah tangga, maka
konsumsi dari hasil produksi sendiri untuk kelompok umbi-umbian dan buah-buahan menjadi semakin tinggi, sedangkan konsumsi
dari hasil produksi sendiri untuk kelompok padi-padian, telur dan susu, serta kelompok makanan lainnya menjadi semakin rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga perdesaan masih bergantung pada hasil produksi sendiri dalam memenuhi kebutuhan
konsumsi pangan keluarganya. Bila perilaku mengonsumsi hasil produksi sendiri dapat menjadi indikasi adanya ketidakpercayaan
petani terhadap pasar (kegagalan pasar/pasar persaingan tidak sempurna) untuk komoditas pangan tersebut, maka pemerintah
perlu memberi perhatian khusus agar pemenuhan gizi di perdesaan tidak terganggu.
Penulis: Lestari Agusalim
Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah pajak ekspor dan peningkatan produktivitas komoditas pertanian utama dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, output agroindustri, penyerapan tenaga kerja, dan pendapatan rumah tangga. Model yang
digunakan dalam penelitian ini adalah model computable general equilibrium comparative static. Data yang digunakan adalah Tabel
Input-Output 2008 dan Tabel Sistem Necara Sosial Ekonomi 2008, serta data pendukung lainnya. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kebijakan pajak ekspor berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, terutama dalam jangka panjang. Tetapi, apabila
kebijakan ekspor tersebut disertai oleh peningkatan produktivitas pada sektor yang dikenai pajak, maka akan berdampak positif
terhadap pertumbuhan ekonomi. Secara sektoral, kebijakan pajak ekspor mampu meningkatkan output domestik agroindustri dalam
jangka panjang, tetapi berdampak negatif dalam jangka pendek dengan atau tanpa disertai peningkatan produktivitas. Kebijakan
tersebut juga berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja sektoral, di mana secara umum terjadi penurunan permintaan tenaga
kerja dalam jangka pendek. Sementara itu, dalam jangka panjang terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja pada sebagian besar
sektor ekonomi. Kebijakan pajak dalam jangka pendek akan menurunkan pendapatan riil pada seluruh kelompok rumah tangga,
terutama kelompok rumah tangga yang berpenghasilan tinggi. Ketika kebijakan tersebut disertai oleh peningkatan produktivitas
maka akan berdampak positif terhadap redistribusi pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga. Dalam jangka panjang, kebijakan
pajak ekspor mengakibatkan peningkatan pendapatan pada rumah tangga berpenghasilan tinggi, dan penurunan pendapatan pada
kelompok rumah tangga berpenghasilan rendah dengan atau tanpa peningkatan produktivitas.
Penulis: Lesmana Rian Andhika
Abstrak:
Barang publik tidak lagi didefinisikan secara teoritis, barang publik seharusnya bisa dinikmati oleh masyarakat secara gratis yang
disediakan oleh negara. Namun, secara praktis makna barang publik tersebut bergeser dari makna sesungguhnya, terutama terlihat
pada negara-negara berkembang yang mengandalkan sumber anggaran negara dari pajak. Pajak dipungut bukan saja dari sektorsektor
strategis, namun negara juga sudah memungut pajak dari penyediaan barang publik dengan alasan untuk meningkatkan
kualitas dan menjamin ketersediaan barang publik secara berkelanjutan. Penelitian ini ingin memberikan gambaran pengelolaan
barang publik bukan hanya disediakan oleh pemerintah tapi swasta juga bisa melakukan fungsinya untuk memproduksi barang publik.
Fenomena yang terjadi, barang publik telah diprivatisasi, permainan monopoli dan kartel bisa meningkatkan angka kemiskinan.
Sehingga untuk mendapatkan barang publik membutuhkan usaha agar dapat terpenuhinya kebutuhan dasar. Tujuan khusus
penelitian ini berfokus pada pengelolaan barang publik ditinjau dari aspek kebijakan publik yang berasal dari berbagai literatur ilmiah.
Metode dalam penelitian ini menggunakan systematic reviews technique, dilakukan secara deduktif atau theoretical & analytical
framework (meta-theory). Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa pengelolaan barang publik tidak bisa sepenuhnya dinikmati
oleh masyarakat secara gratis dengan kebijakan pemerintah yang memperhatikan pola penyediaan, moral, dan lingkungan eksekusi
kebijakan. Kebijakan menjadi jawaban riil atas permasalahan dengan dukungan tata kelola pemerintahan yang baik.
Penulis: Malik Cahyadin -- Agustinus Suryantoro -- Anisya Nurjannah
Abstrak:
Studi ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kausalitas antara inflasi dan ketidakpastian inflasi, serta pengaruh variabel moneter
yaitu (jumlah uang beredar dan tingkat suku bunga) terhadap inflasi di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Penelitian ini
menggunakan tiga metode analisis, yaitu analisis time series, Uji kausalitas Granger, dan data panel. Analisis time series dilakukan
untuk mengestimasi ketidakpastian inflasi pada masing-masing negara, yaitu: Indonesia dengan metode ARMA(2,2), Filipina dengan
metode AR(1), Malaysia dengan metode AR(2)–EGARCH(1,2), dan Thailand dengan metode ARMA(1,(1)(3))-TARCH(2). Sementara
itu, analisis data panel digunakan untuk menganalisis pengaruh ketidakpastian inflasi dan variabel moneter terhadap inflasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pada kasus Indonesia dan Thailand terdapat hubungan kausalitas satu arah antara inflasi dengan
ketidakpastian inflasi. Sementara itu, hasil uji kausalitas di Filipina dan Malaysia menunjukkan terdapat hubungan kausalitas dua
arah antara inflasi dan ketidakpastian inflasi. Estimasi data panel menunjukkan bahwa ketidakpastian inflasi berpengaruh positif dan
signifikan terhadap inflasi, jumlah uang beredar berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi, sedangkan tingkat suku bunga
deposito berhubungan positif dan tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Saran dalam penelitian ini, yaitu Bank Indonesia
sebagai otoritas moneter diharapkan tetap fokus untuk mencapai tingkat inflasi rendah dan stabil untuk menekan ketidakpastian
inflasi. Selain itu, pemerintah pusat sebaiknya melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan jumlah uang kuasi dan mengurangi
jumlah uang kartal untuk menekan tingkat inflasi.
Penulis: Abdul Aziz -- Eko Wicaksono
Abstrak:
Pemerintah Indonesia memiliki komitmen untuk mengurangi angka kemiskinan di Indonesia. Salah satu program kegiatan yang digulirkan adalah dengan pemberian fasilitas kredit kepada unit usaha mikro, baik melalui skema penjaminan kredit seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) maupun melalui skema subsidi bunga seperti Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) dan Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS). Namun demikian, terdapat permasalahan besar dalam implementasi, seperti besarnya risiko terjadinya default, prudentiality dari bank pelaksana yang terlalu tinggi, serta ketidaktepatan penyaluran. Permasalahan tersebut tidak terlepas dari permasalahan dasar di credit market, yaitu asymmetric information yang meliputi adverse selection dan moral hazard. Oleh sebab itu, permasalahan ini pada akhirnya berujung pada tidak optimalnya penyerapan kredit program. Hal tersebut akan menghambat akses calon debitur kepada permodalan pada waktu yang tepat, sehingga tidak menutup kemungkinan calon debitur tersebut akhirnya mengandalkan akses modal dari lembaga keuangan informal dengan tingkat bunga yang cukup tinggi. Potret permasalahan tersebut mendasari penelitian ini untuk menganalisis lebih lanjut desain alternatif skema kredit program. Skema tersebut mencakup institusi yang seharusnya dilibatkan dalam implementasi program sehingga terwujud credit market yang berkelanjutan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Keberadaan lembaga keuangan mikro (LKM) dianggap dapat mengatasi kedua permasalahan dasar tersebut mengingat LKM memiliki akses informasi yang lebih bagus terkait calon debitur. Oleh sebab itu, salah satu rekomendasi yang diajukan adalah melakukan penyatuan format kredit program dan pada akhirnya mengusulkan LKM sebagai salah satu pelaksana dari kredit program untuk memperluas akses kredit bagi UMKM di Indonesia.
Penulis: Dr. Ari Mulianta Ginting, S.E., M.S.E.
Abstrak:
Salah satu industri yang memiliki keterkaitan dengan makroekonomi adalah industri perbankan, hal ini dikarenakan industri perbankan sangat peka dengan kondisi perekonomian suatu negara. Jika suatu perekonomian suatu negara sedang berkembang, maka industri perbankan juga dapat berkembang. Namun kondisi sebaliknya ketika perekonomian sedang mengalami krisis, maka hal ini dapat mengakibatkan dampak terhadap industri perbankan. Oleh karena itu kondisi makroekonomi Indonesia menjadi suatu hal yang harus diperhatikan bagi penyaluran kredit perbankan. Studi ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan kredit dan kredit macet (NPL) perbankan di Indonesia dan mengetahui pengaruh variabel makroekonomi terhadap NPL perbankan di Indonesia. Studi ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif menggunakan metode dynamic panel data yang menggunakan data dari tahun 2006-2014. Hasil studi ini menunjukkan bahwa perkembangan kredit dalam periode tersebut mengalami tren meningkat, peningkatan kredit yang disalurkan oleh perbankan diikuti oleh peningkatan NPL perbankan. Studi ini juga menemukan bahwa ternyata kondisi makroekonomi, terutama GDP, memiliki pengaruh yang negatif terhadap NPL. Artinya jika semakin membaiknya perekonomian yang ditandai dengan semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi akan semakin mengurangi NPL dan memiliki pengaruh yang positif dengan variabel tingkat suku bunga pinjaman serta inflasi. Berdasarkan temuan tersebut maka diperlukan sinergitas antara pemerintah sebagai otoritas fiskal dengan Bank Indonesia untuk menciptakan kondisi makroekonomi yang baik yang dapat mengurangi kredit macet perbankan di Indonesia.
Penulis: Ahmadriswan Nasution
Abstrak:
Kebijakan pengurangan kemiskinan di Indonesia cenderung mengandalkan pendekatan ekonomi, seperti pembangunan infrastruktur (modal fisik), bantuan kredit (modal keuangan), dan bantuan pendidikan dan kesehatan (modal manusia). Padahal, kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks, melibatkan banyak sumber daya termasuk modal sosial. Penelitian ini menganalisis peran modal sosial terhadap kemiskinan rumah tangga perdesaan di Indonesia. Modal sosial diukur berdasarkan indeks dimensi modal sosial (saling percaya, norma, gotong royong, partisipasi dalam kegiatan sosial, dan jejaring sosial), sedangkan kemiskinan diukur dengan pengeluaran per kapita rumah tangga. Metode analisis menggunakan model regresi linier berganda pada sampel sebanyak 40.474 rumah tangga. Adapun sumber data dari hasil survei berskala nasional yang dilakukan oleh BPS, yaitu Susenas tahun 2012 dan Podes tahun 2011. Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata indeks modal sosial rumah tangga di perdesaan sebesar 52,18 (maksimum 100). Adapun komponen yang paling berperan dalam pembentukan modal sosial rumah tangga miskin adalah rasa saling percaya. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa modal sosial bersama-sama dengan modal manusia, modal keuangan, dan modal fisik memberikan efek positif terhadap pengeluaran per kapita rumah tangga, sehingga dapat mengurangi kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa modal sosial berperan penting dalam pengurangan kemiskinan di perdesaan. Pemerintah dan pihak terkait diharapkan membuat kebijakan yang memfasilitasi pengembangan modal sosial dalam upaya pengurangan kemiskinan di perdesaan Indonesia.
Penulis: Daru Mulyono
Abstrak:
Produktivitas kakao di Indonesia tergolong rendah, tercatat pada tahun 2013 produksi biji kakao hanya mencapai 414 kg/ha/tahun jauh di bawah rata-rata ideal yang mencapai 2.000 kg/ha/tahun. Demikian pula dalam industri pengolahan kakao yang mengalami kesulitan karena kekurangan pasokan bahan baku biji kakao sehingga belum berkembang optimal. Kajian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih jelas dalam upaya pengembangan agribisnis kakao nasional yang dilakukan melalui harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan hulu-hilir dalam pengembangan budidaya dan industri pengolahan kakao. Kajian ini merupakan kajian deskriptif analitik dengan analisis data dilakukan melalui (a) penelaahan dokumen-dokumen kebijakan yang terkait dengan pengembangan kakao dan (b) perumusan konsep untuk meningkatkan produksi kakao dan mengembangkan industri pengolahan kakao dalam negeri. Untuk menunjang upaya pengembangan agribisnis kakao tersebut pemerintah telah melaksanakan program peningkatan produksi kakao melalui Gernas Kakao dan untuk pengembangan industri pengolahan kakao pemerintah telah pula menerapkan kebijakan pengenaan Bea Keluar ekspor biji kakao melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 67/PMK.011/2010 untuk menjamin pasokan bahan baku biji kakao. Hasil dilaksanakannya program Gernas Kakao dan diberlakukannya BK tersebut menunjukkan bahwa volume ekspor kakao dalam bentuk biji terus menurun dan sebaliknya volume ekspor produk olahan kakao terus meningkat. Dampak kebijakan tersebut akan semakin nyata dalam pengembangan agribisnis kakao bila dilakukan melalui perumusan kebijakan yang harmonis dan sinergis antara aspek budidaya kakao (sektor hulu) dan industri pengolahan kakao (sektor hilir).
Penulis: Saut H. Siahaan
Abstrak:
Pengembangan industri hilir kelapa sawit melalui penerapan konsep klaster di Provinsi Sumatera Utara menjadi harapan pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk. Namun demikian, apakah konsep ini dapat mendorong daya saing industri kelapa sawit yang berdaya saing ternyata masih menjadi tantangan. Hal ini terutama terkait dengan kondisi keragaman para pelaku dalam rantai pasokan industrinya serta adanya tuntutan persaingan usaha dalam pasar global yang mengikutkan aspek lingkungan. Oleh karena itu, analisis klaster industri yang dilihat dari perspektif rantai pasokan industri pengolahan kelapa sawit menjadi menarik. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif eksploratif dan memperoleh data primer dari wawancara mendalam dengan para pelaku dalam rantai pasokan industri pengolahan kelapa sawit di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2015. Hasil analisis menunjukkan bahwa perkebunan rakyat mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam memasok bahan baku Tandan Buah Segar untuk industri pengolahan kelapa sawit, oleh karenanya keberadaan perkebunan rakyat tidak dapat dikesampingkan dalam pengembangan industri hilir kelapa sawit. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa masih perlu didorong pembangunan struktur tata kelola rantai pasokan industri kelapa sawit, strategi peningkatan, distribusi, dan keadilan agar distribusi manfaat bagi para pelaku dalam rantai pasokan dapat dirasakan. Berkenaan dengan hal ini maka upaya untuk mempromosikan usaha industri perkebunan yang berkelanjutan masih sangat perlu, terutama untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan menguntungkan para pelaku dalam rantai pasokan industri kelapa sawit.
Penulis: Novita Erlinda -- Novita Erlinda
Abstrak:
Pembangunan berkelanjutan telah menjadi suatu keniscayaan agenda pembangunan, baik pada tatanan
nasional maupun regional. Capaian indikator pembangunan berkelanjutan yang meliputi tiga pilar, yaitu
ekonomi, sosial, dan lingkungan sangat penting untuk dilakukan, karena pembangunan dengan pola
business as usual akan menimbulkan biaya sosial dan lingkungan yang cukup mahal. Namun demikian,
pengukuran keberlanjutan sering terkendala dengan kompleksitas indikator keberlanjutan itu sendiri.
Tulisan ini bertujuan untuk mengevaluasi pembangunan berkelanjutan pada tingkat regional di Provinsi
Jambi dengan menggunakan metode multi-criteria analysis melalui pendekatan model FLAG. Tingkat
keberlanjutan pembangunan daerah akan dianalisis dengan menentukan Critical Threshold Value (CTV)
dari pembangunan, yang ditetapkan oleh tujuan kebijakan atau kendala eksogen. Penelitian dilakukan
dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer menyangkut nilai CTV diperoleh
melalui Focus Group Discussion, sementara data sekunder terkait dengan indikator ekonomi, sosial,
dan lingkungan diperoleh dari berbagai sumber. Data aktual capaian pembangunan di Provinsi Jambi
digunakan sebagai informasi untuk mengetahui bagaimana pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jambi
saat ini. Tingkat keberlanjutan pembangunan akan ditunjukkan oleh warna bendera, di mana bendera
hijau menunjukkan pembangunan yang berkelanjutan, sedangkan bendera kuning, merah, dan hitam
menunjukkan pembangunan yang tidak berkelanjutan. Hasil analisis dengan FLAG menunjukkan bahwa
skenario pembangunan eksisting cenderung menghasilkan bendera merah dan kuning dengan melewati
batas ambang kritis. Strategi pembangunan baru berbasis sumber daya lokal dan ekonomi nonekstraktif
diperlukan untuk menghasilkan pembangunan yang lebih berkelanjutan.
Penulis: Bambang Juanda -- Dedy Heriwibowo
Abstrak:
Implementasi desentralisasi fiskal di Indonesia hingga saat ini belum sepenuhnya memberikan pengaruh
positif. Permasalahan kemiskinan, kesenjangan antardaerah dan individu yang memburuk, rendahnya
kualitas pelayanan pendidikan, kesehatan, infrastruktur masih mendominasi masalah daerah, sehingga
diperlukan kebijakan yang mendorong terwujudnya belanja daerah yang berkualitas dalam rangka konsolidasi
desentralisasi fiskal di Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk mendefinisikan belanja pemerintah daerah yang
berkualitas, mengidentifikasi regulasi yang bermasalah, dan memberikan rekomendasi perbaikan kebijakan
yang mendorong terwujudnya belanja berkualitas. Kebijakan belanja daerah yang berkualitas merupakan
upaya yang dilakukan pemerintah agar belanja daerah dialokasikan sesuai dengan prioritas pembangunan
daerah, yang digunakan secara efisien dan efektif, tepat waktu, transparan, dan akuntabel. Namun masih
terdapat berbagai regulasi saat ini yang cenderung belum sinkron dan menghambat terwujudnya belanja
daerah yang berkualitas. Agenda reformasi kebijakan yang mendukung terwujudnya belanja daerah yang
berkualitas perlu ditekankan pada aspek penguatan daerah dalam menyusun dan melaksanakan prioritas
anggaran, penyederhanaan mekanisme pembahasan anggaran, penerapan kerangka pengeluaran jangka
menengah, alokasi DAK berdasarkan proposal kegiatan untuk mendukung pencapaian standar pelayanan
minimal dan prioritas nasional, penganggaran hibah dan bansos yang lebih transparan dan akuntabel, serta
penyederhanaan dan pengintegrasian sistem pelaporan pemerintah daerah.
Penulis: La Ode Alwi -- Arya Hadi Dharmawan -- M. Parulian Hutagaol -- Akhmad Fauzi
Abstrak:
Pengelolaan pertambangan pada suatu daerah sejatinya dapat memberikan kesejahteraan masyarakat
khususnya pada daerah penghasil tambang itu sendiri. Namun yang terjadi justru daerah penghasil
tambang terjebak dalam natural resource curse dan dutch disease. Pendapatan daerah dari mineral fund
merupakan instrumen cash transfer yang cenderung gagal menyejahterakan masyarakat yang disebabkan
adanya bias sasaran, bias program, dan bias koordinasi. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah (1)
menentukan indikator kunci tata kelola kelembagaan mineral fund dan (2) menentukan alternatif terbaik
dalam pemanfaatan mineral fund. Hasil penelitian menunjukkan (i) indikator kunci yang mempunyai
tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi dalam tata kelola kelembagaan mineral fund adalah adanya
ketersediaan regulasi, program yang tepat sasaran, adanya pengawasan terhadap biaya produksi tambang
yang digunakan perusahaan, pengawasan hasil produksi tambang yang dihasilkan perusahaan, dan adanya
badan pengelola mineral fund yaitu institusi multi pihak (ii) alternatif terbaik pemanfaatan mineral fund
yang menunjang pembangunan daerah berkelanjutan, yakni (a) aspek sosial, meliputi peningkatan sarana
kesehatan, pendidikan dan ibadah, peningkatan peran masyarakat adat dalam pengambilan keputusan,
kualitas SDM yang tinggi, pemberdayaan masyarakat, serta peningkatan peran masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan, (b) aspek ekonomi, meliputi pengembangan lembaga ekonomi dan keuangan, diversifikasi
ekonomi perdesaan, pembangunan investasi primer, peningkatan iklim investasi dan pengembangan produk
lokal, dan (c) aspek ekologi/lingkungan, meliputi: penanganan pencemaran, proteksi dan keselamatan ekologi
dan manusia, penanganan munculnya bencana alam dan penanganan lahan akhir sebagai sektor primer.
Penulis: Davy Hendri
Abstrak:
Studi ini membahas faktor-faktor penentu margin suku bunga (NIM) di Indonesia dengan menggunakan dataset
panel bank periode tahun 2004-2012 yang mencakup sampel 42 bank umum komersial dari keseluruhan
bank yang beroperasi. Studi ini menggunakan pengembangan teori dealership model dalam analisis guna
menentukan variabel dominan penentu NIM. Hal ini dilakukan dengan memasukkan variabel kondisi
makroekonomi, kelembagaan, dan regulasi dalam dunia perbankan. Dengan data perbankan yang mencakup
kategori perbankan menurut kepemilikan saham terbesar (BUMN, asing, dan campuran) dan lingkup pelayanan
(devisa), analisis regresi panel fixed effect dilakukan dengan mengkomparasikan determinan karakteristik
khusus (time-variant) masing-masing bank tersebut. Hasil analisis studi ini menemukan fakta bahwa memang
karakteristik spesifik perbankan, seperti ukuran, likuiditas, dan kekuatan pasar, serta struktur pasar di mana
bank beroperasi, menjelaskan sebagian besar variasi NIM. Namun regulasi dan kualitas institusi ternyata tidak
cukup membantu menjelaskan variasi biaya intermediasi keuangan ini. Temuan ini memang berbeda jauh
dengan temuan pada studi perbankan pada negara maju. Hal ini setidaknya bisa dijelaskan oleh kemungkinan
level regulasi perbankan Indonesia yang justru sudah pada standar maksimum dan kemungkinan indikator
regulasi tidak bisa dipandang terisolasi dari struktur hak kepemilikan dan kompetisi yang sudah terbangun
dalam dunia perbankan sebelumnya. Namun secara umum, hasil analisis menunjukkan bahwa ada potensi
besar kebijakan untuk mendorong persaingan perbankan dan memperkuat kerangka kerja institusional guna
lebih mengurangi biaya intermediasi sistem perbankan.
Penulis: Dewi Restu Mangeswuri, S.E., M.Si.
Abstrak:
Penyelenggaraan rumah dan perumahan bagi masyarakat merupakan tanggung jawab Pemerintah dan
pemerintah daerah karena setiap orang berhak mendapatkan tempat tinggal yang layak, serasi, dan
teratur sesuai ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman. Selain pengadaan perumahan secara fisik, pemerintah juga perlu memberikan perhatian
terhadap masalah fasilitas pembiayaan perumahan tersebut karena tidak semua anggota masyarakat
mampu memenuhi kebutuhan rumah secara tunai. Data sensus penduduk BPS tahun 2010 menunjukkan
bahwa angka backlog mencapai 13,5 juta unit. Oleh karena itu, melalui program FLPP pemerintah berharap
kebijakan ini dapat membantu masyarakat untuk memiliki rumah yang terjangkau. Sementara itu, tujuan
penulisan kajian ini diarahkan untuk mengetahui sejauh mana program FLPP telah berjalan selama ini dan
mencoba menyajikan alternatif kebijakan lain untuk memperbaiki kualitas FLPP khususnya terkait dengan
permasalahan pembiayaan perumahan. Kajian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan
mendasarkan pada sumber data sekunder dari jurnal, literatur, dan media daring serta sumber resmi
lainnya. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa FLPP yang bersumber APBN sejauh ini telah sesuai dengan yang
direncanakan. Sementara itu, dua alternatif kebijakan dinilai akan dapat melengkapi program FLPP, yaitu
Subsidi Selisih Bunga (SSB) dan Bantuan Uang Muka (BUM). Alternatif pilihan ini khususnya diharapkan
mampu mengatasi kendala masyarakat berpenghasilan rendah dalam mengakses kredit pemilikan rumah.
Penulis: Arman -- Setia Hadi -- Akhmad Fauzi -- Noer Azam Achsani
Abstrak:
Ketimpangan ekonomi antarwilayah di Indonesia masih terus berlangsung, di mana Pulau Jawa menguasai
+60 persen aktivitas ekonomi. Penelitian ini menganalisis dampak keterkaitan ekonomi antarwilayah
Pulau Sulawesi, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur. Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara,
dan Gorontalo diagregasi menjadi satu unit wilayah menjadi Sulawesi Lain. Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Barat diagregasi menjadi satu unit wilayah menjadi Sulawesi Selatan. Data dasar tahun 2005 di-upgrade ke
tahun 2011 dengan menggunakan teknik RAS. Hasil analisis menunjukkan bahwa transaksi aliran barang
antara wilayah Sulawesi Lain dengan Sulawesi Selatan masih sangat kecil. Kebutuhan input antara Sulawesi
Lain dan Sulawesi Selatan lebih banyak dipasok dari wilayah Jawa Timur. Kedua wilayah tersebut lebih
banyak bergantung pasokan aliran barang dari wilayah Jawa Timur. Keterkaitan ekonomi antara Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Lain terhadap Kalimantan Timur dipengaruhi aliran komoditas pertanian dan energi.
Wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Lain banyak memasok kebutuhan pangan, sedangkan wilayah
Kalimantan memasok kebutuhan energi ke Sulawesi. Wilayah Jawa Timur memperoleh manfaat ekonomi
yang paling besar akibat interaksi ekonomi dengan Sulawesi Selatan, Sulawesi Lain, dan Kalimantan Timur.
Hasil interaksi memberikan pengaruh spillover yang sangat besar terhadap wilayah Jawa Timur. Pengaruh
spillover mengindikasikan kinerja ekonomi wilayah Jawa Timur meningkat bila keterkaitan ekonomi (aliran
barang) dengan Pulau Sulawesi dan Kalimantan Timur semakin kuat. Dampak keterkaitan ekonomi pada
keempat wilayah menunjukkan Jawa Timur memperoleh manfaat yang lebih besar. Namun kinerja dan
pertumbuhan ekonomi Jawa Timur memberikan pengaruh spillover yang masih sangat kecil terhadap
wilayah Sulawesi dan Kalimantan.
Penulis: Ebed Hamri -- Eka Intan Kumala Putri -- Deddy S. Bratakusumah -- Hermanto J. Siregar
Abstrak:
Penelitian ini dilakukan di Kota Tasikmalaya sebagai kota hasil pemekaran tahun 2001 dan berkembang
sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di wilayah Priangan Timur Provinsi Jawa Barat. Penelitian bertujuan
menganalisis perkembangan struktur perekonomian wilayah dan sektor unggulan yang menjadi daya
saing perekonomian wilayah Kota Tasikmalaya dibandingkan daerah sekitarnya (hinterland). Penelitian
menggunakan analisis tipologi Klassen, Indeks Diversitas Entropi (IDE), dan Location Quotient (LQ).
Penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis tipologi Klassen, Kota Tasikmalaya termasuk
klasifikasi daerah berkembang cepat, dibandingkan wilayah hinterland-nya Kabupaten Tasikmalaya,
Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar, dan Kabupaten Pangandaran, masuk dalam klasifikasi
daerah relatif tertinggal. Analisis IDE menunjukkan sektor-sektor perekonomian Kota Tasikmalaya lebih
berkembang dibandingkan daerah hinterland-nya. Terlihat rata-rata indeks diversitas entropi Kota
Tasikmalaya (0,85) lebih besar dibandingkan rata-rata nilai entropi wilayah sekitarnya (hinterland), yaitu
Kabupaten Tasikmalaya (0,71), Kabupaten Garut (0,67), Kabupaten Ciamis (0,81), Kota Banjar (0,83),
dan Kabupaten Pangandaran (0,74). Besarnya nilai entropi menunjukkan perekonomian wilayah Kota
Tasikmalaya lebih maju dan berkembang. Sedangkan dari hasil analisis LQ menunjukkan rata-rata LQ
Kota Tasikmalaya (12,80) lebih besar dibandingkan rata-rata LQ wilayah hinterland-nya, yaitu Kabupaten
Tasikmalaya (9,73), Kabupaten Garut (9,25), Kabupaten Ciamis (11,23), Kota Banjar (10,91), dan Kabupaten
Pangandaran (10,20). Sektor-sektor unggulan yang menjadi sektor basis ekonomi Kota Tasikmalaya adalah
bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan
jasa keuangan, serta jasa-jasa.
Penulis: Dr. Rasbin, S.TP., M.S.E.
Abstrak:
Sejak penerapan sistem rezim nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar dipengaruhi oleh banyak faktor baik internal maupun eksternal, yang meliputi variabel-variabel fundamental makroekonomi, nonekonomi, maupun news. Tujuan utama dari tulisan ini adalah untuk meneliti dan menganalisis pengaruh variabelvariabel fundamental makroekonomi, nonekonomi, dan news terhadap pergerakan nilai tukar rupiah per dolar AS. Tulisan ini menggunakan data bulanan dari Januari 2004 sampai dengan November 2014. Sumber data untuk tulisan ini diperoleh dari International Financial Statistic (IFS), web Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan studi Prasetyo (2014). Untuk mencapai tujuan tersebut, tulisan ini menggunakan metode estimasi Threshold Autoregressive Conditional Heteroskedasticity (TARCH). Hasil estimasi dalam tulisan ini menunjukkan bahwa pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada periode tahun 2004-2014 dipengaruhi secara signifikan oleh variabel-variabel fundamental makroekonomi seperti nilai tukar periode sebelumnya dan perbedaan tingkat suku bunga bank sentral dalam negeri dan luar negeri di mana masingmasing bertanda positif dan negatif. Faktor-faktor nonekonomi yang memengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah secara signifikan adalah waktu pelaksanaan pemilu dengan tanda koefisien adalah negatif. Selain faktor-faktor fundamental makroekonomi dan nonekonomi, pergerakan nilai tukar rupiah juga dipengaruhi oleh variabel news. Variabel news yang memengaruhi pergerakan nilai tukar secara signifikan adalah news tentang pertumbuhan jumlah uang beredar dan dan news tentang tingkat harga. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bersifat asimetris.
Penulis: Budhi Purwandaya -- Joko Tri Haryanto
Abstrak:
Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah telah mengubah Indonesia dari negara terpusat menjadi negara yang terdesentralisasi. Adapun implikasi langsung dari kebijakan ini adalah kebutuhan dana untuk membiayai pelaksanaan fungsi yang telah menjadi kewenangan daerah. Untuk membantu daerah dalam mendanai berbagai urusan dan yang telah didelegasikan kewenangan, pemerintah pusat menerapkan prinsip transfer ke daerah sesuai dengan kewenangan dan fungsi termasuk alokasi Dana Alokasi Umum (DAU). Dalam kebijakan DAU, pemerintah kemudian melakukan kebijakan hold harmless, di mana alokasi DAU tidak akan berkurang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Kebijakan itu kemudian dianggap negatif bagi proses perhitungan formula DAU. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi penghapusan kebijakan hold harmless sejak tahun 2008. Dengan menggunakan system dynamics, secara umum penghapusan kebijakan hold harmless akan memberikan kinerja pemerataan fiskal yang lebih baik. Namun demikian, kriteria pemilihan atau penetapan penyetaraan fiskal antardaerah perlu dibuat lebih objektif sesuai dengan tujuan awal alokasi DAU untuk menghindari kesalahan dalam menilai persepsi ekuitas antardaerah. Penelitian ini memberikan rekomendasi bahwa dengan mempertimbangkan pemerataan fiskal yang lebih baik, pelaksanaan penghapusan kebijakan hold harmless perlu dipertahankan. Penghapusan kebijakan ini juga pembelajaran untuk semua pemangku kepentingan untuk lebih berpikiran nasional (tidak hanya peduli dengan daerah masing-masing), serta upaya untuk meningkatkan kemandirian daerah, terutama daerah dengan kapasitas fiskal potensi tinggi.
Penulis: Dr. Ariesy Tri Mauleny, S.Si., M.E.
Abstrak:
Perpaduan pembangunan Jakarta dan daerah sekitarnya secara alami berawal dari aglomerasi yang didorong oleh konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi yang meliputi aspek ruang, tingkat komunitas, skala kota, dan kawasan. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan dan keterkaitan antara aglomerasi, pertumbuhan, dan perubahan sosial ekonomi yang terjadi di Jakarta. Pendekatan yang digunakan adalah metode estimasi regresi data panel fixed effect menggunakan data kota/kabupaten administrasi di Jakarta tahun 2008-2013. Hasil penelitian menunjukkan aglomerasi produksi berpengaruh nyata dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi namun negatif terhadap tingkat kemiskinan dan IPM. Sementara aglomerasi penduduk berpengaruh nyata dan negatif bagi pertumbuhan dan tingkat kemiskinan namun positif terhadap IPM. Kota/kabupaten yang memiliki tanda fixed effect cross positif terhadap perkembangan sosial ekonomi adalah Jaksel, Jaktim, Jakpus, dan Jakbar, sementara Jakut dan Kepulauan Seribu menunjukkan tanda negatif. Rancangan kawasan megapolitan Jabodetabekjur diharapkan menjadi solusi bagi permasalahan Jakarta seperti banjir, kemacetan dan sampah, serta permasalahan tata ruang lainnya. Mempercepat koordinasi untuk penanganan isu-isu strategis daerah yang dapat meningkatkan kinerja perekonomian secara keseluruhan dan memperluas dampak pemerataan pembangunan, harus segera dilakukan. Pengembangan sistem transportasi yang menunjang aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya, perbaikan kualitas jalan, pengembangan angkutan umum massal, serta peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam pengendalian urbanisasi dan pengelolaan tata ruang dan wilayah, menjadi alternatif solusi yang dapat dilakukan.
Penulis: Wahyunadi -- Masjudin Ashari -- Hailudin
Abstrak:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah sebab APBD menggambarkan prioritas dan arah kebijakan pemerintahan dalam satu tahun anggaran yang bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat. Untuk itu, kepentingan rakyat harus menjadi prioritas utama dalam penganggarannya sesuai kondisi problematika daerahnya. Penelitian ini bertujuan menganalisis proses perencanaan partisipatif dan bagaimana penyerapan partisipasi masyarakat pada APBD Kabupaten Lombok Utara tahun 2009-2013 serta faktor-faktor yang memengaruhi tingkat penyerapan partisipasi masyarakat tersebut. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menggunakan paradigma interpretatif dengan pendekatan fenomenologi, sedangkan data dikumpulkan melalui wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses partisipatif yang melibatkan masyarakat hanya terjadi pada tahap penyelidikan, perumusan masalah, identifikasi daya dukung, dan perumusan tujuan, tidak pada tahap penetapan langkah-langkah rinci dan perancangan anggaran. Tingkat penyerapan partisipasi masyarakat pada APBD Kabupaten Lombok Utara tahun 2009-2013 adalah sangat baik dengan tingkat serapan anggaran rata-rata dalam 5 tahun terhadap belanja langsung 5 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) adalah sebesar 50,36 persen. Faktor yang memengaruhi tingkat penyerapan partisipasi tersebut adalah (1) ketersediaan anggaran, (2) kepentingan politik, (3) kualitas usulan, dan (4) tingkat kepentingan (urgensi).
Penulis: Akhmad Fauzi -- Irfan Syauqi Beik -- Bambang Juanda -- Nafiah Ariyani
Abstrak:
Meskipun berbagai metode untuk menilai kinerja program pengentasan kemiskinan telah diterapkan, namun sebagian besar penilaian yang ada umumnya bersifat kualitatif, mendasarkan penilaian pada kriteria tunggal, dan berfokus pada program tertentu atau di daerah tertentu saja. Mengingat program pengentasan kemiskinan meliputi banyak dimensi dan kriteria guna menghadapi kemiskinan yang multidimensional, maka menggunakan penilaian tunggal akan menghambat efektivitas evaluasi program itu sendiri. Penelitian ini mengusulkan pendekatan baru dalam mengevaluasi program pengentasan kemiskinan dengan menggunakan teknik Rappoverty berdasarkan skala multi-dimensi (MDS) dan teknik utilitas multi atribut (MAUT). Pendekatan ini tidak hanya berkaitan dengan aspek multidimensi kriteria pengentasan kemiskinan, tetapi juga menetapkan faktor pengungkit program pengentasan kemiskinan. Kriteria dan data untuk analisis diperoleh melalui metode world cafe, wawancara dengan pemerhati kemiskinan, pengelola, dan penerima program, serta observasi terhadap data-data kemiskinan dan sumber-sumber lain. Temuan penelitian menunjukkan bahwa faktor perbedaan antarprogram, ketepatan program dengan kebutuhan masyarakat sasaran, keakuratan data calon penerima program, biaya manajemen, mekanisme penentuan target, kepraktisan organisasi, koordinasi antarlembaga, keberadaan lembaga-lembaga publik serta jumlah penerima manfaat program adalah faktor-faktor yang berperan sebagai pengungkit status keberlanjutan program pengentasan kemiskinan. Artinya jika di antara salah satu faktor-faktor ini dihilangkan maka akan berdampak pada status keberlanjutan program. Penelitian ini juga menunjukkan hasil evaluasi terhadap status keberlanjutan program pengentasan kemiskinan dan menyatakan bahwa program-program berbasis zakat adalah program dengan status keberlanjutan terbaik.
Penulis: Achmad Sani Alhusain, S.E., M.A.
Abstrak:
Gencarnya produk batik impor yang masuk ke Indonesia merupakan tantangan bagi industri Batik Surakarta untuk dapat bersaing. Dalam hal ini standardisasi merupakan salah satu strategi untuk dapat meningkatkan kualitas dan daya saing. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaku usaha di Surakarta menjaga kualitas produk batik dan mengidentifikasi upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendorong pelaku usaha agar dapat memenuhi standar sehingga dapat meningkatkan daya saing batik Surakarta. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang dilakukan melalui wawancara mendalam dengan pemerintah daerah dan pelaku usaha industri. Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar pelaku usaha Batik Surakarta berusaha sendiri untuk menjaga dan meningkatkan kualitas produk batiknya. Pelaku usaha Batik Surakarta khususnya industri kecil dan menengah menghadapi kendala untuk memenuhi standar kualitas nasional (SNI) terutama memenuhi persyaratan izin usaha dan biaya untuk memperoleh SNI. Sangat disayangkan bahwa sampai saat ini pemerintah, khususnya pemerintah daerah, masih belum memiliki infrastruktur yang cukup terutama laboratorium pengujian untuk memverifikasi pengajuan SNI sukarela. Pemerintah Kota Surakarta telah berusaha meningkatkan kualitas produk unggulan daerahnya agar dapat memenuhi SNI melalui program peningkatan kapasitas industri dan sumber daya manusia.
Penulis: Duwi Yunitasari
Abstrak:
Pemerintah pusat mengharapkan Jawa Timur mendukung program swasembada gula nasional dengan menetapkan target produksi gula sebesar 1,65 juta ton. Untuk mewujudkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan (i) mengkaji pencapaian produksi gula dan pendapatan petani tebu Jawa Timur tanpa Revitalisasi Industri Gula Nasional (RIGN), (ii) mengusulkan kebijakan agar target swasembada gula nasional tercapai dan pendapatan petani tebu meningkat, dan (iii) merumuskan perspektif kebijakan ekonomi gula dalam
mendukung keberhasilan swasembada gula dan peningkatan pendapatan petani tebu. Penelitian ini
menggunakan data sekunder dan pendekatan analisis dinamika sistem. Simulasi dilakukan selama periode
tahun 2010-2025. Hasil simulasi menunjukkan bahwa produksi gula Jawa Timur belum mampu memenuhi
target produksi gula yang ditetapkan pemerintah. Pendapatan petani tebu mengalami peningkatan paling
tinggi melalui kebijakan peningkatan rendemen. Kebijakan peningkatan areal pertanian, produktivitas,
dan rendemen secara simultan dapat memenuhi target pemerintah pada tahun 2015 pada produksi gula
Jawa Timur guna mendukung swasembada gula melalui skenario alternatif. Perspektif dalam kebijakan
swasembada gula dan peningkatan pendapatan petani tebu dapat diterapkan, baik on farm maupun off farm dengan beberapa kebijakan, yakni pengembangan sarana produksi, ketersediaan dan akses sarana produksi, pengembangan kelembagaan dan integrasi PG dan petani tebu, peningkatan produktivitas dan daya saing industri gula, kebijakan proteksi gula, serta kebijakan promosi dan harmonisasi data pasokan sebagai basis perumusan kebijakan swasembada gula nasional.
Penulis: Muhammad Ilham Riyadh
Abstrak:
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis (1) struktur biaya dan analisis usaha tani tanaman pangan, (2) struktur pengeluaran rumah tangga petani tanaman pangan, (3) dinamika Nilai Tukar Rumah Tangga Petani agregat Sumatera Utara (dan komponen penyusunannya) dan nilai tukar komoditas wilayah di enam kabupaten, (4) dekomposisi nilai tukar komoditas tanaman pangan terhadap konsumsi dan biaya produksi serta faktor penyusunannya, dan (5) faktor-faktor apa saja yang memengaruhi nilai tukar petani komoditas
tanaman pangan di Sumatera Utara dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani. Lokasi kegiatan meliputi 6 Kabupaten yang terdiri dari Kabupaten Simalungun, Asahan, Serdang Bedagai, Deli Serdang, Karo, dan Langkat yang masing-masing kabupaten diambil satu kecamatan. Perhitungan NTP dimulai dari validasi kuesioner, entri data, koding data, dan pengolahan data. Metode analisis dengan menggunakan Nilai Tukar Penerimaan dan konsep subsisten serta persamaan linier Cobb Douglas. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh rata-rata NTP tanaman pangan Sumatera Utara adalah sebesar 99,07 persen. Dari analisis Nilai Tukar Subsisten Pangan menunjukkan bahwa 376,69 persen dalam pengeluaran rumah tangga petani. Pengeluaran untuk sandang merupakan pengeluaran terkecil rumah tangga sedangkan makanan merupakan pengeluaran yang terbesar. Sedangkan NTS pangan terhadap produksi menunjukkan bahwa
biaya pupuk dan biaya upah tenaga kerja merupakan komponen terbesar dalam biaya produksi usaha tani pangan. Faktor-faktor yang memengaruhi NTP di Sumatera Utara adalah: produktivitas hasil, luas lahan,
biaya tenaga kerja, harga komoditas, dan harga pupuk.
Penulis: Dr. Suhartono, S.IP., M.P.P.
Abstrak:
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan ekonomi dan ketimpangan pembangunan antardaerah di daerah hasil pemekaran. Penelitian dilakukan di Provinsi Banten dan Gorontalo dengan
menggunakan data sekunder tahun 2007-2011 dan data primer hasil wawancara dan FGD. Perkembangan ekonomi dianalisis dengan menggunakan tipologi Klassen, ketimpangan dengan indeks entropi Theil.
Penelitian ini menunjukkan bahwa dari 8 kabupaten/kota, Banten terdapat empat daerah cepat-maju dan
cepat-tumbuh, satu daerah maju tapi tertekan, satu daerah berkembang cepat, dan dua daerah relatif
tertinggal. Sedangkan Gorontalo dari 6 kabupaten/kota terdapat dua daerah cepat-maju dan cepattumbuh,
dua daerah berkembang cepat, dan dua daerah relatif tertinggal. Indeks entropi Theil Banten
3,96 dan Gorontalo 1,16. Sebagai daerah hasil pemekaran Banten memiliki ketimpangan paling tinggi, sedangkan Gorontalo sama dengan ketimpangan yang ada di daerah yang tidak dimekarkan terutama di luar Pulau Jawa. Salah satu penyumbang terbesar ketimpangan di Banten adanya pemusatan industri di Kota Cilegon. Sedangkan ketimpangan yang rendah di Gorontalo karena fokus pada pertanian yang merupakan sektor mayoritas masyarakat bekerja. Penelitian ini menyarankan pemerintah memperhatikan
faktor pemusatan ekonomi, karena faktor ini dapat menjadikan kebijakan pemekaran gagal mewujudkan pemerataan sebagai salah satu tuntutan lahirnya pemekaran.
Penulis: Muhammad Zainul Abidin
Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan keuangan desa dan penggunaan Alokasi Dana Desa
(ADD) dalam mendukung kebijakan dana desa berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pengumpulan
data menggunakan data sekunder melalui studi kepustakaan. Teknik analisis data dilaksanakan secara
kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan keuangan desa telah didasarkan
pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa.
Selama tahun 2010–2013, pelaksanaan keuangan desa menunjukkan perbaikan dari sisi tertib pelaksanaan
administrasi keuangan, kualitas laporan keuangan, dan penyerapan anggaran pada kegiatan yang telah
diprogramkan. Kendala dalam pelaksanaan keuangan desa disebabkan, antara lain, kurangnya keberadaan
dan kapasitas perangkat desa serta kemandirian keuangan. Apabila kendala tersebut dapat diatasi, maka
pelaksanaan keuangan desa semakin memperkuat terwujudnya tujuan kebijakan dana desa dalam UU No.
6 Tahun 2014 tentang Desa. Penggunaan ADD telah dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah No.
72 Tahun 2005 tentang Desa dan disalurkan untuk pembangunan perdesaan, pengembangan masyarakat
dan meningkatkan pendapatan. Namun, sejumlah studi yang telah diangkat dalam kajian ini menunjukkan
bahwa penggunaan ADD masih menemui sejumlah permasalahan dalam perencanaan, pelaksanaan, kualitas
pelaporan, dan lemahnya kelembagaan desa serta koordinasi dengan pemerintah daerah kotamadya/
kabupaten.
Penulis: T. Ade Surya, S.T., M.M. -- Achmad Sani Alhusain, S.E., M.A. -- Asep Ahmad Saefuloh
Abstrak:
Dana Pensiun sangat penting dalam menggerakkan perekonomian karena selain menjamin kesejahteraan
tenaga kerja di masa pensiun, juga membantu perkembangan sektor riil melalui investasi. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui kondisi dan permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan Dana Pensiun
sekaligus merumuskan kebijakan yang dapat diambil untuk memperbaiki pengelolaan Dana Pensiun di masa
mendatang. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Perkembangan
Dana Pensiun menunjukkan perkembangan yang relatif stagnan cenderung menurun, karena kemampuan
pendiri ataupun terdapat program pensiun lain. Karakteristik dari penyelenggaraan Dana Pensiun di
daerah adalah perkembangannya tidak terlepas dari perkembangan di pusat; bagi perusahaan yang mapan
sudah mampu mendirikan Dana Pensiun sendiri; perusahaan menjadi mitra pada DPPK; dan, perusahaan
belum menerapkan Dana Pensiun, tetapi hanya memfasilitasi pegawai untuk secara mandiri menjadi
peserta DPLK. Dalam upaya peningkatan penyelenggaraan Dana Pensiun yang lebih baik, maka perlu
revisi terhadap UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Beberapa substansi perubahan, antara lain
perlunya pengaturan program pensiun berdasarkan prinsip syariah, pengaturan tersendiri ketika pendirian
Dana Pensiun melibatkan mitra yang banyak sehingga beban menjadi tanggung jawab kolektif, dan untuk
mencapai GPFG maka kewajiban mengikuti uji kelayakan dan kepatutan sebaiknya diberlakukan kepada
kedua belah pihak, baik pengurus maupun pengawas. Selain itu, adanya implementasi program jaminan
pensiun SJSN yang bersifat wajib maka jumlahnya harus terjangkau bagi kedua belah pihak. Ketentuan
program pensiun wajib (BPJS-ketenagakerjaan) harus memperhatikan kemampuan pendiri, dengan
implementasi bertahap. Harmonisasi terhadap pengaturan sistem pensiun secara menyeluruh merupakan
suatu keharusan agar program yang dijalankan berdampak positif bagi masyarakat.
Penulis: Dewi Wuryandani, S.T., M.M.
Abstrak:
Privatisasi sebuah perusahaan bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitasnya seperti
penyebarluasan kepemilikan saham Badan Usaha Milik Negara kepada masyarakat untuk mempercepat
penerapan good corporate governance pada BUMN tersebut dan peningkatan partisipasi kontrol
masyarakat. Privatisasi terhadap perusahaan-perusahaan BUMN sebaiknya dilakukan melalui pasar modal
dengan Initial Public Offering (IPO). IPO ini akan memberikan keuntungan yaitu adanya sifat transparansi
dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua pihak untuk ikut membeli saham-saham BUMN,
termasuk bagi investor asing. Walaupun telah melakukan privatisasi sejak tahun 1988, ternyata masih
menyisakan beberapa masalah. Timbulnya potensi penyimpangan masalah harga hingga penerapan
kebijakan yang berbeda untuk setiap sektor. Pada periode tahun 2010-2014 beberapa BUMN telah
berhasil melakukan IPO yaitu PT Pembangunan Perumahan, PT Krakatau Steel, PT Garuda Indonesia, PT
Waskita, dan PT Semen Baturaja, walaupun dalam pelaksanaannya masih timbul berbagai masalah, yang
secara umum juga terjadi pada perusahaan swasta. Hanya saja masih perlu ada pembatasan dalam hal
porsi kepemilikan pemerintah untuk menjaga aset negara. Privatisasi yang dilakukan sebagian besar telah
mengikuti rambu-rambu berdasarkan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN ternyata masih berpotensi
menimbulkan inkonsistensi, baik terhadap kebijakan restrukturisasi BUMN yang direncanakan Kementerian
BUMN sendiri maupun dengan kebijakan sektoralnya.
Penulis: Sony Hendra Permana, S.E., M.S.E.
Abstrak:
Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan berbagai hal yang perlu menjadi perhatian dalam rencana
pelaksanaan redenominasi di Indonesia dan menjelaskan bagaimana kesiapan fundamental makroekonomi
Indonesia dalam menghadapi program redenominasi serta dampak yang akan ditimbulkannya. Metode
yang digunakan dalam membahas studi ini adalah metode deskriptif dengan memanfaatkan data
sekunder dan publikasi yang sudah ada sebelumnya. Urgensi dilaksanakannya redenominasi di Indonesia
didasari adanya inefisiensi perekonomian, adanya kendala teknis pada operasional kegiatan usaha dan
mendukung ekonomi nasional dalam memasuki era masyarakat ekonomi ASEAN. Indikator makroekonomi
Indonesia saat ini dinilai cukup kuat dan dapat mendukung diberlakukannya redenominasi. Redenominasi
diharapkan dapat memberikan manfaat positif, baik bagi negara, pelaku usaha dan masyarakat. Bagi
negara redenominasi dapat meningkatkan kredibilitas rupiah, menghemat biaya pencetakan uang, dan
mempermudah transaksi pemerintah. Bagi pelaku usaha redenominasi dapat mempermudah transaksi
keuangan sehingga mempercepat waktu operasional dan meminimalisir potensi kesalahan. Selain itu,
akan mengurangi biaya penyesuaian perangkat keras dan lunak sistem akuntansi dan teknologi informasi.
Bagi masyarakat, redenominasi dapat mempermudah dalam bertransaksi, mengurangi risiko kerusakan
uang dan mendukung proses belajar dan mengajar pada pendidikan dasar. Namun, pemerintah dan
Bank Indonesia juga perlu mewaspadai terjadinya risiko akibat redenominasi, yaitu inflasi, penambahan
pengeluaran negara, penolakan sebagian masyarakat dan penambahan biaya produksi, efek psikologi, dan
potensi perselisihan antar pelaku usaha dan konsumen.
Penulis: Yuventus Effendi
Abstrak:
Pada satu dekade terakhir, alokasi subsidi dalam APBN selalu memiliki proporsi yang signifikan. Dalam APBN-P
tahun 2014, alokasi untuk subsidi meningkat secara signifikan dan lebih dari 50 persennya dialokasikan
untuk subsidi BBM atau setara dengan Rp210 triliun. Kajian ini bertujuan untuk mensimulasikan dampak
dari realokasi subsidi BBM ke subsidi lainnya, seperti subsidi bibit atau pupuk di sektor pertanian, sektor
konstruksi, atau sektor layanan sosial. Simulasi ini sangat penting mengingat jenis subsidi BBM setiap
tahunnya meningkat dan tidak terserap secara merata di masyarakat. Metodologi yang digunakan adalah
simulasi dengan menggunakan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) tahun 2008. Terdapat dua jenis analisis
yang dilakukan yaitu analisis dampak round by round dan dekomposisi multiplier dengan menggunakan
metode Stone. Kedua analisis ini bertujuan untuk memperkirakan dampak masing-masing skenario terhadap
perekonomian. Terdapat beberapa skenario dalam penelitian ini. Skenario pertama menghapus subsidi BBM
tanpa melakukan realokasi. Skenario kedua adalah realokasi subsidi BBM ke sektor pertanian khususnya
sektor pertanian tanaman pangan. Skenario ketiga adalah memindahkan subsidi BBM ke sektor konstruksi.
Skenario terakhir adalah realokasi subsidi BBM ke sektor layanan sosial. Hasil simulasi menunjukkan bahwa
skenario kedua lebih menguntungkan bagi rumah tangga dengan penghasilan yang terendah. Di sisi lain,
skenario ketiga hanya memberikan manfaat bagi perusahaan dan pemerintah serta dampak negatif yang
relatif lebih besar kepada rumah tangga yang tergolong miskin.
Penulis: Eka Budiyanti, S.Si., M.S.E.
Abstrak:
Sektor industri manufaktur merupakan salah satu motor penggerak bagi pertumbuhan ekonomi. Selain itu, industri manufaktur juga memiliki peran penting dalam penciptaan lapangan kerja baru. Terdapat suatu kekhawatiran terhadap semakin meningkatnya penurunan output manufaktur di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, meskipun saat ini otoritas moneter sudah mulai melakukan beberapa strategi yang bertujuan untuk meningkatkan produksi industri dan pemanfaatan kapasitas sektor. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dibahas mengenai bagaimana pengaruh kebijakan moneter terhadap output sektor industri manufaktur Indonesia, sehingga dapat diketahui instrumen moneter mana yang paling berpengaruh terhadap output manufaktur Indonesia. Dalam hal ini, dilakukan uji empiris menggunakan Error Correction Model (ECM) selama periode tahun 2001:01-2013:03, di mana data yang digunakan diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia. Adapun instrumen moneter yang digunakan antara lain tingkat suku bunga, money supply, nilai tukar, dan tingkat inflasi. Hasil uji empiris menunjukkan bahwa money supply dan tingkat suku bunga signifikan memengaruhi PDB manufaktur. Money supply berpengaruh positif terhadap PDB manufaktur, sedangkan tingkat suku bunga berpengaruh negatif terhadap PDB manufaktur. Dari kedua variabel tersebut, money supply memiliki pengaruh terbesar terhadap PDB manufaktur yaitu sebesar 0,26 persen, sedangkan tingkat suku bunga hanya berpengaruh sebesar 0,0054 persen terhadap PDB manufaktur. Karenanya, diperlukan perhatian yang lebih dari pemerintah dan Bank Indonesia dalam pengendalian money supply sehingga dapat meningkatkan output sektor industri di Indonesia. Walaupun pengaruh tingkat suku bunga terhadap PDB manufaktur tidak terlalu besar, pemerintah dan Bank Indonesia juga tetap perlu menekan tingkat suku bunga yang dapat mendorong investasi, yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Penulis: Rita Nurmalina -- Hermanto -- Roy Sembel -- Hermanto Siregar
Abstrak:
Pasar modal di Indonesia telah berkembang menjadi suatu lembaga keuangan yang memiliki peran strategis dalam pembangunan ekonomi. Kebijakan penggabungan (merger) pasar modal merupakan peristiwa bersejarah dalam perkembangan sektor keuangan dan investasi di Indonesia. Penggabungan lembaga pasar modal Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES) ke dalam satu bursa yang disebut Bursa Efek Indonesia (BEI), memiliki dampak yang luar biasa pada likuiditas perdagangan saham dan kinerja rasio keuangan. Penelitian ini membahas kondisi pasar saham dan kinerja rasio keuangan sebelum dan sesudah penggabungan. Metode yang digunakan untuk menganalisis kondisi likuiditas perdagangan saham sebelum dan setelah penggabungan adalah (1) analisis variasi, (2) analisis kinerja rasio keuangan yang meliputi CR, OIOR, OEOR, NPM, ROE, ROA, TATO, dan EPS, dan (3) analisis faktor dengan pendekatan OLS. Hasil analisis menunjukkan bahwa penggabungan pasar modal berdampak pada (1) likuiditas perdagangan saham mengalami pertambahan yang menurun dan (2) perkembangan kinerja rasio keuangan setelah penggabungan lebih baik bila dibandingkan dengan sebelum penggabungan. Walaupun demikian upaya-upaya pemanfaatan aset lebih optimal atau peninjauan kembali aset yang belum terpakai untuk penciptaan pendapatan juga penting dilakukan.
Penulis: Nidya Waras Sayekti, S.E., M.M.
Abstrak:
Produk halal kini menjadi trend konsumsi di seluruh dunia, baik di negara muslim maupun nonmuslim. Tidak kurang dari USD650 juta transaksi produk halal terjadi setiap tahunnya. Sebagai negara dengan mayoritas berpenduduk muslim, Indonesia sudah seharusnya memerhatikan kebutuhan warganya dalam mengkonsumsi produk halal, salah satunya melalui pemberian jaminan halal atas produk yang dikonsumsi. Menanggapi kebutuhan tersebut, MUI mendirikan LPPOM pada tahun 1989 untuk memberikan layanan pemeriksaan kehalalan suatu produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika. Di sisi lain, kehadiran Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang baru saja ditetapkan telah menjadi payung hukum pelaksanaan JPH di Indonesia. UU tersebut mengamatkan untuk membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Tujuan kajian ini adalah menganalisis sistem JPH yang telah berjalan selama ini, menganalisis kelembagaan dalam pelaksanaan JPH sebelum dan sesuai UU JPH, serta menggambarkan potensi permasalahan dalam UU JPH. Kajian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil studi menunjukkan bahwa pemerintah memberikan kewenangan penyelenggaraan sertifikasi halal kepada LPPOM MUI sejak tahun 2001, di mana sertifikat halal masih bersifat sukarela oleh pelaku usaha dan berlaku hanya untuk 2 tahun. Keberadaan BPJPH memiliki beberapa kekuatan, antara lain penyelenggaraan JPH dan keberadaan LPH menjadi terorganisasi dan masa berlaku sertifikat halal menjadi 4 tahun. Sedangkan kelemahannya antara lain alur proses sertifikasi menjadi panjang dan birokratis karena banyak pihak/lembaga yang terlibat serta masih perlu diatur akuntabilitas dan transparansi kinerjanya. Dalam implementasi, UU tersebut berpotensi menimbulkan masalah yaitu meningkatnya beban APBN/APBD, dominasi LPH, dan kontradiksi antarperaturan.
Penulis: Dr. Ari Mulianta Ginting, S.E., M.S.E.
Abstrak:
Perkembangan pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan peningkatan setiap tahun. Peningkatan pertumbuhan ekonomi ini berdampak kepada pertumbuhan kebutuhan energi. Selama ini kebutuhan energi dipenuhi oleh sebagian besar dari energi fosil. Padahal lndonesia memiliki potensi energi terbarukan, seperti panas bumi relatif besar dan melimpah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif dilakukan untuk mengetahui perkembangan tarif listrik, sedangkan pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengetahui penentuan tarif listrik panas bumi dengan menggunakan sampel PLTP Sibayak, Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan tarif listrik panas bumi dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu fase sebelum dan sesudah lahirnya Undang-Undang No. 27 Tahun 2003. Pada fase pertama, penetapan tarif listrik panas bumi belum sepenuhnya mempertimbangkan tarif keekonomian, di mana tarif masih sangat murah dan beragam antarWKP. Pada fase kedua, penetapan tarif listrik panas bumi sudah mulai menghitung keekonomian dari pengembangan panas bumi. Akan tetapi regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait tarif listrik panas bumi selama ini masih relatif rendah dan belum dapat mendorong percepatan pengembangan panas bumi. Hal ini didukung dengan analisis kuantatif penentuan tarif listrik PLTP Sibayak, di mana tarif jual keekonomiannya (BPP listrik) adalah sebesar Rp1.172,15/kWh, sedangkan PT. PLN membeli dengan tarif di bawah BPP. Sehingga dampak yang terjadi adalah pengembangan panas bumi di Indonesia mengalami stagnasi.
Penulis: Ernan Rustiadi -- Hermanto Siregar -- Ernawati Pasaribu -- D.S. Priyarsono
Abstrak:
Dampak spillover terhadap kinerja pusat-pusat pertumbuhan di Indonesia yang diamati selama ini belum pernah sampai kepada pengujian secara statistik. Padahal, pembuktian ada tidaknya dampak spillover secara empiris sangat diperlukan mengingat penerapan teori pusat pertumbuhan yang telah dilakukan baik oleh negara-negara maju maupun negara-negara berkembang masih menimbulkan pro dan kontra. Pengujian dampak spillover pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan secara khusus dilakukan untuk mengetahui apakah peranannya sebagai lumbung energi nasional seperti yang tertuang dalam Program MP3EI tidak akan menimbulkan backwash effect bagi daerah sekitarnya. Pendeteksian awal akan adanya hubungan ketergantungan spasial (spatial lag dependent) antara pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan dan daerah sekitarnya diuji menggunakan Lagrange Multiplier Spatial Lag Dependent. Hasilnya ternyata membuktikan bahwa pertumbuhan output, pertumbuhan tenaga kerja, dan pertumbuhan investasi yang terjadi pada pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan secara signifikan memberikan dampak spillover negatif (backwash effect) terhadap wilayah sekitarnya. Pusat-pusat pertumbuhan secara signifikan berdampak spillover positif (spread effect) terhadap wilayah sekitarnya apabila pertumbuhan output, pertumbuhan tenaga kerja, dan pertumbuhan investasi pada pusat-pusat pertumbuhan disertai dengan aliran ekonomi ke wilayah sekitarnya. Dengan demikian, pengembangan wilayah pusat-pusat pertumbuhan di Kalimantan di masa mendatang harus diarahkan pada upaya peningkatan transaksi perdagangan antarwilayah agar dampak spillover positif dapat terjadi seperti yang diharapkan dan pertumbuhan yang diikuti pemerataan antarwilayah di Kalimantan niscaya akan terwujud
Penulis: Davy Hendri
Abstrak:
Artikel ini menguji hubungan tingkat ketimpangan pendapatan dan kejahatan properti di Indonesia. Analisis dilakukan dengan menggunakan data sosial-ekonomi dari 33 provinsi selama tahun 2007-2011. Hubungan antara indeks Gini sebagai proxy ketimpangan pendapatan dan tingkat kejahatan properti diuji secara ekonometri dengan menggunakan model data panel efek tetap. Penulis menemukan fakta setelah dikontrol dengan berbagai variabel yang ada, ternyata ketimpangan pendapatan berkorelasi positif secara signifikan dengan kejahatan properti. Mengejutkan, bahwa ternyata menurut data yang ada, dalam konteks Indonesia, korelasi kedua variabel berpola U-invers (bentuk punuk). Dengan kata lain, setelah mencapai titik maksimum, peningkatan tingkat kejahatan properti mengalami penurunan begitu indeks Gini menjadi makin memburuk. Faktor lain yang menentukan perbedaan dalam tingkat kriminalitas yang diharapkan oleh literatur yang ada adalah proporsi penduduk perkotaan. Relasi dan pola hubungan indeks Gini dengan kriminalitas juga amat dipengaruhi oleh initial value. Intuisi dari hal ini adalah terjadi konvergensi dalam kriminalitas. Provinsi dengan indeks ketimpangan awal yang rendah akan saling berlomba untuk “mengejar” ketertinggalannya dengan provinsi lain yang telah memiliki indeks Gini dan kriminalitas tinggi. Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi noninklusif merupakan salah satu kontributor semakin memburuknya ketimpangan pendapatan. Temuan ini menyiratkan bahwa laju pertumbuhan yang tidak “berkualitas” pada gilirannya secara tidak langsung akan menuntut biaya sosial yang besar, salah satunya berupa kriminalitas yang makin meningkat. Jadi, dinamika data lapangan memberikan peringatan penting bahwa tidak ada jaminan bahwa daerah yang selama ini aman akan terus menikmati kondisi keamanan itu jika lalai dalam menyikapi fenomena ketimpangan pendapatan yang ada. Berdasarkan hal ini, tampak jelas bahwa untuk mengatasi peningkatan tingkat kejahatan properti, pemerintah provinsi harus memiliki strategi yang unik untuk menurunkan ketimpangan pendapatan di antara penduduk sesuai dengan atribut daerahnya.