Jurnal Kepakaran Negara Hukum

Vol. 13 / No. 2 - November 2022

Penulis: Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM.

Abstrak:
Pengaturan pasal di RUU KUHP terkait perbuatan menyerang kehormatan atau harkat dan martabat presiden mendapat kritik. Pasal tersebut dinilai berpotensi mengancam hak atas kebebasan berpendapat dan kebebasan pers yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh Konstitusi. Di sisi lain, pembentuk undang-undang juga memiliki raison d’etre yang merupakan urgensi pengaturan pasal. Artikel ini bertujuan untuk mengupas secara mendalam arti penting dari pengaturan substansi pasal tersebut, sekaligus mengkaji bagaimana potensi persinggungan dengan hak atas kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Kajian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, dengan metode analisis data yang dilakukan dengan pendekatan kualitatif terhadap data sekunder. Hasil analisis menunjukkan bahwa pasal mengenai perbuatan penyerangan harkat dan martabat presiden atau wakil presiden masih tetap diperlukan/urgen untuk diatur kembali dalam RUU KUHP. Namun dengan catatan, perlu penyesuaian terhadap beberapa penjelasan pasal. Selain itu, bahwa secara umum, konstruksi pasal-pasal tersebut tidak dapat dikatakan telah menyalahi prinsip-prinsip HAM terkait hak atas kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Namun demikian, jaminan perlindungan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers masih tetap perlu dipertegas dalam RUU KUHP. Karena kenyataan di lapangan selama ini, menunjukkan masih ada terjadi salah penerapan dalam penegakan hukum terkait pasal-pasal sejenis pasal penghinaan

Penulis: Peter Jeremiah Setiawan

Abstrak:
Salah satu kekhususan dalam tindak pidana KDRT terletak pada ketentuan Pasal 55 UU PKDRT. Pasal tersebut mensyaratkan minimal alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yaitu cukup dengan keterangan saksi korban ditambah dengan alat bukti lainnya. Dengan demikian, ketika dalam pembuktian dapat menghadirkan seorang saksi selain saksi korban, maka keterangan saksi dan keterangan saksi korban sudah dianggap sebagai alat bukti yang cukup dalam persidangan. Namun pada implementasinya, upaya penguatan alat bukti saksi dalam UU PKDRT belum diimbangi dengan pengaturan yang lengkap terutama berkaitan dengan alat bukti saksi, yaitu berlakunya Pasal 168 KUHAP dalam UU PKDRT. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tulisan ini akan menganalisis kedudukan saksi dalam hukum pidana dan kedudukan saksi dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini bertujuan untuk meninjau peran keterangan saksi dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana KDRT dan bagaimana hukum mengatur hal tersebut. Metode penelitian hukum normatif digunakan untuk menjawab permasalahan tersebut. Dengan banyaknya kasus KDRT yang terjadi tiap harinya dan sulitnya pengumpulan alat bukti untuk membuktikan tindak pidana KDRT, maka perlu memformulasikan pengaturan keterangan saksi dalam tindak pidana KDRT baik melalui PERMA maupun revisi UU PKDRT

Penulis: Vani Wirawan

Abstrak:
Pertumbuhan investasi dan ekonomi dapat terhambat dengan keberadaan mafia tanah. Hal ini dikarenakan kejahatan tersebut merupakan kasus pertanahan berdimensi luas, sehingga mengakibatkan sengketa, konflik, dan perkara dengan objek tanah dan ruang yang bernilai ekonomis tinggi. Untuk itu, diperlukan pencegahan yang dimulai dari tingkat administratif. Penelitian ini ingin mengkaji rekonstruksi politik hukum sistem pendaftaran tanah yang ideal sebagai upaya pencegahan mafia tanah. Dengan demikian, diharapkan dapat menemukan tujuan dari ius constituendum dalam sistem pendaftaran tanah yang mampu melakukan pencegahan kejahatan mafia tanah dari tingkat administratif. Penelitian ini merupakan penelitian socio-legal research yang bersifat deskriptif analitis. Penelitian ini menghasilkan alternatif konstruksi politik hukum baru bagi sistem pendaftaran tanah sebagai upaya pencegahan mafia tanah pada masa mendatang dari tingkat administratif. Rekonstruksi politik hukum tersebut berupa pembaharuan hukum pendaftaran tanah menjadi sistem publikasi positif. Oleh karena itu, perlu dilakukan revisi terhadap UUPA, terutama pasal-pasal yang berkaitan dengan sistem publikasi negatif. Selain itu, perubahan tersebut perlu diimbangi dengan penerapan sistem pendaftaran tanah secara elektronik, dengan produk hukum berupa sertipikat elektronik dan tetap mengedepankan prinsip good governance. Artikel ini memberi rekomendasi kepada pemerintah segera mungkin melakukan pembentukan peraturan perundang-undangan untuk penyelesaian kasus pertanahan, khususnya tentang pencegahan mafia tanah, dan DPR RI untuk pengesahan RUU Pertanahan

Penulis: Utiyafina Mardhati Hazhin

Abstrak:
Asuransi Jiwa Kresna merupakan perusahaan yang pernah dijatuhkan putusan PKPU oleh hakim pengadilan niaga. Dalam kasus tersebut pemohon PKPU adalah pemegang polis, yang berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tidak memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan. Meski demikian, PKPU dalam kasus ini berakhir dengan disahkannya perjanjian perdamaian (homologasi) antara Asuransi Jiwa Kresna dengan pemegang polisnya. Sementara itu, kreditor lain yang tidak sepakat dengan perjanjian yang telah dihomologasi mengajukan upaya pembatalan ke tingkat kasasi. Mahkamah Agung pun mengabulkan permohonan kasasi tersebut dan memutus PKPU Asuransi Jiwa Kresna batal demi hukum. Tulisan ini mengkaji bagaimana implikasi hukum putusan kasasi terhadap pemegang polis Asuransi Jiwa Kresna, dan bagaimana efektivitas bentuk perlindungan hukum terhadap pemegang polis pasca putusan kasasi. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan menggunakan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa putusan kasasi telah mengakibatkan perjanjian yang menjadi dasar pemegang polis untuk menuntut pembayaran Asuransi menjadi batal. Hal itu justru merugikan pemegang polis karena tidak mendapatkan kepastian pembayaran utangnya. Untuk mewujudkan efektivitas perlindungan hukum terhadap pemegang polis, diperlukan pembenahan, seperti perlunya memperbaiki aturan terkait asuransi unit link mulai dari tata kelola, transparansi hingga optimalisasi sistem perlindungan hukum terhadap pemegang polis, dan merealisasikan dibentuknya Lembaga Penjamin Polis.

Penulis: Ayon Diniyanto

Abstrak:
Isu penundaan Pemilu menjadi perdebatan di ruang publik. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah penundaan Pemilu dapat diwujudkan di Indonesia? Pertanyaan tersebut muncul karena konstitusi tidak mengatur penundaan Pemilu. Ini menjadi problem bagi Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional dan negara hukum. Oleh karena itu, rumusan masalah penelitian ini, yaitu: (1) bagaimana peluang terjadinya penundaan Pemilu di negara hukum?; (2) bagaimana penundaan Pemilu dalam kacamata demokrasi konstitusional?; dan (3) bagaimana formulasi penundaan Pemilu yang konstitusional dan komprehensif? Penelitian ini menggunakan jenis penelitian doktrinal, dengan pendekatan hukum, pendekatan konsep, dan pendekatan kasus. Hasil pembahasan menyatakan bahwa peluang penundaan Pemilu di negara hukum dapat dilakukan secara konstitusional dan non-konstitusional. Secara konstitusional dilakukan dengan amandemen konstitusi. Secara non-konstitusional dilakukan dengan mengeluarkan dekrit dan membangun konvensi ketatanegaraan. Jika penundaan Pemilu dilakukan di Indonesia saat ini, akan bertentangan dengan demokrasi konstitusional. Untuk itu, perlu ada formulasi norma dalam konstitusi yang mengatur mengenai penundaan Pemilu dan constitutional deadlock. Simpulan artikel ini menyatakan bahwa peluang penundaan Pemilu di negara hukum dapat dilakukan dengan cara konstitusional dan non-konstitusional; penundaan Pemilu di Indonesia bertentangan dengan demokrasi konstitusional; dan perlu ada formulasi norma yang menyelesaikan constitutional deadlock dalam konstitusi. Untuk itu, MPR disarankan melakukan amandemen konstitusi dalam rangka mencegah constitutional deadlock.

Penulis: Dicky Eko Prasetio

Abstrak:
Pengujian undang-undang (UU) ratifikasi selama ini masih menimbulkan polemik terkait boleh atau tidaknya dilakukan constitutional review di Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji bagaimana kedudukan UU ratifikasi terkait pengujian konstitusionalitas oleh MK. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dilihat dari bentuk dan urgensinya maka UU ratifikasi memiliki kedudukan yang sederajat dengan UU biasa sehingga secara hukum UU ratifikasi merupakan bagian dari frasa “undang-undang” yang merupakan objek pengujian dari MK. Dilihat dari konsep judicial activism, keaktifan hakim diperlukan dalam pengujian UU ratifikasi berdasarkan konsep the law is non transferability of law supaya UU ratifikasi yang merupakan hasil perjanjian internasional tidak bersifat “sub-ordinasi” bagi hukum nasional. Oleh karena itu, pengujian UU ratifikasi dapat dilakukan di MK dengan cara penafsiran secara ekstensif atas frasa “undangundang” sehingga bukan hanya meliputi UU biasa, namun juga termasuk UU ratifikasi. Selain itu, pengaturan ke depan mengenai pengujian UU ratifikasi maka MK perlu melakukan judicial activism yaitu upaya progresif dan substantif untuk menguji kesesuaian antara UU ratifikasi dengan konstitusi. Hal ini dalam praktiknya, ke depan dapat dilakukan dengan upaya judicial preview sebagai upaya hukum MK menguji UU ratifikasi.

Vol. 13 / No. 1 - Juni 2022

Penulis: Zaki Priambudi

Abstrak:
Komisi Yudisial merupakan produk reformasi yang berfungsi mengawasi dan memantau perilaku hakim. Seiring dengan berjalannya waktu, terdapat penambahan kewenangan diskresional kepada Komisi Yudisial untuk membentuk lembaga penghubung di daerah sesuai dengan kebutuhan. Namun, dalam perjalanannya, Penghubung Komisi Yudisial tidak dapat menjalankan tugasnya dengan optimal sebagai perpanjangan tangan Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan perilaku hakim di daerah. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menganalisis apa urgensi reformulasi Penghubung Komisi Yudisial dan bagaimana gagasan penguatan Penghubung Komisi Yudisial dapat meningkatkan efektivitas pengawasan perilaku hakim di daerah. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis-normatif, artikel ini menemukan bahwa terdapat beberapa kekurangan dalam pengaturan Penghubung Komisi Yudisial seperti tidak adanya kewenangan eksekutorial, kesan sebagai lembaga sub-kesekretariatan, serta sistem rekrutmen, pengembangan SDM, dan karier pegawai yang tidak tepat. Untuk menindaklanjuti permasalahan itu, artikel ini memformulasikan beberapa penguatan Penghubung Komisi Yudisial dengan menambahkan kewenangan eksekutorial, mengalihkan pertanggungjawaban Penghubung Komisi Yudisial kepada Ketua Komisi Yudisial, serta memperbaiki sistem rekrutmen, pengembangan SDM, dan karier pegawai. Penguatan tersebut dilakukan melalui amandemen UUD NRI 1945, revisi UU KY, dan pengaturan Penghubung KY melalui peraturan pemerintah.

Penulis: Dian Cahyaningrum, S.H.. M.H.

Abstrak:
Tanah ulayat sangat berarti bagi masyarakat hukum adat, oleh karenanya penting bagi masyarakat hukum adat untuk tetap menguasai dan mempertahankannya. Namun tanah ulayat juga diharapkan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan investasi melalui hak pengelolaan yang berasal dari tanah ulayat. Untuk itu tulisan ini mengkaji dan bertujuan untuk mengetahui pengaturan dan pelaksanaan hak pengelolaan yang berasal dari tanah ulayat untuk kepentingan investasi. Tulisan ini memiliki kegunaan teoritis dan praktis. Dengan menggunakan metode yuridis normatif, diperoleh hasil hak pengelolaan yang berasal dari tanah ulayat ditetapkan dan wajib didaftarkan. Tanah ulayat dengan hak pengelolaan dapat dikerjasamakan dengan investor dan masyarakat hukum adat tetap menguasai tanah ulayatnya setelah kerja sama berakhir. Beda halnya dengan tanah ulayat yang belum ditetapkan hak pengelolaannya. Tanah ulayat tersebut dapat dikerjasamakan dengan investor, namun menjadi tanah negara setelah hak atas tanahnya berakhir. Sewa menyewa juga tidak dimungkinkan berlaku untuk tanah ulayat. Hak pengelolaan hanya dapat ditetapkan kepada masyarakat hukum adat yang telah diakui keberadaannya. Untuk itu pemerintah daerah sebaiknya beritikad baik dan aktif melakukan upaya memberikan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat di daerahnya. Pemetaan dan pencatatan tanah ulayat perlu terus dilakukan. Untuk memperkuat hak ulayat, rancangan undang-undang tentang pelindungan terhadap hak masyarakat hukum adat juga perlu segera disahkan.

Penulis: Trias Palupi Kurnianingrum, S.H., M.H.

Abstrak:
Penghapusan Pasal 20 UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU Paten) terkait kewajiban pemegang paten pasca diberlakukannya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah menimbulkan perdebatan. Hal ini bukannya tanpa sebab dikarenakan dengan menghapus kewajiban pemegang paten untuk membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia secara tidak langsung akan menghilangkan transfer teknologi, penyerapan investasi dan/atau penyediaan lapangan kerja. Artikel ini menggunakan metode yuridis normatif membahas latar belakang penghapusan Pasal 20 UU Paten dan akibat hukum di dalamnya. Dalam pembahasan disebutkan bahwa latar belakang penghapusan Pasal 20 UU Paten dipengaruhi oleh beberapa sebab di antaranya: fleksibilitas kewajiban membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia, diskriminasi Pasal 27 ayat (1) Perjanjian TRIPS, pelanggaran Pasal 20 UU Paten yang berakibat pada pencabutan paten, serta kesulitan bahan baku. Menghapus Pasal 20 UU Paten dianggap bukan merupakan solusi dikarenakan beragamnya akibat hukum yang ditimbulkan mulai dari aspek kesehatan, bisnis, hingga berpotensi menciptakan ketidakharmonisan aturan. Diperlukan adanya revisi UU Paten guna menciptakan kepastian hukum bagi pemegang hak yang ingin mendaftarkan patennya atau yang ingin melakukan pengalihan hak melalui lisensi baik di Indonesia maupun di luar negeri.

Penulis: Ubaiyana

Abstrak:
Setelah diterbitkannya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) yang memuat asas kemudahan berusaha, banyak kalangan yang memberikan respon negatif terhadap peraturan tersebut. Salah satu muatan norma yang paling kontroversial adalah menurunnya kekuatan amdal, hilangnya kekuatan izin lingkungan, serta rumusan pasal lain yang turut melemahkan upaya pelindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup. Dalam rangka memaksimalkan efektivitas dari UU tersebut, penelitian ini berusaha menjawab dan menguraikan secara mendalam apa sebenarnya maksud dari konsep kemudahan berusaha serta bagaimana politik hukum yang terjadi dalam penetapan asas ini. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa konsep kemudahan berusaha dikenalkan untuk menunjukkan aspek positif dan negatif kehidupan ekonomi suatu negara yang berpengaruh terhadap perkembangan lingkungan bisnis. Sementara itu, politik hukum dimuatnya kemudahan berusaha dalam UU CK adalah sebagai hukum responsif yang berdiri sesuai kebutuhan bangsa dan negara, mewujudkan transformasi ekonomi, meningkatkan investasi, dan membuka sebesar-besarnya lapangan pekerjaan. Rekomendasi dari penelitian ini adalah pemerintah pusat dan daerah perlu berkoordinasi dalam mengimplementasikan paketpaket kebijakan yang telah diatur dan melakukan monitoring evaluasi secara berkala.

Penulis: Puteri Hikmawati, S.H., M.H.

Abstrak:
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 70/PUU-XVII/2019 terkait pengujian Undang-Undang No. 19 Tahun 2019, Penyidik KPK hanya memberitahukan penyadapan yang dilakukan kepada Dewan Pengawas. Putusan MK tersebut menjadi sorotan karena Putusan MK terdahulu mengatakan perlu adanya otoritas yang memberikan izin penyadapan. Oleh karena itu, timbul pertanyaan bagaimana pengaturan izin penyadapan oleh KPK pasca Putusan MK No. 70/PUU-XVII/2019. Berdasarkan hal itu, permasalahan yang dibahas dalam artikel ini adalah pertama, bagaimana politik hukum pengaturan izin penyadapan?; kedua, bagaimana ketentuan izin penyadapan oleh KPK; dan ketiga, bagaimana pengaturan ketentuan izin penyadapan di masa yang akan datang?. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif, dibahas beberapa undang-undang yang mengatur izin penyadapan secara berbeda. Hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum. Penyadapan tanpa izin oleh KPK menimbulkan polemik mengenai keabsahannya. Sementara pengaturan khusus penyadapan sampai saat ini belum ada. RUU KUHAP yang sempat dibahas memuat ketentuan penyadapan, tetapi belum dibahas kembali oleh DPR RI dan Pemerintah. Sementara itu, dalam RUU tentang Penyadapan adanya penetapan pengadilan merupakan persyaratan bagi penyidik yang akan melakukan penyadapan, termasuk KPK. Oleh karena itu, disarankan RUU tentang Penyadapan menjadi prioritas pembahasan oleh DPR RI dan Pemerintah.

Penulis: Ramsen Marpaung

Abstrak:
Kondisi perpecahan organisasi advokat di Indonesia telah merusak eksistensi sistem single bar terhadap tegaknya rule of law karena bangunan sistem single bar yang lemah tidak dapat lagi menjamin kualitas advokat yang selalu mampu menegakkan prinsip-prinsip negara hukum. Untuk mengatasinya peran eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus lebih dioptimalkan sehingga kebijakan dan keputusan yang ditetapkan tidak lagi berdampak semakin memperuncing perpecahan organisasi advokat. Artikel ini mengkaji signifikansi peran eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam menjaga eksistensi sistem single bar demi tegaknya supremacy of law, equality before the law, human rights. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang, kasus, perbandingan, sejarah, dan konsep melalui studi perpustakaan untuk menemukan data sekunder yang dianalisis secara deskriptif kualitatif. Adapun dari pembahasan diketahui bahwa sistem single bar telah teruji eksistensinya di seluruh dunia. Hanya sistem single bar yang dapat mewujudkan cita-cita advokat untuk membentuk advokat yang berkualitas, yang berarti sekaligus menjamin penegakan hukum yang berkeadilan. Untuk itu, demi terealisasinya tujuan pembangunan nasional, khususnya bidang hukum, maka peran eksekutif, legislatif, dan yudikatif secara komprehensif dan terkoordinasi sangat diperlukan dalam upaya menyelesaikan perpecahan organisasi advokat dengan mengembalikan dan memantapkan organisasi advokat Indonesia ke sistem single bar sesuai dengan Undang-Undang Advokat.

Penulis: Muhamad Hasan Rumlus

Abstrak:
Artikel ini menjawab pentingnya penetapan undang-undang yang tegas sekaligus komprehensif dalam memberikan perlindungan hukum kepada ulama. Persoalan ini muncul dari adanya ketidakjelasan dalam regulasi saat ini yaitu mengenai keamanan atas menjalankan ajaran suatu agama khususnya ajaran agama Islam. Sejauh ini, Indonesia belum mempunyai undang-undang yang mengatur secara khusus upaya untuk menanggulangi kejahatan kepada para ulama. Tulisan ini akan membahas tentang urgensi pembentukan Undang-Undang Perlindungan terhadap Ulama dan kebijakan penanggulangan kejahatan kepada para ulama di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif yaitu penelitian dengan fokus kajian mengenai penerapan norma-norma dalam hukum positif di Indonesia. Pengaturan mengenai perlindungan hukum kepada ulama masih belum jelas atau eksplisit. Aturan yang digunakan berkaitan dengan perlindungan pada ulama masih menggunakan Pasal 156 KUHP dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal tersebut masih dirasakan kurang efektif. Oleh sebab itu, dipandang perlu segera disahkan undang-undang tersendiri yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap para ulama sehingga dapat memberikan jaminan keamanan dan perlindungan kepada para ulama dalam menjalankan ajaran Islam (berdakwah).

Vol. 12 / No. 2 - November 2021

Penulis: Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM.

Abstrak:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XIX/2021 menyatakan frasa pada Penjelasan Pasal 74 UU PPTPPU sebagai konstitusional bersyarat. Penjelasan tersebut menafsirkan frasa “penyidik tindak pidana asal”, harus dimaknai sebagai “pejabat atau instansi yang oleh peraturan perundang-undangan diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan”. Artikel ini mengkaji pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam menafsirkan Penjelasan Pasal 74 UU PPTPPU, dan implikasinya terhadap penegakan hukum TPPU. Selain itu, artikel ini diharapkan dapat memberi masukan terkait kesiapan PPNS dalam mengemban wewenang penyidikan TPPU. Artikel ini merupakan penelitian hukum empiris-normatif, dengan metode analisis data yang bersifat kualitatif. Hasil pembahasan bahwa perumusan terhadap penjelasan Pasal 74 UU PPTPPU memang telah menimbulkan ketidakjelasan norma, yaitu terjadi ketidakselarasan antara Penjelasan Pasal 74 dengan ketentuan norma pokoknya, hal itu pula yang menjadi salah satu pertimbangan konstitusional bersyarat oleh MK. Selain itu, Putusan MK berimplikasi pada terbukanya keran penegakan hukum TPPU yang kini menjadi bersifat multi-investigators. Tugas dan kewenangan penyidikan TPPU yang diatur dalam UU PPTPPU kini juga diberikan kepada seluruh penyidik tindak pidana asal (termasuk PPNS). Artikel ini merekomendasikan agar pembenahan PPNS perlu terus diupayakan agar kuantitas, kualitas dan profesionalitas PPNS terus meningkat, sehingga dapat melaksanakan fungsi penegakan hukum TPPU secara efektif.

Penulis: R. Muhamad Ibnu Mazjah

Abstrak:
Kemudahan masyarakat dalam mengakses dan menjadikan media sosial sebagai alat berkomunikasi termasuk untuk menyatakan pikiran dan sikap, mengeluarkan pendapat, mengolah dan menyampaikan informasi telah melahirkan sebuah aktivitas baru di tengah masyarakat yang dikenal dengan istilah pendengungan (buzzing) informasi elektronik, beserta subjeknya yang disebut buzzer. Pelaksanaan aktivitas buzzing itu berlandaskan pada pada hak atas kebebasan berekspresi dan menyebarkan informasi yang mendapatkan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Akan tetapi, pada kenyataannya aktivitas tersebut mendapat celaan dari masyarakat karena dianggap sebagai alat penebar rasa kebencian dan permusuhan, akibat pelanggaran dari sisi kesusilaan karena menyalahgunakan arti kebebasan itu sendiri. Pada sisi lain, ketentuan hukum tidak secara spesifik dan komprehensif mengatur aktivitas buzzing. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini membahas mengenai redefinisi buzzing dari perspektif hukum sebagai sumbangan pemikiran guna mengetahui sejauh mana hukum mengatur kebebasan dan tanggung jawab dalam melaksanakan aktivitas buzzing tersebut berikut dengan perumusan unsurunsur tindak pidananya. Artikel ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang pada bagian akhir merekomendasikan perlunya undang-undang tersendiri yang mengatur aktivitas buzzing sebagai suatu pekerjaan sesuai dengan kondisi terkini masyarakat hingga mencakup pengaturan tentang pemberlakuan sistem norma etika kepada buzzer sebagai sarana untuk mencegah kejahatan berbasis pengendalian perilaku.

Penulis: Novianto Murti Hantoro, S.H., M.H.

Abstrak:
Penanganan pandemi Covid-19 sudah berlangsung lebih dari satu tahun. Pandemi Covid-19 ditangani dengan kerangka hukum beragam oleh beberapa negara. Artikel ini mengevaluasi kerangka hukum tersebut dari perspektif hukum tata negara darurat dengan membahas kerangka hukum yang digunakan serta evaluasi terhadap kelebihan dan kekurangannya. Tujuannya untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap ilmu hukum tata negara darurat dan mengevaluasi kerangka hukum tersebut. Penulisan artikel ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan analisis kualitatif melalui analisis yuridis dan perbandingan. Berdasarkan hasil analisis, Indonesia masuk dalam kategori menggunakan undang-undang yang ada (existing law) dalam penanganan pandemi Covid-19. Penggunaan existing law sebagai tindakan darurat tidak sama dengan menerapkan hukum tata negara darurat, karena terdapat unsur yang tidak terpenuhi, misalnya kapan penggunaan undang-undang tersebut akan berakhir. Apabila dibandingkan antara penggunaan existing law dan membentuk undang-undang baru khusus untuk penanganan pandemi Covid 19, terdapat kelebihan dan kekurangan. Kelebihan penggunaan existing law akan menjadi kekurangan pembentukan undang-undang baru, dan sebaliknya. Salah satunya, dengan undang-undang baru, penanganan akan lebih fokus dibandingkan dengan menggunakan tiga undang-undang yang ada dengan leading sector yang berbeda. Kerangka hukum penanganan pandemi Covid-19 saat ini memiliki kelemahan, namun tidak gagal. Apabila situasi kembali normal, penetapan kedaruratan dan beberapa aturan terkait perlu dicabut.

Penulis: Denico Doly, S.H., M.Kn.

Abstrak:
Aturan pelindungan data pribadi tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Hal ini menyebabkan pengawasan atas pelaksanaan pelindungan data pribadi bersifat sektoral, pemerintah belum optimal melakukan pelindungan data pribadi masyarakat, dan lembaga yang bertanggung jawab untuk melindungi data pribadi juga masih belum terintegrasi. Artikel ini mengkaji urgensi pembentukan lembaga pengawas pelindungan data pribadi dan bagaimana bentuk ideal lembaga tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji urgensi dan bentuk ideal lembaga pengawas pelindungan data pribadi. Dalam penulisan artikel yang menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan dianalisis secara kualitatif, disebutkan urgensi pembentukan lembaga pelindungan data pribadi, yaitu kesatu, untuk memastikan aturan pelindungan data pribadi diimplementasikan; kedua berbagai negara membentuk lembaga pengawas pelindungan data pribadi; ketiga, pengawasan dan penegakan hukum pelindungan data pribadi saat ini masih lemah; keempat, banyaknya subjek hukum pelindungan data pribadi; kelima, pengendali atau prosesor data pribadi yang banyak; dan keenam, masih kurangnya kesadaran masyarakat akan pelindungan data pribadi. Bentuk ideal lembaga pengawas pelindungan data pribadi sebaiknya berupa lembaga negara independen yang dibentuk dengan undang-undang dan bersifat auxalari state’s organ, yang memiliki fungsi, tugas, dan kewenangan yang diatur dalam undang-undang. Pembentukan lembaga pengawas pelindungan data pribadi ini perlu diatur dalam UU Pelindungan Data Pribadi.

Penulis: Novianti, S.H., M.H.

Abstrak:
Masuknya ratusan orang asing pasca diterbitkannya pemberlakuan pemberian bebas visa kunjungan menimbulkan kekhawatiran banyak pihak akan terjadi peningkatan penyebaran Covid-19. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan selektif yang dilakukan oleh keimigrasian terkait pembatasan pemberian bebas visa kunjungan pada masa pandemi Covid-19. Tulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang dianalisis secara deskriptif-kualitatif dengan menggunakan data kepustakaan. Hasil penelitian mengungkapkan pengaturan pembatasan pemberian bebas visa kunjungan dan izin tinggal bagi orang asing pada masa pandemi Covid-19 dilakukan melalui beberapa penerbitan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) yakni Permenkumham Nomor 3, 7, 8, 11, dan 26 Tahun 2020, serta Permenkumham Nomor 27 Tahun 2021. Beberapa Permenkumham tersebut telah dilakukan beberapa kali penggantian dan terakhir diberlakukan Permenkumham Nomor 34 Tahun 2021. Kebijakan selektif keimigrasian pada masa pandemi Covid-19 yakni melakukan pembatasan pemberian bebas visa kunjungan dengan beberapa pengecualian dan memberikan izin masuk kepada orang asing pada saat pemberlakuan pelaksanaan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Untuk itu pemerintah perlu melakukan kebijakan yang ketat dengan melakukan skrining dan karantina terhadap orang asing yang masuk ke wilayah Indonesia untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Penulis: Gurnita Ning Kusumawati

Abstrak:
Perlindungan terhadap pemanfaatan kekayaan laut serta peningkatan ekonomi maritim dan perikanan Indonesia dilakukan melalui pencegahan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU Fishing) di zona Fishing ground. Hal ini diejawantahkan dalam berbagai instrumen internasional, salah satunya the 2009 Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, Eliminate IUU Fishing (PSMA 2009). Ketersediaan sumber daya manusia dan teknologi dalam menyiapkan sarana dan penegakan hukum di wilayah laut zona ekonomi, menjadi salah satu tantangan bagi Indonesia dalam upaya mewujudkan instrumen internasional PSMA 2009. Fokus pembahasan dalam penulisan ini adalah: Pertama, upaya Indonesia dalam memaksimalkan PSMA 2009 dengan dilakukannya penelitian terutama berkenaan dengan masalah unregulated Fishing di Pelabuhan Samudera Nizam Zachman. Kedua, kepentingan dilakukannya reformulasi hukum positif Indonesia mengenai PSMA untuk menanggulangi kegiatan IUU Fishing. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan perbandingan (comparative approach). Upaya Indonesia dalam menerapkan PSMA 2009 secara konsisten dan berkelanjutan, sebagaimana yang dilakukan di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta, dinilai dari beberapa indikator seperti fasilitasi Pelabuhan Perikanan, penegakan hukum, dan sumber daya manusia pra dan pasca diberlakukannya PSMA 2009. Namun, masih diperlukan adanya reformulasi kebijakan dalam hal penegakan hukum dan strategi optimalisasi sarana prasarana di Pelabuhan Perikanan Indonesia.

Penulis: Rahmadi Indra Tektona

Abstrak:
Penggunaan sistem artificial intelligence (AI) dalam produksi merupakan hal biasa di era teknologi yang serba canggih. Namun, ada keprihatinan yang mendalam bahwa teknologi AI akan menjadi tidak terkendali. Dengan teknologi canggih, hanya masalah waktu sistem ini mulai menghasilkan penemuan yang luar biasa tanpa campur tangan manusia. Hal ini menimbulkan pertanyaan terkait hak kekayaan intelektual karena tidak hanya mendisrupsi konsep hak cipta, tetapi juga mengarah pada munculnya pertanyaan terkait relevansi UU Hak Cipta yang bagaimanapun dinilai tertinggal dalam merespon perkembangan AI ini. Melalui pendekatan konseptual dan menggunakan metode penelitian hukum normatif, doktrinal, dan studi perbandingan, serta menggunakan teknik analisis kualitatif, artikel ini berpendapat bahwa dibutuhkan sebuah konseptualisasi dan redefinisi terhadap regulasi dan kerangka hukum terkait hak cipta serta menghadirkan alat sosial dan hukum untuk mengontrol fungsi dan hasil sistem AI. Saran dalam artikel ini, Pemerintah harus sadar akan urgensi besar pemberian insentif yang dibutuhkan oleh pemrogram dan pemilik AI untuk merangsang pengembangan dan investasi masa depan di bidang AI. Untuk mengakomodasi karya yang dihasilkan AI, Pemerintah perlu mendesain ulang UU Hak Cipta Indonesia agar mampu mengakomodasi masalah hak cipta, hak moral dan ekonomi, dan jangka waktu perlindungan terhadap karya kreasi AI; serta mempertimbangkan untuk mengadopsi penggunaan konsep work made for hire.

Penulis: Fajar Sugianto

Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk memahami konstelasi perkembangan hermeneutika sebagai metode penafsiran hukum dalam memberikan hasil interpretasi teks hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode yang digunakan ialah yuridis normatif dengan pendekatan filsafat, pendekatan undang-undang, dan pendekatan perbandingan dengan menggunakan data sekunder. Filsafat hermeneutika tidak hanya mempersoalkan pemahaman suatu aturan hukum, tetapi apakah yang terjadi dengan memahami suatu aturan hukum. Proses bagaimana memahami hukum dan proses intepretasi hukum menjadi fokus utama karena keduanya akan membentuk pemahaman hukum yang menentukan langkah dan tindak lanjut seseorang setelah memahami hukum. Penafsiran hukum terhadap teks undang-undang berbasis filsafat hermeneutika memungkinkan hakim menggunakan kewenangannya untuk menambah makna teks undang-undang sebagai wujud pembentukan dan penciptaan hukum. Hasilnya menunjukkan hermeneutika adalah benar sebagai metode penafsiran hukum dalam memberikan hasil interpretasi teks hukum yang hakikatnya sebagai sarana dan cara manusia untuk menafsirkan persoalan; dalam hal ini hakim membangun pemahaman dan memperoleh hasil yang sahih dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Pengetahuan tentang adanya hermeneutika yang telah terujui kebenarannya sehingga hasil penafsiran tersebut terukur dan teruji, sementara sebagai penggunaan hermeneutika sebagai penafsiran sebagai suatu metode penafsiran hukum. Penguasaan hermeneutika sebaiknya satu jenis dimana hal itu akan menghasilkan hasil yang baik.

Vol. 12 / No. 1 - Juni 2021

Penulis: Dian Cahyaningrum, S.H.. M.H.

Abstrak:
Pandemi Covid-19 menimbulkan kerugian pada perekonomian nasional yang berimbas pada terpuruknya UMKM, oleh karenanya perlu ada pelindungan hukum terhadap UMKM. Untuk itu tulisan ini akan mengkaji dan bertujuan untuk mengetahui urgensi pelindungan hukum terhadap UMKM, pelindungan hukum yang diberikan kepada UMKM, dan peran bank dalam pelindungan hukum tersebut. Tulisan ini memiliki kegunaan teoritis dan praktis. Dengan menggunakan metode yuridis normatif diperoleh hasil UMKM perlu mendapat pelindungan hukum karena memiliki peran penting dalam perekonomian nasional dan sebagai pilar utama ekonomi kerakyatan. Pelindungan hukum dilakukan dengan mengeluarkan berbagai instrumen hukum yang ditujukan untuk membantu UMKM bertahan, bangkit dari Covid-19, dan berkembang dengan baik. Bank memiliki peran penting dalam pelindungan hukum terhadap UMKM yaitu mendukung PEN dan membina/memberdayakan UMKM. Mengingat pentingnya UMKM, pelindungan hukum perlu terus dilakukan pada masa pandemi Covid-19. Bank juga perlu meningkatkan perannya dan menjadi agen pembangunan yang baik agar kesejahteraan rakyat terwujud.

Penulis: Kania Jennifer Wiryadi

Abstrak:
Pandemi Covid-19 menyebabkan pertumbuhan perekonomian dunia mengalami resesi tajam yaitu kisaran 4,4%-5,2%. Pasar kerja menjadi salah satu sektor yang terdampak ditandai dengan tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK). Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi gejala ini adalah dengan pengadopsian skema jaminan kehilangan pekerjaan. Artikel ini membahas latar belakang diadakannya jaminan kehilangan pekerjaan serta sistemnya di Indonesia dan cara skema jaminan kehilangan pekerjaan dapat menanggulangi dampak pemutusan hubungan kerja akibat resesi ekonomi. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif. Dalam menganalisis bahan hukum, penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Jaminan kehilangan pekerjaan merupakan bentuk jaminan sosial yang diberikan kepada pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Apabila pekerja mengalami PHK, pekerja akan menerima manfaat berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja. Ditemukan bahwa skema jaminan kehilangan pekerjaan dapat mempercepat eks pekerja mendapatkan pekerjaan permanen dan mencegah eks pekerja kehilangan motivasinya untuk mencari kerja. Studi pelaksanaan unemployment insurance di negara lain menunjukkan bahwa skema unemployment insurance efektif dalam mengatasi jumlah pengangguran, khususnya dalam masa resesi ekonomi. Sebagai saran dari penelitian ini, skema jaminan kehilangaan pekerjaan perlu disosialisasikan dan pelatihan kerjanya disesuaikan dengan permintaan pasar agar benar-benar memberikan manfaatnya

Penulis: Hetty Hassanah

Abstrak:
Nama domain dapat diperoleh melalui pendaftaran & putusan (Dispute Resolution Service Provider-DRSP). Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) baru mengakui eksistensi nama domain hasil pendaftaran pada registrar asing (Pasal 24 ayat (3)). UU ITE perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip dalam penyelesaian sengketa nama domain termasuk DRSP, oleh karena itu perlu adanya harmonisasi regulasi dan praktik global. Permasalahan hukum yang muncul adalah prinsip apa saja yang dapat dipertimbangkan dalam menyelesaikan sengketa nama domain berdasarkan UU ITE. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, menggunakan metode yuridis normatif. Data yang diperoleh dianalisis secara yuridis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa prinsip yang perlu dipertimbangkan dalam penyelesaian sengketa nama domain termasuk putusan DRSP adalah prinsip kepastian hukum; prinsip “architecture” Lawrence Lessig yang dapat diterapkan terkait pengakuan dan pelaksanaan putusan penyedia layanan penyelesaian sengketa nama domain oleh DRSP; serta prinsip pengakuan oleh Undang-Undang ITE. Prinsip-prinsip tersebut perlu dipertimbangkan agar mampu mengikuti perkembangan best practices pada masyarakat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) terkait kepemilikan nama domain berikut sistem penyelesaian sengketa secara online oleh DRSP yang diatur oleh Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN) dalam Uniform Domain Name Dispute Resolution Policy (UDRP), perjanjian registri, dan perjanjian registrar sesuai dengan teori “code” atau “architecture” dari Lawrence lessig.

Penulis: Puteri Hikmawati, S.H., M.H.

Abstrak:
Pandemi Covid-19 mengharuskan sebagian besar masyarakat beraktivitas di rumah dengan menggunakan teknologi informasi, kondisi tersebut berdampak pada meningkatnya kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) terhadap anak dan perempuan. Penanganan kasus KBGO dengan menggunakan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan/atau UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi belum memadai. Artikel ini mengkaji pengaturan KBGO dalam hukum positif dan penerapannya dalam sistem peradilan pidana serta pengaturannya di masa yang akan datang dalam RUU KUHP 2019 dan RUU PKS. Penulisan artikel dengan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan hukum pidana. Berdasarkan hasil kajian, politik hukum pengaturan KBGO dalam UU ITE dan UU No. 44 Tahun 2008 menimbulkan multitafsir dalam penerapannya. Aparat penegak hukum menggunakan UU ITE dan/atau UU No. 44 Tahun 2008 terhadap KBGO, dimana korban dapat dijadikan tersangka. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi korban. RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual yang memuat berbagai jenis kekerasan seksual merupakan RUU Prioritas Tahun 2021, namun belum juga memuat KBGO secara eksplisit. Oleh karena itu, KBGO perlu dimasukkan sebagai jenis kekerasan seksual dalam RUU PKS. RUU PKS dianggap sebagai lex specialis dari KUHP.

Penulis: Marfuatul Latifah, S.H.I., LL.M.

Abstrak:
Perolehan alat bukti secara ilegal masih sering ditemui di Indonesia. Untuk mencegah pengulangan praktik tersebut, hukum acara pidana mengenal prinsip the exclusionary rules of evidence (exclusionary rules) yang berfungsi untuk mengeliminasi alat bukti yang diperoleh secara ilegal dalam pemeriksaan persidangan. Penerapan exclusionary rules telah menjadi praktik yang umum dilakukan secara internasional. Artikel ini mengkaji pengaturan prinsip exclusionary rules di Amerika Serikat dan Belanda, serta mengkaji apakah prinsip exclusionary rules perlu diatur dalam hukum acara pidana Indonesia melalui RUU Hukum Acara Pidana (RUU HAP). Artikel ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang kemudian dianalisis secara kualitatif. Pengaturan exclusionary rules di Amerika Serikat diatur dalam Putusan Mapp v. Ohio, 367 U.S. 643 (1961), sedangkan di Belanda diatur dalam Pasal 359a WvSv. Di Indonesia, keberadaan prinsip exclusionary rules merupakan tafsir dari frasa “alat bukti yang sah” sehingga alat bukti harus sah, baik jenis dan perolehannya. Untuk meminimalisasi perolehan bukti secara ilegal di Indonesia, prinsip exclusionary rules perlu diatur dalam batang tubuh RUU HAP agar dapat diberlakukan secara efektif dalam persidangan di seluruh Indonesia. Selain itu, pengaturan exclusionary rules pada RUU HAP perlu dilengkapi dengan pihak yang berwenang menguji dan mengesahkan alat bukti, serta menetapkan tindakan apa yang dapat diterapkan terhadap alat bukti yang tidak sah.

Penulis: Tanto Lailam

Abstrak:
Penelitian ini memfokuskan pada checks and balances antarlembaga negara dalam menjalankan fungsinya. Problem penelitian terkait lemahnya sistem saling imbang dan saling kontrol dalam pembentukan dan pengujian undang-undang. Untuk mengungkap problem penelitian tersebut, digunakan penelitian hukum normatif yang mengutamakan data sekunder, dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa problem checks and balances, yaitu (1) sistem legislasi dalam sistem presidensial yang banyak melahirkan kompromi/konfrontasi; (2) checks and balances antarlembaga legislatif yang lemah; (3) teknik legislasi yang kurang dipahami; (4) penyempitan pemahaman checks and balances dalam putusan MK; (5) problem saling klaim kebenaran dalam menafsirkan konstitusi; (6) problem tambahan dan pencabutan kewenangan melalui putusan; (7) problem putusan MK yang menyimpang dari undang-undang; dan (8) problem pemaknaan moralitas konstitusi. Solusi penataan checks and balances, yaitu (1) pengaturan hak veto dalam konstitusi; (2) rekonstruksi makna “otonomi daerah” dalam menata hubungan legislasi antara DPR dengan DPD; (3) penguatan kemampuan legal drafting; (4) meletakkan bangunan prinsip separation of power dan checks and balances secara benar menurut konstitusi; (5) penting membangun pemahaman kebenaran tafsir konstitusi; (6) perlu membangun marwah MK melalui konsistensi putusan dan akuntabilitas putusan; (7) meminimalisasi penyimpangan terhadap UU MK; dan (8) penguatan moralitas/etika hakim.

Vol. 11 / No. 2 - November 2020

Penulis: Bernhard Ruben Fritz Sumigar

Abstrak:
Semangat perumus Rancangan Undang-Undang KUHP (RUU KUHP) untuk melakukan kodifikasi total semua ketentuan pidana, termasuk yang berkaitan dengan pelanggaran berat HAM, ditandai dengan ketidak-konsistenan antara rumusan yang diatur dengan standar dalam sejumlah instrumen hukum internasional. Berdasarkan hal tersebut, artikel ini disusun untuk mendiskusikan tantangan hukum yang akan timbul dari pengaturan tentang pelanggaran berat HAM dalam RUU KUHP. Dengan menggunakan metode kualitatif dan deskriptif normatif, artikel ini menemukan 3 (tiga) permasalahan antara ketentuan RUU KUHP dan kerangka hukum internasional, yaitu (i) istilah “Tindak Pidana Berat terhadap HAM” yang tidak tepat (ii) kejahatan genosida, dan (iii) kejahatan terhadap kemanusiaan. Berdasarkan pembahasan, artikel ini menyimpulkan bahwa ketentuan pelanggaran berat HAM dalam RUU KUHP bertentangan dengan ketentuan hukum internasional yang mengikat dan berlaku bagi Indonesia. Oleh karena itu, artikel ini memberikan rekomendasi bagi pembuat kebijakan untuk merumuskan kembali ketentuan pelanggaran berat HAM dalam RUU KUHP agar sepadan dengan ketentuan hukum internasional.

Penulis: Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM.

Abstrak:
Gagasan mengenai kriminalisasi terhadap perbuatan curang oleh advokat dalam proses peradilan mendapat perhatian masyarakat, terutama dari kalangan advokat. Norma hukum pidana mengenai perbuatan curang oleh advokat dalam RUU KUHP menimbulkan banyak pertanyaan dari sudut pandang kebijakan kriminalisasi. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut dalam RUU KUHP. Kajian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan metode analisis yang bersifat deskriptif analitis. Pembahasan di antaranya menyimpulkan bahwa perbuatan curang oleh advokat dalam bentuk perbuatan “main dua kaki” dan perbuatan “mempengaruhi pihak-pihak dalam proses penegakan hukum dengan atau tanpa imbalan” merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan dianggap oleh masyarakat patut untuk dihukum. Pengaturan ini bertujuan untuk melindungi klien yang meminta jasa pendampingan hukum. Rumusan pengaturan ini kemudian menjadi diatur untuk melengkapi norma hukum pidana terkait profesi advokat yang ada selama ini. Namun dari aspek formulasi delik, masih ada yang perlu dibenahi agar tidak menimbulkan multitafsir saat penerapannya,khususnya terkait dengan Pasal 282 RUU KUHP.

Penulis: Yaris Adhial Fajrin

Abstrak:
Homoseksualitas dipandang sebagai penyimpangan perilaku, tidak sedikit homoseksual menjadi latar belakang terjadinya suatu tindak pidana. Menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana yang memiliki latar belakang homoseksualitas, tidak serta merta menjadi solusi penyelesaian suatu kejahatan. Pidana justru memberikan dampak negatif terhadap pelaku, seperti stigmatisasi dan terhambatnya upaya mengembalikan orientasi seksual pelaku. Tujuan pemidanaan dalam pembaruan hukum pidana adalah memperbaiki pelaku menjadi individu yang lebih baik. Berdasarkan latar belakang tersebut, “double track system” menjadi gagasan yang relevan untuk diupayakan, terlebih saat ini Indonesia sedang berada pada periode pembaruan hukum pidana nasional. Permasalahan yang diangkat yakni kedudukan homoseksualitas dalam hukum pidana dan gagasan double track system terhadap pelaku tindak pidana berlatarbelakang homoseksualitas. Metode penelitian hukum yang digunakan adalah metode penelitian normatif. Hasil yang didapat bahwa homoseksualitas bukan merupakan tindak pidana menurut hukum pidana positif Indonesia, hanya saja homoseksualitas dapat menjadi penyebab terjadinya tindak pidana. Pelaku tindak pidana tersebut dapat diberikan sanksi tindakan, mengingat dalam ilmu kejiwaan mengenal adanya berbagai terapi pengembalian orientasi seksual. Ide double track system merupakan cerminan pembaruan hukum pidana nasional yang berorientasi kepada nilai-nilai keseimbangan. Manfaat tersebut dapat dijadikan pijakan untuk segera melakukan kebijakan legislasi double track system bagi pelaku tindak pidana yang berlatarbelakang homoseksual dalam sistem pemidanaan di Indonesia.

Penulis: Novianto Murti Hantoro, S.H., M.H.

Abstrak:
Hakim konstitusi memiliki periode masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Ketentuan ini telah coba dikoreksi melalui permohonan uji materi terhadap UU Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi tidak ada putusan MK yang menyatakan periode masa jabatan hakim konstitusi bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Tulisan ini menganalisis mengenai perlunya reformulasi ketentuan mengenai periode masa jabatan hakim konstitusi dikaitkan dengan prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman. Analisis mengenai periode masa jabatan hakim konstitusi juga dilakukan dengan membandingkan prinsip internasional dan praktik di negara lain. Periode masa jabatan 5 tahun dan dapat dipilih kembali memiliki kelemahan, karena membuka peluang pengaruh politik dan kontroversi pada pengajuan calon hakim konstitusi periode kedua. Periode masa jabatan ini perlu diubah dengan masa jabatan yang lebih lama tanpa perpanjangan dikombinasikan dengan usia pensiun. Penentuan periode masa jabatan hakim konstitusi yang dikaitkan dengan kemandirian kekuasaan kehakiman tidak dapat lepas dari persyaratan, seleksi, pengawasan, dan pemberhentian hakim konstitusi. Persyaratan, mekanisme seleksi, pengawasan, dan pemberhentian hakim konstitusi juga perlu disempurnakan.

Penulis: R. Muhamad Ibnu Mazjah

Abstrak:
Perpres Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan RI (KKRI) tidak memuat secara tekstual ketentuan hukum acara tentang tindak lanjut laporan pengaduan masyarakat (lapdumas). Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah KKRI memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan dan pengusutan secara langsung sebagai bagian dari kewenangan menindaklanjuti lapdumas. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 a dan 4 b Perpres No. 18 Tahun 2011 dapat diketahui bahwa setelah KKRI menerima lapdumas, KKRI memiliki dua opsi kewenangan yakni menindaklanjuti secara langsung atau meneruskan lapdumas tersebut kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti pengawas internal. Namun, tidak adanya ketentuan tertulis di dalam Perpres No. 18 Tahun 2011, menimbulkan tafsir KKRI tidak berwenang melakukan pemeriksaan, pengusutan, penyelidikan secara langsung. Hal ini mendorong penulis untuk menafsirkan kewenangan KKRI dalam menindaklanjuti lapdumas berdasarkan perspektif hukum progresif. Penulisan ini menggunakan metode penelitian normatif, yang bertujuan untuk mendapatkan argumentasi hukum tentang dimensi pengawasan sebagai tindak lanjut laporan pengaduan masyarakat. Tulisan ini diharapkan dapat berdaya guna dalam pengembanan tugas pengawasan oleh KKRI. Di bagian akhir, tertuang rekomendasi mengenai perlunya pengaturan kewenangan sebagai penguatan bagi KKRI dalam menjalankan tugas pengawasan serta kewenangan penjatuhan sanksi apabila terjadi ketidakpatuhan. Pada tataran operasional, diperlukan penyamaan persepsi antara KKRI dengan Kejaksaan RI agar tercipta sinergitas dalam menjalankan tugas pengawasan.

Penulis: Dian Agung Wicaksono

Abstrak:
Lampiran UU Pemda 2014 telah membagi secara detail urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah. Untuk melaksanakan urusan pemerintahan konkuren tersebut, pemerintahan daerah memiliki kewenangan untuk menetapkan peraturan daerah. Kehadiran daftar urusan pemerintahan yang spesifik menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana pemerintahan daerah dapat “menjabarkan” urusan pemerintahan yang menjadi domain kewenangannya dalam pembentukan peraturan daerah. Penelitian ini berfokus pada dua permasalahan, yaitu: (1) konstruksi konstitusional kewenangan mengatur pemerintahan daerah; dan (2) penafsiran terhadap kewenangan mengatur urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dalam pembentukan peraturan daerah. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan mengkaji data sekunder, dengan sifat penelitian deskriptif, serta berbentuk evaluatif dan preskriptif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya alternatif penafsiran terhadap kewenangan mengatur urusan pemerintahan dalam pembentukan peraturan daerah, yaitu: (1) pelaksanaan kewenangan mengatur secara legalistik-formal, mendasarkan kewenangan dan NSPK yang ditetapkan Pemerintah secara kaku; (2) pelaksanaan kewenangan mengatur secara normatif-ekstensif, yaitu selain mendasarkan pada kewenangan dan NSPK, Daerah juga memperhatikan kebutuhan hukum di Daerah; dan (3) pelaksanaan kewenangan mengatur secara supra-ekstensif, dimana Daerah mengatur melebihi koridor kewenangan dan NSPK. Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan dalam perumusan NSPK diperlukan kecermatan Pemerintah Pusat, sehingga dapat menjadi pedoman pelaksanaan urusan pemerintahan yang luwes dan dapat mengakomodasi kebutuhan hukum masyarakat di daerah.

Penulis: Luthvi Febryka Nola, S.H., M.Kn.

Abstrak:
UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) mengamanatkan pembentukan sejumlah aturan pelaksana dalam jangka waktu dua tahun sejak UU tersebut diundangkan. Akan tetapi hanya tiga aturan pelaksana yang berhasil diundangkan dalam jangka waktu tersebut. Sedangkan sisanya, ada yang terlambat dan ada yang belum terbit. Untuk mengatasinya pemerintah melakukan diskresi dengan tetap memberlakukan aturan lama. Tulisan ini membahas mengenai dampak pelanggaran aturan batas waktu pembentukan peraturan pelaksana dari UU PPMI, sehingga dapat diketahui upaya mengatasi dampak tersebut. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif melalui studi perpustakaan untuk menemukan data sekunder yang dianalisis secara deskriptif kualitatif. Adapun dari pembahasan diketahui bahwa penyebab dilanggarnya batas waktu pembentukan aturan pelaksana adalah adanya kendala teknis dan materi peraturan. Pelanggaran tersebut berdampak tidak terlaksananya sebagian besar ketentuan dalam UU PPMI dan berpengaruh pada proses pelindungan pekerja migran Indonesia (PMI), baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja, seperti masih adanya pembebanan biaya penempatan; adanya penampungan PMI yang menjadi sumber penularan Covid-19; dan maraknya praktik perbudakan PMI pelaut. Oleh karena itu, semua peraturan pelaksana dari UU PPMI perlu segera diundangkan. DPR melalui fungsi pengawasan, baik di Komisi maupun Tim Pengawas PMI, perlu terus mendesak pemerintah membentuk aturan pelaksana dari UU PPMI.

Penulis: Cita Yustisia Serfiyani

Abstrak:
Minuman alkohol tradisional telah ada di budaya masyarakat Indonesia dengan berbagai tujuan peruntukan. Perkembangan eksistensinya dipengaruhi oleh minuman beralkohol racikan yang memberi pengaruh buruk ke citra alkohol tradisional. Minuman alkohol tradisional sesungguhnya merupakan produk berbasis kekayaan intelektual di bidang warisan budaya dan indikasi asal yang memiliki karakteristik sehingga tidak dapat disamakan dengan minuman beralkohol lainnya, meskipun regulasi yang ada saat ini masih mengatur sebaliknya. Tulisan ini meneliti mengenai pelindungan hukum minuman alkohol tradisional khas Indonesia yang disesuaikan pula dengan karakteristiknya dan pengaruh budaya hukum masyarakat Indonesia terhadap minuman alkohol tradisional tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, serta pendekatan perbandingan dengan Korea Selatan dan Prancis.Pelindungan hukum yang bijak dan objektif dari sudut pandang Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) terhadap minuman alkohol tradisional diharapkan dapat mengembangkan aspek positif dengan tetap mengantisipasi aspek negatifnya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa minuman alkohol tradisional khas Indonesia yang memenuhi 3 karakteristik khusus dapat dilindungi sebagai warisan budaya tak benda (milik publik) ataupun indikasi asal (milik masyarakat lokal) walaupun yang lebih tepat untuk diterapkan saat ini adalah indikasi asal sehingga Pemerintah perlu menyesuaikan perancangan regulasi di tingkat pusat sesuai indikasi asal.

Vol. 11 / No. 1 - Juni 2020

Penulis: Irfan Iryadi

Abstrak:
Pasca berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016, aturan mengenai rangkap jabatan sebagai pegawai negeri menjadi salah satu substansi yang diatur Peraturan Pemerintah itu. Adanya ketentuan itu telah menimbulkan kekaburan norma atas kedudukan Camat sebagai PPAT Sementara dalam membuat akta otentik dibidang pertanahan. Bertolak dari isu hukum itu, artikel ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui status kekuatan kepastian hukum Camat sebagai PPAT Sementara dan menawarkan konsep yang seharusnya dilaksanakan dalam pemangkuan jabatan PPAT Sementara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 terdapat ketidakpastian hukum dalam rumusan pasalnya sebagai akibat adanya kekaburan norma hukum atas penyelenggaraan jabatan PPAT Sementara. Kekaburan itu terlihat dari penunjukan PPAT Sementara kepada Camat, dimana Camat merupakan Pejabat Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan aturan Jabatan PPAT yang melarang PPAT diselenggarakan oleh Pegawai Negeri Sipil. Seharusnya pengembanan PPAT Sementara itu dialihkan kepada kepala desa, dimana keberadaan kepala desa itu juga diakomodasi dalam ketentuan jabatan PPAT sebagai PPAT Sementara. Hal itu dianggap lebih memberikan kepastian hukum dan merupakan solusi ideal dalam pemangkuan PPAT Sementara. Oleh sebab itu, disarankan kepada pemangku kepentingan dibidang pertanahan, khususnya di bidang PPAT agar dapat melakukan pengkajian atas gagasan ini untuk diimplementasikan terhadap pemangkuan jabatan PPAT Sementara di Indonesia.

Penulis: Dian Cahyaningrum, S.H.. M.H.

Abstrak:
Pekerja Migran Indonesia (PMI) seringkali tertimpa kasus, oleh karenanya perlu mendapat pelindungan, termasuk pelindungan ekonomi. Tulisan ini mengkaji dan bertujuan untuk mengetahui pentingnya pelindungan ekonomi terhadap PMI dan peran bank dalam pelindungan ekonomi tersebut. Tulisan memiliki kegunaan teoritis dan praktis. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif dan empiris di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Wonosobo. Berdasarkan UU PPMI, pelindungan ekonomi terhadap PMI dilakukan melalui pengelolaan remitansi, pemberian edukasi keuangan dan kewirausahaan kepada PMI. Sayangnya peraturan pemerintah (PP) pelindungan ekonomi terhadap PMI belum terbentuk. Pentingnya pelindungan ekonomi bagi PMI antara lain: remitansi PMI dapat dikelola dengan baik, literasi dan inklusi keuangan PMI meningkat, PMI memiliki usaha, dan mengurangi pengangguran. Bank memiliki peran penting dalam mendukung pelindungan ekonomi terhadap PMI, diantaranya: memberikan edukasi keuangan dan layanan pengiriman uang, melaksanakan CSR, dan menyalurkan KUR. Namun ada kendala yang dihadapi bank dalam melaksanakan perannya, yaitu rumah edukasi kurang berfungsi jika tidak ada penggeraknya dan banyak koperasi yang tidak dikelola dengan baik. Agar pelindungan ekonomi berjalan dengan baik disarankan PP pelindungan ekonomi terhadap PMI segera dibentuk; edukasi keuangan dilakukan sebelum PMI berangkat ke luar negeri, pendamping desmigratif harus berperan aktif; dan koperasi harus dikelola dengan baik.

Penulis: Bagus Oktafian Abrianto

Abstrak:
Keberadaan gugatan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) merupakan salah satu sarana pelindungan hukum masyarakat atas tindakan (handeling) yang dilakukan oleh pemerintah. Adapun konsep mengenai onrechtmatige overheidsdaad berkembang secara dinamis dari waktu ke waktu. Perubahan konsep Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) di dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, menyebabkan gugatan onrechtmatige overheidsdaad yang dahulu merupakan kompetensi absolut Pengadilan Negeri, berubah menjadi kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara. Penelitian ini berusaha memaparkan mengenai perubahan pengaturan dan perubahan konsep onrechtmatige overheidsdaad pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014. Beralihnya kewenangan untuk memeriksa gugatan onrechtmatige overheidsdaad dari lingkungan peradilan umum ke peradilan tata usaha negara memiliki berbagai konsekuensi yuridis, mulai dari perubahan hukum acara, petitum, dan posita. Salah satu konsekuensi yang cukup penting adalah perubahan terkait dengan pelaksanaan putusan atau eksekusi. Dahulu, gugatan onrechtmatige overheidsdaad merupakan kompetensi absolut pengadilan negeri, sehingga pelaksanaan putusan tergantung dari itikad baik (good will) dari pemerintah. Pasca-beralih ke kompetensi absolut PTUN, terdapat mekanisme upaya paksa agar putusan tersebut dapat dijalankan oleh instransi pemerintah terkait (tergugat).

Penulis: Agus Suntoro

Abstrak:
Peningkatan aksi teror pada 2018, mendorong pemerintah dan DPR melakukan revisi terhadap UU No. 15 Tahun 2003 yang dinilai tidak cukup memadai dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Kesadaran semua pihak telah mempercepat proses legislasi dan pada 21 Juni 2018 Presiden Joko Widodo mengesahkan UU No. 5 Tahun 2018. UU hasil revisi ini diharapkan lebih memperkokoh dasar pemberantasan tindak pidana terorisme dan melindungi HAM secara lebih proposional. Bertitik tolak pada hal tersebut, kajian ini akan melihat proses legislasi dalam pembentukan UU No. 5 Tahun 2018 dan meninjau penerapan asas dan norma HAM dalam UU No. 5 Tahun 2018. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan penyajian deskriptif normatif. Sumber data primer diperoleh melalui wawancara dengan Ketua Panja RUU Terorisme, aktivis HAM, dan perwakilan pemerintah. Hasil kajian menunjukkan, secara legal formal, proses legislasi UU No. 5 Tahun 2018 memenuhi prosedur yang ditetapkan, namun dari aspek substansial masih belum sepenuhnya selaras dengan asas dan norma HAM, terutama persoalan penangkapan, penahanan, perubahan delik materiil menjadi formil, penyadapan, dan inkonsistensi criminal justice system melalui pelibatan militer. Berdasarkan hal tersebut, revisi terbatas terhadap UU No. 5 Tahun 2018 perlu dilakukan agar penegakan hukum pemberantasan terorisme lebih kuat dan HAM dijunjung tinggi sebagai perwujudan negara hukum demokratis.

Penulis: Marfuatul Latifah, S.H.I., LL.M.

Abstrak:
Artikel ini mengkaji mengenai legalitas penerbitan Perppu, pelindungan HAM bagi Ormas melalui ketersediaan mekanisme pengadilan, dan arah perbaikan ketentuan pembubaran Ormas dimasa yang akan datang. Selain itu artikel ini juga memberikan usulan terkait dengan perbaikan kebijakan mekanisme pembubaran Ormas dimasa yang akan datang. Penulisan artikel ini disusun dengan menggunakan metode yuridis normatif yang diuraikan secara deskriptif. Dalam pembahasan, penerbitan Perppu Ormas tidak memenuhi unsur “kegentingan memaksa” dan “keadaan bahaya” yang terdapat di dalam Pasal 22 dan Pasal 12 UUD NRI Tahun 1945. Penghapusan mekanisme pembubaran ormas melalui sidang pengadilan, merupakan pembatalan terhadap upaya pelindungan HAM bagi Ormas di Indonesia. Selain itu kondisi ini juga tidak mencerminkan prinsip negara hukum yang di dalamnya mengandung unsur due process of law. Disimpulkan bahwa perubahan ketentuan terkait dengan pembubaran ormas harus segera dilakukan. Oleh karena itu, RUU Ormas harus memuat beberapa materi muatan dalam perubahan ketentuan pembubaran ormas, yaitu pengaturan pembubaran ormas secara umum melalui persidangan dengan batas waktu 150 hari, sedangkan dalam “kondisi tertentu” Ormas dapat langsung dibekukan kegiatannya dan pemerintah dapat mengajukan permohonan untuk membubarkan ormas dengan batasan waktu 75 hari. RUU Ormas harus mengatur definisi tentang “kondisi tertentu” dalam dinamika keormasan, agar tidak terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya.

Penulis: Puteri Hikmawati, S.H., M.H.

Abstrak:
RUU KUHP yang telah disetujui oleh DPR dan Pemerintah, namun ditunda pengesahannya memuat ketentuan untuk sedapat mungkin tidak menjatuhkan pidana penjara bagi lansia di atas usia 75 tahun. Pelindungan terhadap lansia merupakan hak asasi manusia karena termasuk dalam kelompok rentan, seperti halnya anak. Terhadap anak yang berhadapan dengan hukum telah diterapkan keadilan restoratif dengan diversi, dimana diupayakan penyelesaian dengan melibatkan pelaku, korban, dan masyarakat. Penulisan artikel dengan metode penelitian yuridis normatif ini mengkaji peniadaan pidana penjara bagi pelaku lansia dalam pembaruan hukum pidana, dapatkah keadilan restoratif tercapai?, yang diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan hukum pidana. Hal ini penting, mengingat KUHP belum mengatur pelindungan terhadap pelaku tindak pidana lansia. Berdasarkan hasil kajian, hakim diberikan alternatif pemidanaan untuk menjatuhkan pidana denda bagi lansia sebagai pengganti pidana penjara, dengan memperhatikan tujuan dan pedoman pemidanaan, serta syarat-syarat yang ketat. Dengan demikian, keadilan restoratif bagi pelaku lansia, tidak dapat tercapai. Penerapan keadilan restoratif hendaknya dilakukan dengan memperhatikan hak korban untuk memperoleh ganti rugi. Oleh karena itu, perlu kesiapan peraturan perundang-undangan, aparat penegak hukum, dan masyarakat. Terhadap masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa, anak dan lansia merupakan kelompok rentan, yang haknya dijamin oleh UUD 1945. Seorang lansia karena faktor usianya menghadapi keterbatasan sosial, ekonomi, dan kesehatan.

Vol. 10 / No. 2 - November 2019

Penulis: Luthvi Febryka Nola, S.H., M.Kn.

Abstrak:
Kedudukan kreditor memegang peranan penting dalam kepailitan. Kedudukan akan membuat kreditor mendapatkan pembayaran terlebih dahulu namun juga dapat membuat kreditor tidak mendapatkan perlunasan hutang. Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 67/PUU-XI/2013, kedudukan kreditor adalah kreditor separatis, preferen dan konkuren. Upah pekerja termasuk dalam kreditor preferen. Putusan MK Nomor 67/PUU-XI/2013 telah mengubah posisi tersebut dan meletakkan posisi upah buruh di atas kreditor lainnya. Putusan ini juga memposisikan hak pekerja lain pada posisi utama dibandingkan kreditor preferen lainnya. Oleh karena itu tulisan ini membahas Putusan MK Nomor 67/PUU-XI/2013 dari perspektif kekuatan mengikat putusan dan implementasinya terhadap stakeholders terkait. Adapun dari hasil pembahasan dapat diketahui putusan MK memiliki kekuatan mengikat begitu diputuskan hanya saja karena Putusan MK Nomor 67/PUU-XI/2013 berpengaruh terhadap sejumlah undang-undang (UU) membuat UU terkait tersebut perlu disesuaikan. Saat ini penyesuaian belum dilakukan dan akibatnya dalam implementasi putusan terjadi ketidakpastian, ketidakadilan, ketidakefektifan, ketidakmanfaatan, dan penyelundupan hukum.

Penulis: Irna Nurhayati S.H., M.Hum., LL.M., Ph.D.

Abstrak:
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik/Online Single Submission (PP OSS) menandai babak baru kemudahan berusaha di Indonesia. Artikel ini mengkaji, tepat atau tidaknya pendaftaran badan usaha diintegrasikan pada Kemenkumham untuk mendukung kemudahan berusaha di Indonesia; dan legalitas PP OSS. Dari hasil pembahasan disimpulkan bahwa, pendaftaran badan usaha yang diintegrasikan pada Kemenkumham untuk mendukung kemudahan berusaha di Indonesia sudah tepat mengingat bahwa Kemenkumham merupakan lembaga eksekutif, dan proses pendaftaran merupakan proses administrasi pemerintahan yang seyogianya dilakukan oleh eksekutif. Dari perspektif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, khususnya terkait hierarki peraturan perundang-undangan, PP OSS yang juga mengatur pendaftaran badan usaha merupakan materi muatan yang bertentangan dengan ketentuan pendaftaran perusahaan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang tentang Wajib Daftar Perusahaan. Namun, pengaturan melalui PP merupakan alasan logis atas dasar asas kemanfaatan, mengingat PP OSS ini digunakan sebagai langkah strategis untuk mempercepat perolehan data badan usaha dan percepatan peningkatan kemudahan berusaha. Penulis Lengkap: Irna Nurhayati S.H., M.Hum., LL.M., Ph.D. Karina Dwi Nugrahati Putri S.H., M.Sc., LL.M. Veri Antoni S.H., M.Hum. Prof. Dr. Sulistiowati S.H., M.Hum. Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S.

Penulis: Harris Yonatan Parmahan Sibuea, S.H., M.Kn.

Abstrak:
Negara menghadapi sejumlah permasalahan dalam pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata. Permasalahan tersebut menyangkut pelaksanaan proses pengadaan tanah dan belum adanya solusi untuk meredam konflik. Fokus permasalahan dari tulisan ini adalah bagaimanakah aspek hukum pelaksanaan pengadaan tanah pada KEK pariwisata. Tulisan ini merupakan hasil penelitian yuridis normatif pada KEK Mandalika dan KEK Tanjung Kelayang. Hasil penelitian menemukan bahwa KEK Pariwisata atas dasar Peraturan Presiden termasuk proyek strategis nasional yang disesuaikan secara legislasi menjadi objek kepentingan umum sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dari hasil penelitian diketahui pula bahwa proses dan mekanisme pelaksanaan pengadaan tanah di KEK Mandalika dan KEK Tanjung Kelayang mengakibatkan timbulnya konflik pertanahan. Pemerintah berupaya untuk tetap melaksanakan pembangunan KEK pariwisata meskipun penyelesaian konflik pertanahan memakan waktu panjang dan harus melewati proses negosisasi ganti rugi dengan masyarakat.

Penulis: Novianto Murti Hantoro, S.H., M.H.

Abstrak:
Hak atas rumah layak merupakan bagian dari hak ekonomi, sosial, dan budaya. Uji materi undang-undang di bidang perumahan menunjukkan adanya permasalahan atas hak tersebut dan MK memiliki peran dalam penanganan persoalan pemenuhannya. Tulisan ini bertujuan untuk membahas peran MK melalui pertimbangan hukum dalam putusannya terhadap uji materi undang-undang di bidang perumahan dan kesesuaiannya dengan instrumen hukum internasional. Pertimbangan hukum MK telah memerhatikan kepentingan pemerintah, pengusaha, dan masyarakat, serta telah sesuai dengan salah satu aspek dalam hak atas perumahan, yaitu keterjangkauan biaya. Keterjangkauan biaya tidak seharusnya mengabaikan aspek kelayakan. Persoalan perumahan sebagai hak asasi perlu lebih diutamakan dibandingkan perumahan sebagai komoditas. Kewajiban untuk memenuhi hak tersebut berada di tangan negara dan dilaksanakan oleh pemerintah. Terdapat disharmoni antara UU Perumahan dan UU Pemda. Dalam pembagian urusan, penyediaan rumah untuk MBR di UU Pemda hanya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Urusan penyediaan rumah untuk MBR seharusnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah.

Penulis: Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM.

Abstrak:
Salah satu norma dalam RUU KUHP yang mendapat perhatian publik adalah pengaturan perbuatan pidana mempertunjukkan suatu alat untuk mencegah kehamilan atau alat kontrasepsi. Norma ini sesungguhnya merupakan pengaturan kembali, karena secara substansi perbuatan ini sudah diatur dalam Pasal 534 KUHP yang saat ini masih berlaku. Kedua ketentuan tersebut jika dibandingkan konstruksi pasalnya sudah sangat berbeda satu sama lainnya. Pencantuman kembali norma tersebut, saat ini mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat, diantaranya lembaga-lembaga swadaya dan advokasi masyarakat yang bergerak dalam bidang penyuluhan pencegahan penyakit menular seksual. Kajian ini menyimpulkan bahwa kebijakan pengaturan kembali perbuatan tersebut sebenarnya bukan ditujukan untuk menjerat mereka yang bekerja di bidang keluarga berencana dan penyuluhan kesehatan, melainkan karena pertimbangan nilai dan moral keagamaan yang menjadikan pasal terkait alat pencegah kehamilan itu menjadi penting untuk tetap diatur kembali. Konstruksi pasal juga menunjukkan semangat perumus RUU KUHP dalam rangka perlindungan anak.

Penulis: Novianti, S.H., M.H.

Abstrak:
Keberadaan pencari suaka dan pengungsi dari luar negeri menjadi persoalan di Indonesia. Sampai saat ini, Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Meskipun belum meratifikasi kedua ketentuan internasional tersebut, Pemerintah telah menerbitkan Perpres No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri sebagai amanat dari Pasal 27 UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Sehubungan dengan itu, permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana pengaturan penanganan pengungsi luar negeri dan bagaimana implementasi Perpres No. 125 Tahun 2016. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan terkait penanganan pengungsi dari luar negeri tidak sesuai dengan ketentuan hukum internasional dan hukum nasional yaitu UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Berdasarkan Perpres tersebut, proses pemulangan pengungsi dilakukan pilihan secara sukarela atau deportasi. Hal ini tidak bertentangan dengan kewajiban Indonesia untuk menjunjung tinggi standar pelindungan pengungsi dan prinsip non-refoulement. Oleh karena itu, perlu harmonisasi antara Perpres tersebut dan UU Keimigrasian.

Vol. 10 / No. 1 - Juni 2019

Penulis: Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.

Abstrak:
Transaksi dagang melalui sistem elektronik di Indonesia terus berkembang. Sebagai transaksi yang memiliki karakteristik khusus yang melibatkan para pihak lintas yuridiksi tanpa harus bertemu fisik, sangat diperlukan pelindungan hukum bagi konsumen. Melalui metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini mengkaji pelindungan konsumen dalam transaksi dagang melalui sistem elektronik dan penyelesaian sengketanya. Hasil penelitian menunjukan pelindungan terhadap konsumen pada transaksi dagang melalui sistem elektronik belum dapat dilakukan secara optimal karena pengaturannya masih tersebar dalam beberapa Undang-Undang (UU) yang memerlukan peraturan pelaksanaan. Di samping itu UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen belum mampu menjangkau pelindungan konsumen dalam transaksi dagang secara elektronik secara keseluruhan, khususnya dalam hal para pihak memiliki perbedaan yurisdiksi. Sedangkan dalam hal sengketa konsumen, para pihak dapat menempuh jalur pengadilan maupun di luar pengadilan sesuai kesepakatan para pihak, namun alternatif penyelesaian sengketa secara online dapat dilaksanakan secara penuh. Penelitian ini menyarankan kepada pemerintah untuk segera membentuk Peraturan Pemerintah tentang transaksi dagang melalui sistem elektronik dan mengatur mengenai penyelesaian sengketa secara online.

Penulis: Dian Cahyaningrum, S.H.. M.H.

Abstrak:
Alih fungsi lahan pertanian pangan terjadi di berbagai daerah, termasuk Karawang dan Tabanan. Akibatnya ketahanan pangan terancam. Tulisan ini mengkaji pentingnya pelindungan hukum terhadap lahan pertanian pangan, upaya untuk melindunginya, penyebab pengalihan lahan pertanian pangan, dan solusinya. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan empiris, dengan menggunakan data sekunder dan primer. Berdasarkan hasil penelitian, lahan pertanian pangan penting untuk dilindungi agar ketahanan pangan terwujud, hak rakyat atas pangan terpenuhi, meningkatkan kesejahteraan petani, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Upaya untuk melindungi dilakukan secara preventif dan represif. Meskipun dilindungi, alih fungsi lahan pertanian pangan tetap terjadi. Beberapa penyebabnya: ketentuan pelindungan lahan pertanian pangan belum ditindaklanjuti, desakan kebutuhan lahan untuk kepentingan lain, dan rendahnya penghasilan petani. Beberapa upaya untuk mengatasinya: membuat regulasi teknis mengenai pelindungan lahan pertanian pangan, mengendalikan LP2B, melindungi dan memberdayakan petani. Pemerintah/pemerintah daerah harus melakukan segala upaya untuk melindungi lahan pertanian pangan dan menjadikan sektor pertanian menarik.

Penulis: Trias Palupi Kurnianingrum, S.H., M.H.

Abstrak:
Paten merupakan salah satu cabang Hak Kekayaan Intelektual yang berfungsi untuk melindungi invensi di bidang teknologi, salah satunya obat-obatan. Maraknya kasus pencurian sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional di bidang obat-obatan untuk tujuan komersialisasi menunjukkan bahwa pelindungan hak paten atas pengetahuan obat tradisional masih belum maksimal. Artikel ini merupakan hasil penelitian yuridis normatif yang didukung dengan data empiris, membahas mengenai pelindungan hak paten atas pengetahuan obat tradisional dan implementasi Pasal 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU Paten 2016). Di dalam hasil penelitian, disebutkan meskipun Perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) belum mengakomodasi pengetahuan tradisional namun hadirnya UU Paten 2016 melengkapi usaha pemerintah Indonesia dalam menyelamatkan pengetahuan obat tradisional dari biopiracy dan misappropriation. Perlu pengaturan kewajiban disclosure di dalam Perjanjian TRIPs dan mekanisme lebih lanjut mengenai benefit sharing dan pemberian akses atas pengetahuan obat tradisional.

Penulis: Yaris Adhial Fajrin

Abstrak:
Praktik prostitusi yang melibatkan perempuan sebagai aktor utama menimbulkan stigma negatif yang memandang perempuan sebagai insan yang bersalah. Padahal adapula perempuan yang terlibat dalam praktik prostitusi diakibatkan keterpaksaaan. Kondisi ini menimbulkan bias terhadap kedudukan korban dalam praktik prostitusi. Tulisan ini untuk mengkaji keterlibatan perempuan dalam praktik prostitusi sekaligus mengetahui kedudukan perempuan yang terlibat dalam praktik prostitusi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Perempuan dalam jaringan prostitusi dapat teridentifikasi sebagai korban akibat tekanan internal maupun eksternalnya. Perempuan sebagai pelaku apabila terlibat tanpa tekanan dari pihak di luar dirinya. Perempuan sebagai korban apabila bertindak sebagai pemberi jasa, menderita, karena dan daya paksa dari orang lain, selain itu syarat relatif perempuan sebagai korban dalam prostitusi manakala terlibat dalam praktik prostitusi karena pernah menjadi korban kekerasan seksual dan prostitusi sebagai mata pencaharian. Diharapkan pembentuk undang-undang segera mungkin untuk merumuskan mengenai batasan korban dalam rangka pembaharuan hukum dan penegakan hukum yang berkeadilan.

Penulis: Puteri Hikmawati, S.H., M.H.

Abstrak:
Selain dapat dijatuhi pidana pokok, terdakwa dalam perkara korupsi dapat dijatuhi pidana tambahan, berupa pembayaran uang pengganti. Artikel yang merupakan hasil penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif ini, mengkaji pengembalian kerugian keuangan negara dari pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi dapatkah optimal?. Dalam pembahasan, pidana pembayaran uang pengganti telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Jumlah pembayaran uang pengganti sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Apabila uang pengganti tidak dibayar, maka terpidana dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya. Oleh karena itu, pengembalian kerugian keuangan negara tidak dapat optimal. Jumlah pengganti kerugian keuangan negara perlu ditingkatkan, dengan melakukan penyitaan dan perampasan terhadap aset/harta kekayaan pelaku. UU Perampasan Aset perlu dibentuk sebagai dasar hukum perampasan aset dari hasil korupsi.

Penulis: Gema Perdana

Abstrak:
Netralitas ASN dan politisasi birokrasi masih menjadi permasalahan yang perlu segera diatasi. Tulisan ini membahas mengenai sejarah pengaturan netralitas ASN; pengaruh politisasi birokrasi terhadap netralitas ASN; dan peran KASN untuk mewujudkan netralitas ASN. Tulisan ini merupakan hasil penelitian hukum normatif (normative legal research), dengan menggunakan pendekatan sejarah (historical approach) dan peraturan perundang-undangan (statute approach). Tulisan ini bertujuan memberikan kontribusi dalam perumusan manajemen ASN yang bebas dari intervensi politik dan bekerja semata-mata untuk kepentingan bangsa dan negara. Dalam sejarahnya, netralitas ASN sangat dipengaruhi oleh keinginan dari pembentuk undang-undang. Pejabat publik, baik berasal dari politik ataupun independen, tidak seharusnya menempatkan ASN sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaannya. Lembaga baru Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) diharapkan mampu menjaga kualitas pelaksanaan sistem merit. Selanjutnya, diperlukan regulasi dalam rangka pengetatan akses pejabat publik untuk menyalahgunakan kewenangan, serta memberikan akses pengawasan yang ketat dari para pihak termasuk internal ASN untuk dapat melaporkan segala bentuk intervensi.

Penulis: Xavier Nugraha

Abstrak:
Wewenang Mahkamah Konstitusi yang ada dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini masih belum melindungi hak-hak konstitusional warga negara secara penuh. Hal ini tercermin dari pengujian yang diakomodasi hanyalah melingkupi abstract review (belum adanya kasus konkrit di pengadilan). Kondisi ini menyebabkan tidak adanya upaya hukum menyelesaikan persoalan konstitusionalitas norma hukum di pengadilan (concrete review), padahal sering kali persoalan konstitusionalitas undang-undang justru ditemukan dari proses di pengadilan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum dogmatik. Bahan hukum primer yang digunakan yaitu Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, sedangkan bahan hukum sekunder terdiri dari buku, jurnal, dan sumber lain yang relevan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini. Berdasarkan penelitian ini, ditemukan bahwa perlu diterapkannya constitutional question supaya undang-undang yang diujikan dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan pasal yang dinilai bertentangan dengan konstitusi tersebut tidak dapat dijadikan dasar oleh hakim untuk memutus terkait kasus yang diujikan secara konkrit.

Vol. 9 / No. 2 - November 2018

Penulis: Oly Viana Agustine

Abstrak:
Pembubaran partai politik merupakan kewenangan yang dimonopoli, baik oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia maupun Mahkamah Konstitusi Federal Jerman. Pembubaran partai politik berbeda dengan pembubaran organisasi lain, dikarenakan partai politik memiliki peran yang penting dalam penentuan kebijakan pemerintah yang pembatasannya perlu diatur khusus dalam konstitusi. Mahkamah Konstitusi Federal Jerman hingga saat ini telah menerima sembilan kali permohonan pembubaran partai politik dengan lima putusan yakni dua permohonan pembubaran dikabulkan dan tiga permohonan pembubaran partai politik ditolak. Sedangkan Mahkamah Konstitusi Indonesia sejak berdiri belum pernah memeriksa pembubaran partai politik. Dengan demikian, menjadi hal penting dan menarik untuk menganalisa mekanisme pembubaran partai politik di Jerman agar dapat ditemukan mekanisme yang tepat dalam pembubaran partai politik di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan studi kasus dan perbandingan. Kesimpulan yang didapat dalam penelitian ini adalah pembubaran partai politik merupakan pembatasan hak berserikat dan berkumpul yang disahkan oleh konstitusi. Mahkamah Konstitusi Jerman telah melaksanakan pembubaran partai politik secara proporsional dengan memeriksa dan memutus pembubaran partai politik tidak hanya secara teks tetapi juga konteksnya yang memenuhi kriteria “clear and present danger” terhadap kedaulatan Pemerintah Federal Jerman dan tatanan demokrasi yang bebas. Oleh karena itu, perlu dilakukan desain ulang mekanisme pembubaran partai politik di Indonesia dengan kajian sosiologis dan psikologis secara empiris agar memenuhi kriteria “clear and present danger”.

Penulis: Novianto Murti Hantoro, S.H., M.H.

Abstrak:
Undang-undang yang mengatur Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Badan Pemeriksa Keuangan, masing-masing mensyaratkan perlunya persetujuan presiden dalam proses pidana terhadap pejabat negara yang berada di lembaga tersebut. Sorotan masyarakat lebih sering ditujukan kepada politisi. Hal ini terlihat dari permohonan uji materi yang diajukan, padahal ketentuan tersebut juga berlaku untuk hakim agung, hakim konstitusi, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Permasalahan yang ingin dikaji dalam tulisan ini adalah apa esensi persetujuan presiden dalam proses pidana anggota Dewan Perwakilan Rakyat, hakim agung, hakim konstitusi, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan, serta bagaimana sinkronisasi pengaturan tersebut. Esensi persetujuan presiden dikaji berdasarkan pendapat Mahkamah Konstitusi yang tertuang dalam pertimbangan putusannya, sejarah pengaturan dalam undang-undang, dan rujukan norma tersebut di Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sinkronisasi pengaturan dilihat berdasarkan peristilahan, tindak pidana yang dikecualikan, dan pelaku penegakan hukum pidana. Berdasarkan hasil kajian, sulit mendapatkan kepastian esensi dari persetujuan presiden, kecuali dalam konteks untuk menjaga keberlangsungan roda pemerintahan yang itu pun tidak tepat apabila kemudian dilakukan dengan memberikan kewenangan kepada presiden untuk memberikan persetujuan dalam proses pidana. Hasil kajian juga menemukan adanya 6 (enam) ketidaksinkronan pengaturan mengenai persetujuan presiden tersebut. Berdasarkan hasil kajian tersebut direkomendasikan 3 (tiga) opsi, yaitu menghapus ketentuan persetujuan presiden tersebut dan mengkaji kemungkinan pembentukan forum previligiatum; mengatur dalam undang-undang tersendiri, atau dimasukkan sebagai bagian dari undang-undang hukum acara pidana.

Penulis: Mei Susanto

Abstrak:
Saat ini, hampir di seluruh sistem ketatanegaraan di berbagai negara, secara umum disepakati bahwa lembaga eksekutif memiliki peran fundamental dalam menyusun draf anggaran negara untuk kemudian dipresentasikan kepada lembaga legislatif. Lembaga legislatif kemudian memiliki hak untuk membahas, memperdebatkan, dan dalam beberapa kasus melakukan perubahan, untuk kemudian memberikan persetujuan atau penolakan terhadap proposal anggaran dari lembaga eksekutif. Hak lembaga legislatif tersebut, dalam praktiknya akan berbeda-beda. Secara umum terdapat tiga bentuk hak lembaga legislatif di antaranya: budget making, legislatif memiliki kapasitas untuk menerima atau menolak proposal anggaran dari eksekutif serta memiliki kemampuan memformulasikan anggaran secara sendiri; budget influencing, legislatif memiliki kapasitas menerima atau menolak proposal anggaran dari eksekutif namun lemah dalam memformulasikan anggaran secara sendiri; dan budget approving, legislatif tidak memiliki kapasitas menerima atau menolak proposal anggaran dari eksekutif termasuk memformulasikan anggaran secara sendiri. Artikel ini membahas peran lembaga legislatif Indonesia yaitu DPR dan DPD dalam proses penganggaran. DPR memiliki peran kuat yakni membahas, mengubah, dan menerima atau menolak namun lemah dalam kapasitas menyusun anggarannya sendiri sehingga disebut budget influencing, dibandingkan DPD yang hanya memberikan pertimbangan sehingga disebut budget approving. Artikel ini menyarankan agar ada reposisi peran DPR dan DPD yang lebih kuat dan berimbang, sehingga akan dapat menciptakan pengawasan ganda, revisi penganggaran yang diperlukan, penundaan anggaran yang memiliki kepentingan konstitusi, debat publik, dan menghasilkan anggaran yang berpihak pada rakyat. Selain itu, diperlukan penguatan kapasitas dan sumber daya pendukung bagi DPR dan DPD agar dapat setara dengan eksekutif dalam pembahasan anggaran sehingga mampu menjadi lembaga legislatif pembentuk anggaran (budget making).

Penulis: Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM.

Abstrak:
Pengaturan hukum mengenai pemberatan hukuman karena pengulangan tindak pidana (residivisme) yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) selama ini dipandang cukup rumit untuk diterapkan. RUU Hukum Pidana membawa perubahan terhadap konsep residivisme. Artikel ini bermaksud untuk mengkaji bagaimana konsep residivisme dalam doktrin, dalam pengaturannya saat ini, dalam draft RUU Hukum Pidana, serta mengkaji implikasi perubahan konsep tersebut bagi penegakan hukum pidana secara umum. Dalam pembahasan diketahui bahwa KUHP yang selama ini berlaku, menerapkan sistem residivis khusus dengan sistem antara, akan diubah menjadi sistem “Algemene Recidive” atau recidive umum, yang artinya sudah tidak lagi membedakan jenis tindak pidana atau kelompok jenis tindak pidana yang diulangi. RUU Hukum Pidana diantaranya mengatur bahwa jangka waktu seseorang dikenakan pemberatan akibat recidive ialah “5 (lima) tahun” setelah menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan atau pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan, atau pada waktu melakukan Tindak Pidana, kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan terdahulu belum kedaluwarsa (masih menjalani pidana). Beberapa implikasi dari perubahan tersebut antara lain bahwa konsep recidivis dalam draf RUU Hukum Pidana relatif lebih simpel dibandingkan dengan yang diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini. Oleh sebab itu konsep tersebut akan lebih memudahkan penegak hukum dalam penerapannya. Penerapan konsep residivis perlu diikuti dengan perubahan instrumen hukum acara pidana (RUU KUHAP) serta peraturan lain terkait prosedur teknis di masing-masing lembaga penegak hukum. Perubahan sistem residivis juga perlu diikuti dengan upaya pembenahan terhadap sistem pembinaan lembaga pemasyarakatan, agar tingkat residivisme tidak semakin tinggi.

Penulis: Luthvi Febryka Nola, S.H., M.Kn.

Abstrak:
Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU Kepailitan mengatur bahwa segala sita yang telah ditetapkan atas harta kekayaan debitor menjadi hapus semenjak putusan pailit diucapkan dan semenjak itu satu-satunya yang berlaku adalah sita umum. Akan tetapi pada praktiknya berbagai sita tetap ditetapkan atas harta pailit mulai dari sita perdata, pidana dan pajak. Tulisan ini membahas tentang bentuk-bentuk sita dalam proses kepailitan, kedudukan sita umum terhadap sita lainnya dalam kepailitan dan dampak dari kedudukan sita umum terhadap pembayaran utang kepada para kreditor. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder yang dikumpulkan melalui kegiatan studi perpustakaan maupun studi dokumen. Berbagai data tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Penulisan ini menemukan bahwa adanya aturan dalam UU lain seperti Pasal 39 ayat (2) KUHAP dan Pasal 6 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2000 telah mengesampingkan kedudukan sita umum. Ahli masing-masing bidang ilmu juga memiliki pandangan yang berbeda terkait kedudukan sita umum. Kondisi ini berdampak pada munculnya pergesekan antara penegak hukum, inkonsistensi putusan hakim, lamanya proses kepailitan, terjadi ketidakadilan, ketidakjelasan data harta pailit, berkurang bahkan hilangnya harta pailit. Oleh sebab itu, pemahaman penegak hukum tentang asas hukum terutama asas lex specialis derogate legi generalis perlu ditingkatkan. Penggunaan lembaga sita jaminan dalam proses kepailitan harus disosialisasikan untuk memaksimalkan penguasaan terhadap harta pailit. Supaya proses kepailitan tidak berlarut-larut, UU kepailitan harusnya membatasi jangka waktu penyelesaian aset kepada kurator.

Penulis: Yeni Rosdianti

Abstrak:
“Bekerja” memegang peranan penting dalam kehidupan umat manusia, tidak hanya dalam arti ekonomi namun juga bermakna pemuliaan martabat manusia. Bekerja, selain dapat menjamin penghidupan, juga merupakan alat pencapaian inklusi dan partisipasi setara dalam relasi sosial. Martabat manusia menjadi landasan prinsip kesetaraan untuk membentuk masyarakat inklusif dimana kelompok rentan secara penuh dihormati hak-haknya hingga dapat berpartisipasi secara maksimal di tengah-tengah masyarakat. Hak Asasi Manusia (HAM) memegang peranan penting dalam hal ini, khususnya terkait dengan pemajuan hak-hak penyandang disabilitas dalam kerangka prinsip-prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi. Konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas (Atau selanjutnya disebut CRPD) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2011, meletakkan dasar yang kokoh bagi perlindungan hak-hak penyandang disabilitas dalam penerapan kaidah-kaidah dasar HAM. Konvensi ini dianggap sebagai model disabilitas terkini yang mengacu pada pendekatan HAM. Terkait dengan hak atas pekerjaan khususnya untuk penyandang disabilitas, pasal 27 CRPD meletakkannya dalam rangka mencapai dunia kerja yang inklusif dan setara. Untuk itu, CRPD mendorong langkah-langkah positif (positive measures) sebagai sarana menyingkirkan hambatan struktural yang dihadapi oleh penyandang disabilitas selama ini.

Vol. 9 / No. 1 - Juni 2018

Penulis: Marfuatul Latifah, S.H.I., LL.M.

Abstrak:
Prosedur pencantuman identitas pada Consolidated United Nations Security Council Sanctions List of Suspected Terrorist Organizations and Individual yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sampai saat ini dianggap belum melindungi hak asasi manusia (HAM) bagi masyarakat internasional, khususnya prinsip untuk mendapatkan persidangan yang adil (fair trial). Hal tersebut karena tidak tersedianya pembelaan/klarifikasi dari objek yang akan dan/atau telah ditetapkan dalam daftar tersebut. PBB telah berupaya memperbaiki prosedur pencantuman identitas pada Consolidated United Nations Security Council Sanctions List of Suspected Terrorist Organizations and Individual dengan mengadopsi due process of law model dalam proses pencantuman identitas. Perubahan prosedur tersebut sampai saat ini masih belum cukup memberikan pelindungan HAM bagi individu yang menjadi subjek karena belum menerapkan due process of law secara utuh. Hal tersebut dibuktikan dengan masih belum adanya pihak peradilan yang berwenang, bebas, dan terbuka untuk memutuskan apakah sesorang patut dicantumkan identitasnya dalam daftar tersebut. Indonesia juga mengeluarkan Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris. Prosedur yang digunakan dalam mencantumkan identitas orang, organisasi, dan/atau korporasi dalam daftar tersebut telah berupaya menghadirkan pihak yudisial, namun prosedur pelibatan pihak yudisial hanya sebatas pemberi legalitas dari daftar melalui penetapan. Perlu dilakukan penyempurnaan prosedur bagi pencatuman identitas dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris untuk menyesuaikan dengan kesepakatan dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa sebuah organisasi terorisme dapat juga ditetapkan melalui putusan pengadilan agar pelindungan HAM bagi subjek yang telah/akan dicantumkan di daftar dapat terwujud.

Penulis: Puteri Hikmawati, S.H., M.H.

Abstrak:
Operasi tangkap tangan (OTT) merupakan salah satu upaya yang dilakukan dalam penanganan kasus korupsi. Sejak tahun 2005 sampai dengan 2017, KPK telah melakukan sebanyak 77 OTT. Selain KPK, Pemerintah membentuk Satuan Tugas Sapu Bersih Pungli (Satgas Saber Pungli) dengan Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2016, yang juga melakukan OTT berkaitan dengan pungutan liar. Namun, istilah OTT tidak terdapat dalam ketentuan hukum acara penanganan kasus korupsi. Ketentuan hukum acara hanya mengatur penangkapan dan tertangkap tangan. Oleh karena itu, permasalahan hukum dalam tulisan ini adalah apakah pelaksanaan OTT oleh KPK dan Satgas Saber Pungli telah sesuai dengan hukum acara pidana. Tulisan ini merupakan hasil penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam pembahasan diuraikan pelaksanaan OTT oleh KPK, yang didahului dengan penyadapan, sementara mekanisme dan prosedur penyadapan harus diatur dalam UU, sebagaimana amanat Putusan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan OTT yang dilakukan oleh Satgas Saber Pungli berdasarkan laporan dari masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian, OTT yang dilakukan oleh KPK dan Satgas Saber Pungli, dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan, tidak menyalahi hukum acara pidana. Namun, untuk harmonisasi, kewenangan penyadapan perlu diberikan kepada Kepolisian dan Kejaksaan yang menangani kasus korupsi, dan persyaratan tertangkap tangan dalam KUHAP harus dipertegas kriteria dan syaratnya, agar pelaksanaannya tidak tergantung pada penafsiran aparat.

Penulis: Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.

Abstrak:
Sebagai suatu karya kreativitas, produk ekonomi kreatif (ekraf) merupakan kekayaan intelektual yang perlu mendapat penghargaan sebagai suatu karya intelektual yang memiliki nilai ekonomi dan memperoleh pelindungan hukum. Penelitian ini menganalisis mengenai regulasi yang dibentuk Pemerintah dalam memberikan pelindungan terhadap hak kekayaan intelektual (HKI) terhadap produk ekraf dan penerapan regulasi tersebut di Kota Surakarta, Jawa Tengah dan Kota Denpasar, Bali. Melalui metode penelitian yuridis normatif dan empiris, data sekunder dan primer diolah dan dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menyebutkan, kebijakan pelindungan HKI terhadap produk ekraf telah dilakukan oleh pemerintah melalui peraturan perundang-undangan bidang HKI dan kebijakan daerah terkait pelindungan HKI untuk produk ekraf mengacu pada kebijakan tingkat nasional. Pelindungan preventif diberikan melalui UU berupa manfaat ekonomi bagi pelaku ekraf yang mendaftarkan HKInya. Namun, tingkat kesadaran masyarakat dan pemahaman pentingnya HKI, sifat komunal pelaku ekraf di Indonesia, dan sifat HKI yang harus didaftarkan untuk mendapat pelindungan hukum, menyebabkan pelindungan HKI untuk pelaku ekraf belum optimal. Pada tataran implementasi, kesadaran dan pemahaman pelaku ekraf atas kekayaan intelektualnya menjadi kunci keberhasilan pelindungan HKI yang dilakukan oleh pemerintah. Minimnya keberpihakan daerah berdampak pada belum optimalnya manfaat ekonomi yang diterima pelaku ekraf. Oleh karenanya pemerintah perlu menggiatkan sosialisasi HKI dan memfasilitasi pendaftaran HKI untuk pelaku ekraf. Dukungan kelembagaan dan regulasi pada tingkat daerah juga penting dilakukan untuk mengembangkan dan melindungi produk ekraf.

Penulis: Dian Cahyaningrum, S.H.. M.H.

Abstrak:
Saat ini banyak BUMD yang berkualitas rendah karena belum dikelola dengan baik. Salah satu hal yang mempengaruhi pengelolaan BUMD adalah bentuk hukumnya. Untuk itu kajian ini menganalisa implikasi dari bentuk hukum BUMD terhadap pengelolaannya. Berdasarkan hasil kajian ada dua bentuk hukum BUMD yaitu Perumda dan Perseroda. Bentuk hukum Perumda berorientasi pada pelayanan umum. Namun Perumda juga harus mencari keuntungan. Sedangkan bentuk hukum Perseroda berorientasi pada mencari keuntungan. Agar tujuan tersebut tercapai, Perumda dan Perseroda harus dikelola dengan baik sesuai dengan PP No. 54 Tahun 2017, selain juga harus didukung dengan SDM yang handal dan modal yang memadai. Organ Perumda dan Perseroda juga harus profesional dalam menjalankan tugasnya. Implikasi lain dari Perumda dan Perseroda adalah kepala daerah memiliki kewenangan yang besar dalam menentukan kebijakan Perumda dan Perseroda. Akibatnya visi, misi, dan itikad baik kepala daerah menentukan perkembangan Perumda dan Perseroda. Apabila kepala daerah memiliki visi, misi, dan itikad yang baik maka Perumda dan Perseroda dapat berkembang dengan baik. Namun jika sebaliknya, maka Perumda dan Perseroda akan sulit untuk berkembang. Agar Perumda dan Perseroda dapat dikelola dan berkembang dengan baik maka kepala daerah harus memiliki visi, misi, niat baik, dan keseriusan untuk mengembangkannya; organ dan pegawai Perumda dan Perseroda harus direkrut dengan benar sesuai PP No. 54 Tahun 2017; organ Perumda dan Perseroda juga harus memiliki kemandirian dan independensi dalam menjalankan tugasnya tanpa ada campur tangan dari siapa pun dan dalam bentuk apa pun yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penulis: Zaka Firma Aditya

Abstrak:
Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia telah diubah sebanyak 4 (empat) kali, namun masih mengandung permasalahan-permasalahan yuridis di dalamnya. Permasalahan yang paling sering terjadi berkaitan dengan tumpang tindihnya aturan-aturan yang ada. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai pedoman hierarki perundang-undangan yang dianggap dapat mengatasi masalah dalam undang-undang sebelumnya, namun juga mengalami masalah yang sama. Beberapa problematika yang ada dalam UU No. 12 Tahun 2011 berkaitan dengan dikembalikannya kedudukan ketetapan MPR, tidak tegasnya kedudukan peraturan menteri, kedudukan peraturan lembaga negara, dan peraturan desa, serta materi muatan peraturan presiden yang dianggap sama dengan peraturan pemerintah. Tulisan ini akan membahas mengenai (1) legal historis dan politik hukum hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia beserta permasalahan-permasalahannya; dan (2) rekonstruksi hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Adapun hasil penulisan ini bahwa pembentukan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia memiliki politik hukum masing-masing sesuai dengan rezim pemerintahan pada saat itu. Setiap hierarki memiliki problematikanya masing-masing, meskipun tujuan awalnya sama yaitu untuk menertibkan dan memperbaiki kerancuan dari peraturan sebelumnya, sehingga rekonstruksi hierarki peraturan perundang-undangan penting dilakukan agar menjamin konsistensi dan keselarasan norma-norma pada berbagai tingkatan peraturan perundang-undangan. Adapun rekonstruksi yang dimaksud adalah dengan menata kembali hierarki peraturan perundang-undangan dengan membedakannya antara peraturan perundang-undangan tingkat pusat dan tingkat daerah.

Penulis: Budi Suhariyanto

Abstrak:
Penanggulangan tindak pidana korporasi di Indonesia mengalami kendala akibat tidak jelasnya pengaturan penanganan tindak pidana korporasi. Dalam rangka mengatasi ketidaksempurnaan pengaturan tersebut, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No.13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi. Ada pertanyaan yang mengemuka yaitu apa saja kendala yang dihadapi Penegak Hukum dalam upaya menanggulangi tindak pidana korporasi dan bagaimana peran Perma Nomor 13 Tahun 2016 dalam mengatasi kendala penanggulangan tindak pidana korporasi tersebut? Metode penelitian hukum normatif digunakan untuk menjawab permasalahan tersebut. Secara normatif, dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur korporasi subjek tindak pidana, tidak dirumuskan detail tata cara penanganan korporasi sehingga penegak hukum mengalami kendala dalam melakukan proses pemidanaan terhadap korporasi. Pasal 79 Undang-Undang tentang Mahkamah Agung memberikan dasar hukum bahwa apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung memiliki wewenang membuat peraturan untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tersebut. Perma No. 13 Tahun 2016 dapat dijadikan pedoman bagi Penegak Hukum untuk mengatasi kendala teknis hukum acara pidana korporasi. Namun, Perma tersebut memiliki keterbatasan sehingga diperlukan pembaruan hukum acara pidana korporasi dalam RKUHAP.

← Sebelumnya 1 2 3 Selanjutnya →