Jurnal Kepakaran Negara Hukum

Vol. 8 / No. 2 - November 2017

Penulis: Novianto Murti Hantoro, S.H., M.H.

Abstrak:
Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pelaksanaan hak angket diatur dalam dua undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR (UU Angket) dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD). Melalui permohonan pengujian undang-undang, MK membatalkan keberlakuan UU Angket karena sudah tidak sesuai dengan sistem presidensial yang dianut dalam UUD 1945. Pelaksanaan hak angket saat ini hanya berdasarkan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Penggantian UU No. 27 Tahun 2009 menjadi UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ternyata tidak mengakomodasi beberapa substansi UU Angket yang telah dibatalkan. Berdasarkan hal tersebut, terdapat urgensi untuk membentuk Undang-Undang tentang Hak Angket DPR RI. Urgensi tersebut, selain sebagai tindak lanjut putusan MK, juga untuk menutup celah kekosongan hukum pada pengaturan saat ini dan untuk menghindari multi-interpretasi norma, misalnya terhadap subjek dan objek hak angket. Pengaturan mengenai hak angket perlu diatur di dalam undang-undang yang terpisah dari UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dengan materi muatan yang berisi tentang pengertian-pengertian, mekanisme, dan hukum acara. Pembentukan Undang-Undang tentang Hak Angket diperlukan guna memenuhi amanat Pasal 20A ayat (4) UUD 1945.

Penulis: Denico Doly, S.H., M.Kn.

Abstrak:
Penguasaan negara terhadap tanah merupakan amanat yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Negara diamanatkan untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan tanah yang didasari oleh semangat mensejahterakan masyarakat. Pembaruan agraria di bidang pertanahan merupakan salah satu bentuk perombakan atau penataan ulang terhadap pengelolaan dan pemanfaatan tanah. Penguasaan negara terhadap tanah dapat berupa pengaturan, pengelolaan, kebijakan, pengurusan, dan pengawasan. Bentuk penguasaan negara terhadap tanah ini perlu diatur secara khusus dalam sebuah undang-undang yang mengatur tentang pertanahan. Salah satu bentuk penguasaan negara yaitu dengan melakukan redistribusi tanah. Redistribusi tanah untuk rakyat dilakukan dengan mengidentifikasi Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) untuk kemudian dikelola sebagai bagian dari Reforma Agraria. Selain itu, dalam rangka mendukung program redistribusi tanah, pemerintah dapat melakukan moratorium penggunaan tanah untuk pembangunan yang berorientasi pada bisnis, membatasi kepemilikan dan penguasaan tanah, pengendalian harga tanah, dan mencabut hak atas tanah yang tidak dimanfaatkan.

Penulis: Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM.

Abstrak:
In 2017, Constitutional Court has received three calls for judicial reviews regarding treachery (makar) article in the Criminal Code. These articles deemed to be contradicting with the principle of legal certainty and freedom of expression. This study analyzes the important issue that is being debate in those judicial reviews. One of those is about the argument which says that the absence of the definition of treachery in the Criminal Code has caused a violation of legal certainty. Besides, the rule of treachery in the Criminal Code has also considered to have caused a violation of freedom of expression which has been guaranteed by Constitution. Analysis shows that the absence of treachery definition in the Criminal Code is not something that instantly becomes a problem in its application that causing the loss of legal certainty. Law enforcer, especially judge, in enforcing the rule of law must always use the method of law interpretation which appropriate with legal norm. With systematic interpretation, treachery can be interpreted according to the sentence of the rule as a unity of the legal system. In this case, the term treachery as regulated in Article 87 of the Criminal Code can be systematically interpreted as the basis for Article 104-Article 108 of the Criminal Code, Article 130 of the Criminal Code, and Article 140 of the Criminal Code which regulates various types of treason and their respective legal sanctions for the perpetrators. Further, on the argument that the articles of treachery in the Criminal Code also can not necessarily be said to limit the freedom of expression, because every citizen’s freedom has limitation, including the limitation of law and human rights.

Penulis: Luthvi Febryka Nola, S.H., M.Kn.

Abstrak:
Kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang merupakan salah satu mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat dipilih oleh para pihak dengan tujuan menyelesaikan masalah secara singkat murah dan transparan. Mekanisme kepailitan diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan). Namun dalam praktiknya UU Kepailitan memiliki banyak permasalahan terutama berkaitan dengan perlindungan konsumen. Tulisan ini akan membahas pengaturan kedudukan konsumen terkait kepailitan dan implementasinya. Penulis menemukan bahwa yang mengatur kedudukan konsumen dalam kepailitan tidak hanya UU Kepailitan akan tetapi juga KUHPerdata, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Pengaturan tersebut memiliki beberapa permasalah yaitu adanya ketidakjelasan dan ketidaksingkronan pengaturan serta pelanggaran asas peraturan perundang-undangan. Akibatnya dalam pelaksanaanya kedudukan konsumen menjadi sangat lemah. Konsumen kerap dikategorikan sebagai kreditor konkuren yang akan menerima ganti kerugian setelah kreditor separatis dan preferen. Sebaliknya, kedudukan kurator, pengurus, hakim pengawas sangat kuat sehingga memungkinkan terjadi penyimpangan seperti praktik mafia kepailitan yang merugikan konsumen. Berkaitan dengan budaya hukum, penegak hukum telah mengakui kedudukan konsumen sebagai kreditor dalam kepailitan hanya saja putusan hakim belum berpihak terhadap konsumen. Hal ini membuat masyarakat lebih memilih menyelesaikan sengketa melalui cara di luar kepailitan. Oleh sebab itu UU Kepailitan perlu mengatur kedudukan konsumen secara jelas; aturan tentang pengawasan juga perlu diperketat; dan sanksi yang tegas terhadap penegak hukum yang melanggar juga perlu diatur. Sedangkan UU lain perlu menyesuaikan aturan dengan UU Kepailitan supaya dapat dilaksanakan.

Penulis: Adi Haryono

Abstrak:
Berbagai skema PMA industri pertahanan di berbagai negara mengalami tahapan reformasi demi tercapainya revitalisasi industri dalam negeri maupun terciptanya industri yang berkesinambungan. Reformasi yang dilakukan meliputi peraturan penanaman modal dan tata kelola industri. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif tentang bidang usaha yang terbuka dan tertutup bagi PMA di industri pertahanan, dan bagaimana pemerintah membentuk Joint Venture (JV) yang berkesinambungan. Pemerintah telah mengatur tingkat partisipasi PMA di industri pertahanan berdasarkan tingkat nilai strategis suatu klaster industri pertahanan, melalui derajat pengendalian pihak asing di suatu perseroan pertahanan, dari sektor tertutup atau 0%, bersyarat di bawah BUMN hingga 49%, dan sektor terbuka hingga 100%. UU No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan mengatur bahwa Industri Alat Utama merupakan Industri yang tertutup bagi partisipasi asing, sementara UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengatur bahwa industri senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang tertutup bagi asing, sehingga harmonisasi peraturan diperlukan. Untuk membentuk JV yang berkesinambungan, perencanaan Pemerintah dan pengendalian JV memegang peranan penting. Penentuan sektor industri pertahanan yang berdaya saing dan ekonomis dilakukan oleh Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), termasuk penentuan BUMN dan Mitra PMA yang akan menjalankan organ perseroan JV. Pengendalian JV yang 51% sahamnya dimiliki oleh BUMN, akan dilakukan sesuai UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Penulis: Novianti, S.H., M.H.

Abstrak:
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan munculnya invensi-invensi baru, menyebabkan batasan ruang dan waktu semakin menipis. Dalam kaitannya dengan IPR, perkembangan tersebut menjadi tantangan untuk mewujudkan perlindungan HKI khususnya paten, baik dalam konteks nasional maupun internasional. Akan tetapi, persoalannya selama ini, sangat sulit melakukan penyeragaman pengaturan perlindungan paten antara satu negara dan negara-negara lainnya. Tiap-tiap negara menerapkan aturan pengelolaan dan pelindungan patennya sendiri dengan alasan bahwa paten merupakan suatu hak eksklusif yang diberikan oleh suatu negara dan karenanya segala hal yang terkait dengan pengelolaannya tidak bisa tidak menyentuh masalah kedaulatan suatu negara. Perkembangan global, terutama perkembangan iptek, memudahkan penyeragaman pengaturan paten secara internasional sekaligus memberikan pelindungan hukum terhadapnya. Hal itu tampak pada tersedianya suatu sistem yang terintegrasi, yang dapat diberlakukan secara seragam di semua negara yang meratifikasinya, yaitu Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulations Under the PCT. Masalah yang menjadi fokus tulisan ini adalah bagaimana pengaturan pelindungan paten melalui PCT dan bagaimana penerapan pelindungan paten melalui PCT. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pengaturan pelindungan paten melalui PCT terdapat dalam beberapa konvensi internasional, antara lain pengaturan Trip’s, PCT, dan WIPO. Dalam hukum nasional, PCT telah diratifikasi dengan Keppres No. 16 Tahun 1997 dan diatur dalam Pasal 33 UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten, yang menyatakan bahwa permohonan dapat diajukan berdasarkan Traktat Kerja Sama Paten. Dalam penerapannya, permohonan dan pelindungan paten melalui PCT belum menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan dan masih banyak ditemukan kendala.

Vol. 8 / No. 1 - Juni 2017

Penulis: Dian Cahyaningrum, S.H.. M.H.

Abstrak:
Persaingan yang cukup ketat di bidang perbankan di era global menghendaki adanya bentuk badan hukum yang sesuai untuk dapat menjalankan kegiatan usaha perbankan. Sehubungan dengan hal ini, bentuk badan hukum koperasi diragukan keandalannya untuk dapat menjalankan kegiatan usaha perbankan, seperti halnya perseroan terbatas (PT) sehingga muncul wacana untuk menutup peluang koperasi melakukan kegiatan usaha perbankan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perbankan. Melalui penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris dengan menggunakan data primer dan sekunder yang disajikan secara kualitatif dan dianalisis secara deskriptif dan preskriptif diperoleh hasil bentuk badan hukum koperasi perlu tetap dipertahankan dalam RUU Perbankan. Tidak diberinya peluang koperasi untuk menjalankan kegiatan usaha perbankan merupakan pelanggaran terhadap Pasal 33 ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga dapat diajukan judicial review. Tidak berkembangnya koperasi di bidang perbankan tidak berarti harus menghilangkan koperasi dalam RUU Perbankan melainkan harus diupayakan agar koperasi dapat berkembang dengan baik. Tidak berkembangnya koperasi di bidang perbankan tersebut disebabkan adanya permasalahan hukum yang dihadapi bank koperasi, di antaranya adanya dualisme pengaturan antara bidang perbankan dan koperasi. Permasalahan lainnya, koperasi diperlakukan seperti PT sehingga terjadi pelanggaran terhadap aturan dan prinsip-prinsip perkoperasian. Selain itu, juga tidak ada aturan area usaha bank sehingga bank koperasi yang modalnya kecil harus bersaing dengan bank-bank besar. Solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan melakukan terobosan hukum untuk merancang ulang peraturan perundang-undangan di bidang perkoperasian untuk dapat memisahkan bentuk badan hukum koperasi dan bidang usaha koperasi agar koperasi dapat berkembang dengan baik. Solusi lainnya perlu dibentuk undang-undang perbankan perkoperasian yang mengatur koperasi dalam menjalankan kegiatan usaha perbankan. Selain itu juga perlu ada aturan area usaha bank agar persaingan antar-bank dapat dilakukan secara sehat.

Penulis: Trias Palupi Kurnianingrum, S.H., M.H.

Abstrak:
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada dasarnya mempunyai nilai ekonomis. Dengan adanya perkembangan masyarakat global, HKI dapat dijadikan agunan untuk mendapatkan kredit perbankan secara internasional. Pengaturan materi baru terkait HKI sebagai objek jaminan kredit sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 16 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Pasal 108 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten secara tidak langsung menjadi landasan motivasi bagi para kreator, pencipta, inventor untuk lebih produktif dalam menciptakan karya-karya baru. Ini berarti juga menjadi dasar adanya pengakuan dan pelindungan bahwa negara menghargai karya mereka. Meskipun sudah dinyatakan tegas dalam peraturan perundang-undangan namun pemberlakuan tersebut masih mengalami kendala. Jangka waktu pelindungan HKI yang terbatas, belum adanya konsep yang jelas terkait due diligence, penilaian aset HKI, dan lembaga appraisal HKI di Indonesia, serta belum adanya dukungan yuridis baik dalam bentuk peraturan terkait aset HKI sebagai objek jaminan kredit perbankan maupun revisi mengenai Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 9/6/PBI/2007 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum terkait agunan kredit menjadi salah satu faktor utama mengapa pihak bank belum dapat menerima HKI sebagai objek jaminan kredit perbankan. Untuk mewujudkan konsep pembaharuan tersebut, diperlukan dukungan yuridis yang tegas dan detail terkait aset HKI sebagai objek jaminan kredit perbankan, sosialisasi secara menyeluruh, serta adanya lembaga appraisal HKI di Indonesia.

Penulis: Monika Suhayati, S.H., M.H.

Abstrak:
Penggunaan tenaga kerja asing (TKA) dan perizinannya di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan beserta peraturan pelaksanaannya. Perizinan penggunaan TKA merupakan salah satu perizinan yang dilakukan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Perizinan tersebut dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap proses Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing dan proses Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Tulisan ini hendak mempelajari urgensi perizinan TKA di PTSP, pengaturan perizinan TKA melalui PTSP, dan efektivitas pelaksanaan perizinan TKA melalui PTSP di daerah. Permasalahan dianalisa menggunakan asas legalitas, delegasi kewenangan, dan efektivitas penegakan hukum. Sebagai hasil dari kajian ini, urgensi perizinan TKA dilakukan di PTSP agar terciptanya penyederhanaan dan percepatan penyelesaian perizinan TKA yang akan meningkatkan investasi. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, penyelenggaraan PTSP oleh pemerintah daerah dilaksanakan oleh Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Provinsi atau Kabupaten/Kota berdasarkan pendelegasian wewenang dari gubernur atau bupati/walikota kepada Kepala BPMPTSP Provinsi atau Kabupaten/Kota. Dalam pelaksanaannya di beberapa daerah, terjadi permasalahan antara lain pengurusan penerbitan perpanjangan IMTA yang belum dilimpahkan ke PTSP Provinsi atau Kabupaten/Kota, belum semua Dinas Tenaga Kerja Provinsi atau Kabupaten/Kota menugaskan tenaga fungsional di PTSP Provinsi atau Kabupaten/Kota dengan mekanisme Bawah Kendali Operasi. Sebagai kesimpulan, perlu dilakukan revisi pengaturan kewenangan penerbitan IMTA perpanjangan di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, pembenahan koordinasi antarsektor terkait, peningkatan sosialisasi SPIPISE kepada masyarakat, penganggaran perbaikan sarana dan prasarana perizinan TKA di PTSP Provinsi atau Kabupaten/Kota, pembenahan dan peningkatan kinerja aparat penanaman modal.

Penulis: Inna Junaenah S.H., M.H.

Abstrak:
Peraturan perundang-undangan memberikan fungsi pembentukan peraturan daerah, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran, kepada DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ketiga fungsi tersebut memunculkan hak-hak secara kelembagaan maupun secara individu. Namun masih terjadi kesenjangan, yaitu ketiga fungsi secara kolektif dan kolegial tersebut belum diperkuat dengan ketentuan kewajiban yang tepat. Unsur kewajiban hanya dilekatkan kepada individu anggota, karena yang merepresentasikan rakyat pemilih adalah individu dan bukan kolektif. Meskipun demikian, ketentuan yang ada tidak dapat menjadikan anggota DPRD untuk meningkatkan kompetensinya supaya dapat memperkuat ketiga fungsi tersebut. Penelitian ini ingin mencari bagaimana rumusan model akuntabilitas anggota DPRD secara individu. Untuk memperoleh konsep tersebut, dilakukan perbandingan hukum mengenai praktik yang diterapkan di berbagai tempat sebagai cara memastikan fungsi-fungsi semacam city council terlaksana. Penelitian ini juga ingin menunjukkan bahwa upaya-upaya tersebut dapat diidentifikasi sebagai model akuntabilitas terhadap para councilor. Oleh karena itu, tujuan yang dikehendaki dari penelitian ini adalah terbangun konsep akuntabilitas anggota DPRD di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan pendekatan komparatif di Liverpool, Vancouver, dan Shah Alam. Adapun rekomendasi dalam penelitian ini berupa bahan perumusan ketentuan dalam suatu perubahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

Penulis: Muhammad Siddiq Armia Ph.D

Abstrak:
In the context of reviewing law through judiciary organ, the court plays significant role to review several regulation. This article specifically will discuss regarding the role of court on judicial review. This idea spreads out worldwide including in Indonesia. The Constitutional court and judicial review are two words which having inextricably meaning that attached to each other. On worldwide, the system of reviewing law by involving judges commonly has been practiced by several countries. There are two most significant state organs that plays role in the system, they are constitutional court and supreme court. Most countries do not have constitutional court and will deliver the authority of judicial review through supreme court. It has added more tasks, not only to adjudicate the common case, but also regarding constitutionality matter of an act against constitution. This model is commonly known as a centralized model, as practiced in the United State of America. In the Countries that owned a constitutional court, will certainly deliver the authority of judicial review through constitutional court. This model is commonly known as Kelsenian’s model. In this model, the constitutional court will merely focus on the constitutionality of regulations, and ensuring those regulations not in contradicting with the constitution. The Supreme Court in this model merely focus on handling common cases instead of regulations. Those two model of judicial review (through the constitutional court and the supreme court) has widely been implemented in the world legal systems, including in Indonesia. In the authoritarian regime, Indonesia implemented the centralized model, which positioned the Supreme Court as the single state organ to handle the common case and also judicial review. Having difficulties with the centralized model, after the constitution amendment in 2003, Indonesia has officially formed the constitutional court as the guardian of constitution. However, the Indonesian Constitutional Court (ICC) merely examine and/or review the statute that against the Indonesian’s Constitution year 1945, and related to the legislations products lower than the statute will remains the portion of the Supreme Court jurisdiction. Such modification is vulnerable resulting a judgement conflict between the ICC and the Supreme Court.

Penulis: Puteri Hikmawati, S.H., M.H.

Abstrak:
Penanganan korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum belum secara maksimal menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Padahal, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) telah mengatur korporasi sebagai subjek tindak pidana. Namun, sampai saat ini hanya beberapa korporasi yang dihukum sebagai terpidana korupsi, salah satunya kasus korupsi yang melibatkan PT Giri Jaladi Wana (PT GJW) dalam proyek pembangunan Pasar Sentra Antasari di Banjarmasin. Ada kendala dalam penerapan pertanggungjawaban korporasi, yang menjadi permasalahan dalam artikel ini. Data yang digunakan dalam penulisan artikel ini sebagian diperoleh dari hasil penelitian di Provinsi Sumatera Utara dan Jawa Timur. Dalam pembahasan, diuraikan ketidaklengkapan ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam UU Tipikor yang menimbulkan kendala dalam penerapannya. Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi dianggap dapat mengisi kekosongan hukum dalam menjerat korporasi sebagai subjek hukum pidana. Namun, kedudukan Peraturan Jaksa Agung dan Peraturan Mahkamah Agung tidak termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, hanya diakui keberadaannya, sehingga hanya mengikat ke dalam. Artikel ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam melakukan perubahan terhadap UU Tipikor, KUHP, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Penulis: Usman Pakaya S.S., M.A.

Abstrak:
Penelitian ini tentang penggunaan bahasa hukum dan aspek-aspek pembangun bahasa dalam teks hukum putusan perkara pidana. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teori pendukung di dalam menguraikan dan menganalisis persoalan putusan perkara pidana, di antaranya adalah bahasa hukum, struktur wacana, tindak tutur, pengistilahan, variasi bahasa, koherensi dan kohesi, serta karakteristik bahasa hukum. Sementara metodologi penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, metode ini digunakan untuk menemukan kebenaran ilmiah dari sebuah objek penelitian secara mendalam. Untuk sumber data penelitian, peneliti memperolehnya dari putusan perkara pidana PN Kota Gorontalo (kelas IB), PN Kabupaten Boalemo (kelas IIA), dan PN Kabupaten Pohuwato (kelas IIA). Pemilihan wilayah kota dan kabupaten dipertimbangkan untuk melihat keterwakilan sumber data berdasarkan pembagian kelas pada Pengadilan Negeri. Lebih lanjut penelitian ini bertujuan mengelaborasi bahasa hukum, struktur, tindak tutur, pengistilahan, gaya bahasa, serta koherensi dan kohesi putusan perkara pidana. Adapun hasil penelitian menunjukan bahwa surat putusan perkara pidana dibangun dari beberapa unsur pembangun bahasa, yaitu struktur wacana, tindak tutur, pengistilahan, variasi bahasa, koherensi dan kohesi, serta karakteristik khas.

Vol. 7 / No. 2 - November 2016

Penulis: Novianto Murti Hantoro, S.H., M.H.

Abstrak:
Negara memiliki alat-alat perlengkapan negara untuk menjalankan fungsi-fungsi guna mencapai tujuan negara. Alat perlengkapan negara tersebut adalah organ atau lembaga negara. Jabatan yang diduduki dalam lembaga negara tersebut merupakan jabatan negara. Di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang ini, klasifikasi jabatan dalam kelembagaan negara belum jelas. Masing-masing undang-undang memberikan istilah atau sebutan yang berbeda sesuai dengan kebutuhan undang-undang tersebut. Hal ini kemudian berimplikasi pada kategori pejabat negara. Kategori pejabat negara yang disebutkan dalam undang-undang saat ini perlu ditetapkan atau disusun ulang dengan menggunakan konsep tiga lapis organ negara, yaitu pejabat tinggi negara atau pejabat negara utama, pejabat negara, dan pejabat daerah.

Penulis: Novianti, S.H., M.H.

Abstrak:
Rencana aksesi Protokol Madrid oleh Pemerintah Indonesia, menuai berbagai sikap pro dan kontra. Sikap yang timbul di masyarakat disebabkan oleh kekhawatiran dampak negatif atas aksesi protokol tersebut, di antaranya terkait dengan peran konsultan HKI menjadi berkurang karena pemilik merek dapat langsung dengan mudah mendaftarkan mereknya ke beberapa negara yang tergolong dalam Protokol Madrid tersebut. Permasalahan dalam tulisan ini yakni mengenai implikasi aksesi terhadap Protokol Madrid bagi Indonesia. Adapun yang menjadi tujuan dalam tulisan ini adalah untuk mengetahui implikasi aksesi Protokol Madrid bagi Indonesia. Hasil dari kajian ini menunjukkan aksesi terhadap Protokol Madrid berimplikasi terhadap beberapa hal yakni penyesuaian Undang-Undang di bidang Merek melalui revisi UU Merek dan kesiapan sumber daya manusia di bidang merek. Selain itu, dalam melakukan aksesi terhadap Protokol Madrid juga harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugian sebagai implikasi dari aksesi Protokol tersebut.

Penulis: Dian Cahyaningrum, S.H.. M.H.

Abstrak:
Laku pandai merupakan program baru pemerintah untuk menyediakan akses layanan keuangan bagi masyarakat di seluruh pelosok tanah air. Sebagai program baru, maka yang menjadi permasalahan adalah bagaimana penyelenggaraan laku pandai dan apakah nasabah terlindungi dengan baik. Melalui penelitian yuridis empiris, dengan menggunakan pendekatan kualitatif diperoleh hasil bahwa laku pandai telah terselenggara dengan baik, namun masih terkendala dengan rendahnya sinyal internet dan ketersediaan listrik. Secara yuridis, nasabah juga mendapatkan pelindungan. Namun ada beberapa masalah terkait pelindungan nasabah yaitu kesadaran nasabah untuk menjaga kerahasiaan kode sandi, PIN, dan OTP rendah; nasabah ditarik biaya di luar ketentuan; biaya pulsa ponsel yang tinggi; dan belum ada aturan yang secara jelas mengatur kewajiban agen beserta sanksinya untuk menjaga rahasia data nasabah dan simpanannya. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, agar laku pandai terselenggara dengan baik, perlu ada upaya untuk menyediakan jaringan internet dan listrik di lokasi agen. Nasabah perlu diberikan kesadaran tentang pentingnya menjaga kerahasiaan kode sandi, PIN, dan OTP. Bank penyelenggara juga seharusnya mengawasi dan menegur agennya yang melakukan pelanggaran. Oleh karena itu, perlu dibentuk aturan yang jelas beserta sanksinya mengenai kewajiban agen untuk menjaga kerahasiaan data nasabah dan simpanannya.

Penulis: Monika Suhayati, S.H., M.H.

Abstrak:
Legalitas usaha mikro dan kecil (UMK) melalui perizinan sangat penting bagi UMK untuk dapat mengakses permodalan dalam mengembangkan usahanya dan bersaing dengan produk barang dan jasa dari dalam dan luar negeri. Perizinan untuk UMK diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2014 tentang Perizinan untuk Usaha Mikro dan Kecil yang merupakan suatu bentuk penyederhanaan perizinan UMK. Pokok permasalahan yang hendak dianalisis dalam tulisan ini yaitu urgensi dari penyederhanaan perizinan usaha bagi pengembangan usaha pelaku UMK serta pelaksanaan perizinan UMK di Provinsi DIY dan kendalanya. Permasalahan ini akan dianalisis menggunakan konsep Demokrasi Ekonomi (Pasal 33 UUD Tahun 1945) dan konsep Negara Hukum Kesejahteraan. Di Provinsi DIY, Perpres IUMK baru dilaksanakan di Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta. Kendala dalam pelaksanaannya yaitu belum semua kabupaten mendelegasikan kewenangan pemberian IUMK kepada camat sebagaimana mandat Perpres IUMK, adanya kewajiban pembayaran pajak oleh UMK yang telah memiliki IUMK sebesar 1% dari omset, dan pembiayaan penerbitan IUMK di kecamatan belum teranggarkan di APBD masing-masing kabupaten/kota. Sebagai saran dari kajian ini, pertama, Pemerintah Provinsi DIY perlu melakukan sosialisasi mengenai IUMK kepada pemerintah kabupaten dan kota yang belum mengeluarkan peraturan bupati/walikota. Kedua, pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi DIY perlu menganggarkan pembiayaan penerbitan IUMK di kecamatan dalam APBD masing-masing kabupaten dan kota. Ketiga, perlu sosialisasi pentingnya pembayaran PPh untuk pengembangan usaha UMK oleh pihak aparatur pajak.

Vol. 7 / No. 1 - Juni 2016

Penulis: Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.

Abstrak:
Dalam struktur perekonomian Indonesia UMKM memiliki potensi yang besar dan strategis. Namun, keterbatasan lembaga pembiayaan (availability), akses kepada lembaga pembiayaan (accesibility), dan kemampuan mengakses pembiayaan (ability) menjadi kendala bagi UMKM dalam mengembangkan usahanya. Keterbatasan tersebut lebih dikarenakan ketidakmampuan UMKM dalam menyediakan agunan dan tidak adanya administrasi yang baik terkait usahanya sehingga dinilai tidak bankable. UU No. 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan menjadi jembatan bagi UMKM yang prospektif dan feasible untuk memperoleh penjaminan kredit melalui lembaga penjamin. Tulisan ini menganalisis perjanjian penjaminan kredit antara UMKM dan lembaga penjamin dan penyelesaian sengketa antara para pihak dalam perjanjian penjaminan, yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. Hasil analisis mengungkapkan bahwa UU No. 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan berupaya memberikan kemudahan dan pelindungan kepada UMKM memperoleh jaminan kreditnya, tanpa mengabaikan pelindungan terhadap pihak penjamin dan penerima jaminan. UU No. 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan mengatur mekanisme penyelesaian sengketa melalui dua cara yaitu litigasi dan non-litigasi dengan mengutamakan penyelesaian sengketa melalui musyawarah mufakat sesuai dengan karakteristik UMKM yang memiliki keterbatasan dana, waktu, dan SDM.

Penulis: Trias Palupi Kurnianingrum, S.H., M.H.

Abstrak:
Pelindungan hukum atas indikasi geografis sangat penting dilakukan. Indikasi geografis merupakan suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Ciri dan kualitas barang yang dipelihara dan dapat dipertahankan dalam jangka waktu tertentu akan melahirkan reputasi atas barang tersebut, yang selanjutnya memungkinkan barang tersebut memiliki nilai ekonomi tinggi. Meskipun memiliki potensi ekonomi, sayangnya bentuk kesadaran masyarakat akan pentingnya pendaftaran indikasi geografis masih kurang. Perlu adanya kesadaran hukum bagi masyarakat dan juga peran dari pemerintah daerah untuk mendata produk-produk daerah mereka sebagai bagian bentuk pelindungan hak ekonomi atas indikasi geografis.

Penulis: Luthvi Febryka Nola, S.H., M.Kn.

Abstrak:
Berbagai produk perundang-undangan telah mengatur adanya pelindungan hukum bagi TKI mulai dari UUD 1945 sampai dengan Peraturan Daerah. Namun jumlah TKI bermasalah dalam satu dekade terakhir tidak menunjukkan angka penurunan yang berarti. Kondisi ini disebabkan begitu banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum terkait dengan pelindungan TKI baik dari hukum itu sendiri, sarana dan prasarana, maupun budaya. Permasalahan tersebut dapat diatasi apabila aparat penegak hukum dapat bekerja dengan baik. Untuk itu diperlukan adanya suatu sistem pelindungan secara terpadu dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan pelindungan TKI. Sistem pelindungan tersebut dilakukan melalui sistem pelayanan terpadu dan konsep pelindungan terpadu hendaknya dituangkan dalam revisi UU TKI yang saat ini sedang dilakukan pembahasan di DPR.

Penulis: Marfuatul Latifah, S.H.I., LL.M.

Abstrak:
Rencana revisi UU No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana terhambat oleh isu krusial yang belum dapat diselesaikan, yaitu keberadaan otoritas pusat. Kemenkumham ingin mempertahankan posisinya sebagai otoritas pusat, sedangkan Kejaksaan Agung merasa bahwa institusinya lebih cocok menjadi otoritas pusat. Tulisan mengkaji penunjukan otoritas pusat di beberapa negara Asia Pasifik dan menemukan bahwa setiap negara bebas menentukan pihak mana saja di dalam bagan organisasi negaranya yang akan ditunjuk untuk menjadi otoritas pusat dalam bantuan timbal balik pidana sesuai dengan sistem hukum yang berlaku di negaranya masing-masing, karena UNCAC dan UNTOC tidak menegaskan pihak mana yang harus ditunjuk untuk menjadi otoritas pusat dalam bantuan timbal balik pidana. Sebaiknya penunjukan otoritas pusat tetap pada Kemenkumham karena otoritas pusat merupakan entitas yang bersifat administratif dan Kemenkumham dapat tetap menjalankan fungsi tersebut karena bukan merupakan institusi yang bersinggungan langsung dengan penegakan hukum.

Penulis: Puteri Hikmawati, S.H., M.H.

Abstrak:
Pidana bersyarat yang diatur dalam KUHP kurang memberikan pelindungan kepada pelaku tindak pidana karena bukan merupakan jenis pidana tetapi cara menjalankan pidana. Oleh karena itu, RUU KUHP mengatur pidana pengawasan sebagai jenis sanksi pidana baru dalam pidana pokok. Pidana pengawasan merupakan pengganti pidana bersyarat dan alternatif pidana penjara. Artikel ini mengkaji pelaksanaan pidana bersyarat dan pengaturan pidana pengawasan dalam RUU KUHP dengan melihat pelaksanaan pidana pengawasan di beberapa negara, agar keadilan restoratif dapat terwujud. Pengaturan pidana pengawasan dalam RUU KUHP menyerupai sistem probation di Inggris, tetapi menekankan pengembalian kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana. Dalam penjatuhan pidana pengawasan perlu diperhatikan hak-hak korban dan dipersiapkan sumber daya manusia Balai Pemasyarakatan Kemenkumham sebagai lembaga pengawas dan hakim pengawas, serta sarana dan prasarana.

Penulis: Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM.

Abstrak:
Kajian ini menganalisa latar belakang pengaturan “hukum yang hidup di masyarakat” sebagai asas legalitas hukum pidana dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), serta mencari solusi penyelesaian masalah pro dan kontra pengaturan “hukum yang hidup di masyarakat” sebagai asas legalitas hukum pidana Indonesia. Kajian ini mengulas asas legalitas materil dengan cara mengkaji hakikat asas legalitas, dan juga melihat permasalahan dengan menggunakan paradigma hukum progresif dan pemikiran pluralisme hukum. Berdasarkan pembahasan, disimpulkan bahwa kebijakan legislatif nasional pasca kemerdekaan dan kesepakatan dalam seminarseminar nasional merupakan dasar pengaturan asas legalitas materil dalam RUU KUHP. Perumus RUU KUHP juga bermaksud menggantikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan kolonial Belanda dengan hukum pidana yang lebih sesuai dengan nilai-nilai ke-Indonesia-an. Persoalan pro kontra pengaturan “hukum yang hidup di masyarakat” dapat diselesaikan dengan cara membangun terlebih dahulu persamaan paradigma antar para legislator berkenaan dengan ruh dan semangat arah politik hukum pidana yang akan dituju. Semangat politik hukum pidana yang diinginkan haruslah jelas, sehingga dapat diterima sebagai keputusan politik bersama.

Penulis: Dr. Fadli Zon, S.S., M.Sc

Abstrak:
Pasal 33 UUD 1945 dimaksudkan oleh perumusnya sebagai ideologi ekonomi Indonesia. Di dalam pasal tersebut terkandung gagasan mengenai kedaulatan ekonomi untuk melengkapi kemerdekaan politik Indonesia. Sebagai rumusan yang mengandung gagasan ideologis, Pasal 33 seharusnya dipahami dengan perangkat pemikiran yang komprehensif, sejalan dengan multidisiplin-pemikiran yang telah melatarbelakangi penyusunannya. Sejumlah ekonom yang terlibat dalam proses perubahan Pasal 33 UUD 1945 gagal memahami posisi dan kedudukan pasal tersebut. Artikel ini merupakan tinjauan sejarah hukum atas kedudukan Pasal 33 UUD 1945 di dalam konstitusi dan alam pikir keindonesiaan.

Penulis: Harris Yonatan Parmahan Sibuea, S.H., M.Kn.

Abstrak:
Rentetan peristiwa kematian akibat penyalahgunaan minuman beralkohol sampai saat ini masih sering terjadi. Indonesia sebagai negara hukum dalam konstitusinya telah menjamin bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dua hal yang bertolak belakang tersebut menggambarkan efektifitas hukum belum maksimal diterapkan dalam peraturan perundang-undangan berkaitan dengan pengendalian minuman beralkohol. Kajian ini bermaksud untuk membahas mengenai permasalahan bagaimana pengaturan minuman beralkohol di Indonesia serta bagaimana penegakan hukum pengaturan minuman beralkohol di Indonesia. Masalah ini menjadi penting untuk dikaji mengingat sampai sekarang pengaturan mengenai minuman beralkohol masih tersebar secara sektoral di berbagai peraturan perundang-undangan. RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol diharapkan dapat mengakomodir semua permasalahan hukum mulai dari pengendalian minuman beralkohol sampai pada batasan konsumsi minuman beralkohol. Penegakan hukum pengaturan minuman beralkohol belum optimal terealisasi di Indonesia. Hal ini disebabkan beberapa faktor efektivitas hukum belum terpenuhi secara maksimal.

Vol. 6 / No. 2 - November 2015

Penulis: Novianto Murti Hantoro, S.H., M.H.

Abstrak:
Salah satu persoalan krusial dalam pembahasan Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yaitu lembaga yang berwenang memutus perselisihan terhadap hasil penghitungan suara. Selama ini Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) pernah melaksanakan kewenangan tersebut, namun pada prakteknya banyak terjadi permasalahan yang berujung pada ketidakpastian hukum dan maraknya praktek hukum liberal. Tulisan ini tidak menganalisis masalah kelembagaan, namun bagaimana mewujudkan kepastian hukum dan menghentikan praktek hukum liberal dalam penyelesaian perselisihan hasil penghitungan suara. Sebagai kerangka pemikiran dikemukakan adanya tiga tujuan hukum, yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan, yang apabila terjadi ketegangan perlu ada prioritas. Kerangka berpikir berikutnya adanya fenomena hukum liberal berdasarkan pemikiran Satjipto Rahardjo yang menyatakan hukum menjadi permainan dan bisnis. Kerangka pemikiran berikutnya mengenai perselisihan hasil penghitungan suara. Dengan memperhatikan putusan-putusan pengadilan selama ini, maka untuk mendapatkan kepastian hukum perlu ada pembatasan tegas bahwa objek perselisihan adalah hasil penghitungan suara bukan proses pemilihan. Implementasi pembatasan ini harus ditaati oleh peserta, advokat, dan hakim. Pembatasan ini juga perlu diimbangi dengan perbaikan proses pemilihan sedemokratis mungkin dan semua permasalahan hukum tuntas di setiap tahapan. Dengan penataan seperti itu, kepastian hukum akan tercapai dan maraknya praktek hukum liberal akan dapat dihentikan. Proses pengadilan menjadi lebih sederhana, efektif, dan murah.

Penulis: Andy Wiyanto

Abstrak:
Perubahan UUD 1945 membawa pergeseran paradigma hubungan antar-lembaga negara. Pembagian kekuasaan membentuk undang-undang setelah perubahan UUD 1945 mengalami perubahan secara signifikan. Namun pergeseran kekuasaan tersebut, bukan berarti tanpa kelemahan konseptual. Pendulum kekuasaan yang tadinya dominan eksekutif, kini menjadi dominan DPR. Gagasan untuk membatasi kekuasaan Presiden, ternyata teraplikasikan dalam sebuah norma. Selain karena Presiden masih memiliki kekuasaan yang cukup besar dalam membentuk undang-undang, sementara kekuasaan membentuk undang-undang yang dimiliki DPD tidak terlalu besar. Secara konseptual, kekuasaan membentuk undang-undang dalam sistem pemerintahan presidensial harus ditempatkan sebagai kekuasaan yang dimiliki legislatif. Sehingga terdapat pembagian kekuasaan yang seimbang dalam lembaga legislatif, yaitu antara DPR dan DPD. Sedangkan kedudukan Presiden dalam kekuasaan membentuk undang-undang harus ditempatkan sebagai pengejawantahan atas prinsip checks and balances. Oleh karena itu, pembagian kekuasaan dalam pembentukan undang-undang masih perlu disempurnakan. Tulisan ini berusaha untuk menjawab tantangan tesebut dan berupaya menggagas format yang lebih baik lagi ke depan.

Penulis: Denico Doly, S.H., M.Kn.

Abstrak:
KPI sebagai lembaga negara independen yang diatur dalam UU Penyiaran dinilai belum dapat melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya secara maksimal. Hal ini dikarenakan berbagai permasalahan yang ada dalam tubuh KPI. Kelembagaan dan peraturan pelaksana undang-undang merupakan permasalahan utama bagi KPI dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya. Upaya penguatan kelembagaan KPI perlu dilakukan dengan melakukan pembenahan dalam tubuh KPI. Adapun pembenahan ini dilakukan dengan mempertegas kelembagaan KPI, merubah struktur kelembagaan KPI, dan memberi perangkat hukum yang dapat menunjang kinerja KPI.

Penulis: Dr. Inosentius Samsul

Abstrak:
Penelitian tentang penegakan hukum perlindungan konsumen melalui penyelenggaraan metrologi legal dalam era desentraliasi didasarkan pada pemikiran bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal merupakan produk hukum pada pemerintahan yang bersifat sentralistik. Setelah memasuki era desentralisasi yang dimulai pada tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 maka jelas sistem penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut kewenangan pemerintah pusat dan daerah berbeda. Penelitian ini juga penting ini penting sebab baik pada era sentralistik maupun desentralistik tetap berkaitan dengan kepentingan perlindungan konsumen. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal tetap memiliki aspek perlindungan konsumen baik pada era sentralistik, maupun desentralistik. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk menjawab dua pertanyaan, yaitu pertama bagaimana penyelenggaraan metrologi legal sebagai bentuk perlindungan konsumen oleh Pemerintah Daerah? Kedua, faktor-faktor apa saja yang berkontribusi dalam penegakan hukum metrologi legal? Penelitian ini adalah penelitian sosio-legal. Penelitian ini sampai pada temuan, yaitu bahwa penyelenggaraan oleh pemerintah daerah berbeda-beda, dengan kewenangan yang tidak sama antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, sebab urusan metrologi legal adalah urusan pilihan. Kedua, ada faktor hukum dan non-hukum sebagai penghambat bagi pelaksanaan urusan metrologi legal, yaitu faktor norma, faktor penegak hukum/SDM, faktor sarana dan prasarana, serta faktor masyarakat dan budaya hukum. Disarankan agar penyelenggaraan metrologi legal menjadi urusan wajib yang diletakan di kabupaten/kota. Hal tersebut disamping dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah, perlu juga ditetapkan dalam Undang-Undang tentang Metrologi Legal yang baru.

Penulis: Hanafi Amrani

Abstrak:
Artikel ini bertujuan menganalisis perlindungan konsumen terhadap praktik bisnis curang dan problematika penegakan hukumnya melalui sarana hukum pidana. Tiga kategori praktik bisnis curang yang rentan terhadap pelanggaran hak-hak konsumen yang dibahas dalam artikel ini adalah produk makanan dan obat-obatan yang berbahaya bagi kesehatan, pemberian keterangan yang tidak benar terhadap suatu produk barang atau jasa, dan iklan yang menyesatkan. Praktik bisnis curang yang masuk ke dalam ketiga kategori tersebut dalam praktiknya terjadi perbedaan sudut pandang, apakah tergolong ‘business tort’ ataukah sudah masuk ke dalam kategori ‘business crime’ sehingga kebijakan untuk melakukan kriminalisasi dapat dilakukan. Di samping itu juga ada perbedaan sudut pandang terkait dengan apakah suatu perbuatan masih dalam kategori legal atau paling tidak unethical ataukah sudah masuk ke dalam kategori illegal yang harus dikenakan sanksi pidana. Hukum pidana sebagai salah satu sarana dalam memberikan perlindungan konsumen terhadap praktik bisnis curang nampaknya masih menghadapi berbagai kendala. Kendala tersebut tentu saja menimbulkan problematika dalam penegakan hukumnya. Masalah-masalah yang diidentifikasi dapat mempengaruhi terhadap penegakan hukum ini meliputi masalah perundang-undangan, masalah pembuktian, masalah sarana atau fasilitas yang tidak memadai, masalah profesionalisme aparat penegak hukum, masalah sikap mental aparat dan Pelaku Usaha, dan yang tidak kalah penting adalah ‘political will’ dari pemerintah terkait dengan perlindungan konsumen.

Vol. 6 / No. 1 - Juni 2015

Penulis: Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM.

Abstrak:
Kasus kekerasan seksual semakin marak akhir-akhir ini, data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual di Indonesia meningkat terus setiap tahunnya. Hal ini membuktikan masih lemahnya perlindungan hukum dalam kasus-kasus kekerasan seksual di Indonesia. Peraturan hukum terkait kekerasan seksual sebenarnya sudah ada, namun secara substansi ternyata masih memiliki banyak kekurangan sehingga dianggap belum bisa menanggulangi kekerasan seksual selama ini. Dalam kajian ini penulis bermaksud untuk menganalisis persoalan bagaimana seharusnya pemerintah mengambil langkah-langkah kebijakan dalam menanggulangi kekerasan seksual di Indonesia. Dalam pembahasan dipahami bahwa selama ini pemerintah memang telah melakukan berbagai upaya dalam menanggulangi kekerasan seksual, baik secara penal maupun non penal, namun dalam kenyataannya masih belum efektif. Oleh sebab itu, di masa yang akan datang diperlukan peningkatan terhadap langkah dan kebijakan pemerintah. Di antaranya bahwa pemerintah perlu melakukan kebijakan kriminalisasi terhadap bentuk-bentuk baru kekerasan seksual baik melalui Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau dalam Rancangan Undang-Undang Kekerasan Seksual. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan upaya non-penal melalui kegiatan seperti penyantunan dan pendidikan sosial, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral dan agama. pengawasan oleh polisi dan aparat keamanan di tempat-tempat yang rawan kejahatan seksual seperti dipabrik dan sekolahan.

Penulis: Marfuatul Latifah, S.H.I., LL.M.

Abstrak:
Tindak pidana dengan motif ekonomi di Indonesia semakin kompleks baik dalam jenis maupun upaya penyelesaiannya. Upaya pemerintah Indonesia untuk melakukan perampasan aset hasil tindak pidana dengan motif ekonomi kerap menemui kendala sehingga upaya perampasan aset hasil tindak pidana sering kali tidak berjalan dengan efektif. Tulisan ini bermaksud mengkaji mengenai praktek perampasan aset hasil tindak pidana di Indonesia dan urgensi pembentukan undang-undang tentang perampasan aset di Indonesia. Dalam kajian ditemukan bahwa dalam sistem hukum Indonesia perampasan aset dilakukan dengan 2 metode yaitu metode pidana dan metode perdata. Ketentuan akan perampasan aset di Indonesia baik secara pidana maupun perdata telah dituangkan dalam beberapa peraturan hukum seperti KUHP, KUHAP, dan Undang-Undang Tipikor. Namun ketentuan yang ada ternyata belum dapat menjadi landasan agar upaya perampasan aset menjadi efektif. Hal inilah yang menjadi landasan mengapa Indonesia membutuhkan Undang-Undang tentang Perampasan Aset. Selain ketentuan yang belum memadai, urgensi Undang-Undang tentang Perampasan Aset juga dapat dilihat dari posisi Indonesia sebagai negara peratifikasi UNCAC. UNCAC telah mengatur mengenai mekanisme yang dianggap lebih efektif dalam upaya perampasan aset, yaitu perampasan aset tanpa pemidanaan. Dengan menjadi negara peratifikasi maka Indonesia harus melakukan penyesuaian ketentuan yang berlaku di dalam sistem hukumnya dengan UNCAC.

Penulis: Puteri Hikmawati, S.H., M.H.

Abstrak:
Untuk mencegah masuk dan tersebarnya hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, serta organisme pengganggu tumbuhan yang dapat mengganggu dan membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan, dilakukan tindakan karantina. Tindakan karantina dilakukan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan tumbuhan. Selama ini penerapan sanksi terhadap pelanggaran ketentuan Undang-Undang tersebut dianggap belum efektif. Artikel ini menganalisis penerapan sanksi terhadap pelanggaran ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992, yang meliputi sanksi pidana dan sanksi tindakan. Hasil analisis menunjukkan bahwa penerapan sanksi pidana belum efektif karena norma hukum dalam ketentuan pidana tidak jelas subyeknya, sehingga dapat menyulitkan penegakan hukumnya. Selain itu, sanksi tindakan diberikan terhadap pelanggaran ketentuan karantina dengan tindakan karantina, yang antara lain berupa penolakan dan pemusnahan. Namun, tindakan karantina menemui kendala dengan terbatasnya petugas karantina di tempat pemasukan dan pengeluaran, sarana prasarana yang kurang memadai, dan kurangnya pemahaman masyarakat akan pentingnya tindakan karantina.

Penulis: Harris Yonatan Parmahan Sibuea, S.H., M.Kn.

Abstrak:
Tingkat peredaran gelap narkotika di Indonesia sampai saat ini tidak menunjukkan penurunan yang signifikan. Pemerintah Indonesia masih fokus pada aspek pemberantasan narkotika dan belum secara maksimal menyentuh pada aspek pencegahan narkotika. Tulisan ini menggambarkan beberapa faktor yang menyebabkan tingginya tingkat peredaran gelap narkotika di Indonesia seperti kedudukan pengguna narkotika yang disamakan dengan pelaku kejahatan dan fasilitas rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika yang tidak memadai. Konsep sistem hukum yang mempunyai 3 unsur yaitu substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum menjadi dasar untuk menganalisis permasalahan dalam tulisan ini. Indonesia dapat bebas dari peredaran gelap narkotika dengan memperbaiki sistem hukum yaitu perbaikan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, perbaikan koordinasi instansi penegak hukum yang berkaitan dengan narkotika dan masyarakat yang mendukung penegakan hukum yang berkaitan dengan narkotika.

Penulis: Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.

Abstrak:
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mewajibkan semua Unit Usaha Syariah melakukan pemisahan dari bank induknya menjadi Bank Umum Syariah pada tahun 2023. Kewajiban tersebut merupakan bentuk upaya penguatan dan pengembangan operasionalisasi perbankan syariah di Indonesia. Salah satu Unit Usaha Syariah yang berkomitmen untuk melaksanakan spin-off lebih cepat adalah Unit Usaha Syariah PT Bank Aceh dan telah mendapat dukungan kuat Pemerintah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh melalui Qanun Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Pembentukan Bank Aceh Syariah. Tulisan ini mengangkat permasalahan utama bagaimana peran Undang-Undang Perbankan Syariah dalam upaya meningkatkan pengembangan perbankan syariah dengan menganalisis beberapa pertanyaan yaitu: bagaimana Ketentuan Peralihan Undang-Undang Perbankan Syariah mengatur spin-off Unit Usaha Syariah menjadi Bank Umum Syariah dan bagaimana pengembangan Unit Usaha Syariah PT Bank Aceh berdasarkan Undang-Undang Perbankan Syariah. Hasil analisis menunjukan bahwa kebijakan pemberian izin pendirian Unit Usaha Syariah oleh bank umum konvensional bersifat sementara dan wajib spin-off 2023 dapat menjadi mendorong praktik perbankan syariah yang mengedepankan prinsip syariah tanpa terintervensi kebijakan bank konvensional induknya, fleksibel dalam pengambilan keputusan bisnis, dan mampu berkompetisi dengan bank konvensional. Namun, beberapa permasalahan yang dihadapi Unit Usaha Syariah untuk dapat melaksanakan spin-off sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, dapat menghambat implementasi spin-off. Perlu komitmen kuat dan persiapan matang oleh para pemangku kepentingan, baik pelaku usaha perbankan maupun pemerintah.

Penulis: Dian Cahyaningrum, S.H.. M.H.

Abstrak:
Meningkatnya kepemilikan asing atas saham bank yang saat ini meresahkan disebabkan peraturan perundang-undangan sektor perbankan membuka kesempatan bagi asing untuk memiliki saham bank hingga mencapai 99%. Dibukanya kesempatan ini dimaksudkan untuk memperluas kepemilikan saham bank dan mempermudah bank untuk meningkatkan struktur permodalan. Pengaturan ini menimbulkan implikasi positif, yaitu terciptanya Good Corporate Governance dan meningkatnya kinerja bank. Namun pengaturan tersebut juga dikhawatirkan dapat menimbulkan implikasi negatif yaitu bank dikendalikan oleh asing; terdesaknya pangsa pasar bank yang dimiliki Warna Negara Indonesia dan/atau Badan Hukum Indonesia; bank cenderung memberikan kredit konsumtif; penghasilan dan keuntungan bank disimpan di luar negeri; dan tingginya risiko pelarian modal ke luar negeri jika terjadi krisis. Sehubungan dengan implikasi positif dan negatif tersebut, perlu ada pengkajian yang mendalam mengenai perlu atau tidaknya pembatasan kepemilikan asing atas saham bank dalam Undang-Undang.

Penulis: Trias Palupi Kurnianingrum, S.H., M.H.

Abstrak:
Perkembangan ekonomi kreatif yang menjadi salah satu andalan Indonesia dan berbagai negara, serta berkembang pesatnya teknologi informasi dan komunikasi telah mengharuskan adanya pembaruan UU Hak Cipta. Hal ini, dikarenakan UU tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi kekinian. Kajian ini bermaksud untuk membahas mengenai permasalahan apa sajakah yang menjadi dasar adanya penggantian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta serta materi-materi baru apa sajakah yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Masalah ini menjadi penting untuk dikaji mengingat hak cipta telah menjadi basis terpenting dari bagian industri ekonomi kreatif nasional, sehingga dengan adanya penggantian Undang-Undang Hak Cipta ini diharapkan dapat lebih memenuhi unsur perlindungan dan pengembangan terhadap ekonomi kreatif. Dalam pembahasan dikatakan bahwa materi baru yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dinilai merupakan suatu pembaharuan hukum khususnya untuk memberikan perlindungan maksimal baik hak ekonomi maupun hak moral terhadap pencipta dan pemilik hak terkait, namun perlu adanya pengaturan pelaksana lebih lanjut supaya perlindungan dan kepastian hukum dapat diimplementasikan dengan baik. Jaminan kepastian hukum melalui UU Hak Cipta 2014 diharapkan dapat mendukung peningkatan investasi di dalam negeri dan prospek perdagangan produk Indonesia di tingkat internasional.

Vol. 5 / No. 2 - November 2014

Penulis: Novianto Murti Hantoro, S.H., M.H.

Abstrak:
Pada pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014 terjadi banyak pelanggaran administrasi dan sengketa tata usaha negara. Bawaslu mencatat 7478 dugaan pelanggaran dan 63,26% di antaranya adalah pelanggaran administrasi. Tulisan ini menganalisis pelanggaran administrasi pemilu dan sengketa tata usaha negara pemilu dari perspektif hukum administrasi negara. Berdasarkan hasil analisis, pendefinisian mengenai pelanggaran administrasi dan sengketa tata usaha negara dalam undang-undang belum sesuai dengan konsep hukum administrasi. Untuk itu ke depan perlu dilakukan perubahan terhadap undang-undang pemilu.

Penulis: Dr. Inosentius Samsul

Abstrak:
Ketika lembaga negara yang formal mengalami krisis kepercayaan masyarakat dalam menyelesaikan sengketa dalam masyarakat, muncul permintaan untuk memperkuat peran lembaga adat sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa. Permasalahan yang menjadi fokus dari penelitian ini pertama, bagaimana pengaturan mengenai pengakuan terhadap lembaga adat dalam hukum positif saat ini? Kedua, bagaimana kewenangan lembaga adat dalam menyelesaikan sengketa? Ketiga, upaya apa yang dilakukan oleh masing-masing daerah untuk memperkuat peran lembaga adat. Penelitian ini merupakan penelitian sosio-yuridis, karena di samping bersifat normatif juga menjelaskan aspek non-yuridis mengenai peran lembaga adat dalam penyelesaian sengketa. Secara teoritis penelitian ini merupakan penelitian mengenai aspek kelembagaan hukum serta penegakan hukum di dua daerah, yaitu Provinsi Papua dan Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa pengaturan mengenai pengakuan terhadap lembaga adat masih bersifat menyebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik dari konstitusi maupun dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Penyelesaian mengedepankan muyawarah merupakan salah satu yang positif dari mekanisme penyelesaian sengketa melalui lembaga adat. Provinsi Papua dan Kabupaten Muara Enim memperkuat lembaga adat dengan mengeluarkan peraturan daerah. Penulis merekomendasikan perlunya pengaturan dalam Undang-Undang tersendiri yang disusun secara sistematis dan komprehensif mengenai lembaga adat yang mengatur mengenai perannya sebagai lembaga alternative penyelesaian sengketa.

Penulis: Shanti Dwi Kartika, S.H., M.Kn.

Abstrak:
Indonesia dengan kondisi geografis dan potensi sumber daya alamnya diakui sebagai negara kepulauan dan negara maritim. Ini juga menempatkan Indonesia sebagai centre of gravity and the global supply chain system. Kondisi ini menyebabkan Indonesia mengalami ancaman, gangguan, dan kendala yang berimplikasi pada keamanan maritim negara. Kedudukan ini harus didukung dengan sistem pertahanan dan keamanan yang tangguh dan mengubah pola pembangunan nasional yang tidak hanya berorientasi pada matra darat tetapi juga berorientasi pada matra laut. Untuk itu, telah ditetapkan beberapa kebijakan dan regulasi, namun sampai saat ini regulasi tersebut masih bersifat sektoral sehingga timbul disharmoni dan tumpang tindih peraturan dan kewenangan dalam keamanan laut. Ini juga berlaku bagi sistem penegakan hukum dan kedaulatan negara di laut yang dipengaruhi oleh peraturan perundang-undangan tersebut. Atas dasar itu, maka keamanan maritim dari aspek regulasi dan penegakan hukum perlu dilakukan harmonisasi sistem hukum dan peraturan perundang-undangan, segera menyelesaikan dan menentukan batas wilayah negara baik di darat, laut, dan udara, serta menunjuk TNI AL yang paling bertanggung jawab terhadap keamanan maritim dan berfungsi sebagai penanggung jawab sektor.

Penulis: Dyah Adriantini Shinta Dewi

Abstrak:
Pelayanan pubik yang baik merupakan hak dan dambaan bagi setiap warga negara, terutama dalam konsep welfare state yang mengutamakan terwujudnya kesejahteraan masyarakat, namun saat ini masih banyak terjadi maladministrasi yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Untuk itu perlu dianalisa bagaimana mewujudkan pelayanan publik yang baik sebagai sarana mewujudkan good governance. Paling tidak ada 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi untuk terwujudnya pelayanan publik yang baik, yaitu 1) keterbukaan, 2) pengawasan, 3) keadilan. Keterbukaan diperlukan agar masyarakat mengetahui rencana kerja pemerintah dan melakukan pengawasan agar tidak terjadi penyimpangan. Sementara itu, untuk mewujudkan keadilan, maka proses pembuatan peraturan atau kebijakan harus dilakukan melalui tahapan: perumusan masalah, agenda kebijakan, pemilihan alternatif kebijakan, dan penetapan kebijakan sebagai sebuah sistem yang harus dipenuhi secara bersama. Perlu kerjasama antara pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkannya.

Penulis: Luthvi Febryka Nola, S.H., M.Kn.

Abstrak:
Keberadaan LPKSM di Indonesia sangatlah penting dan memiliki potensi untuk dikembangkan dalam rangka membantu pemerintah melindungi hak konsumen terutama terkait dengan hak untuk mendapatkan advokasi. Tulisan ini membahas bentuk advokasi hukum dan upaya yang dapat dilakukan untuk memperkuat advokasi hukum yang dilakukan oleh LPKSM. Penulis menemukan bahwa LPKSM telah secara aktif melakukan advokasi hukum dalam bentuk lobi berupa demonstrasi dan masukan terhadap perubahan kebijakan, memberikan pendidikan dan informasi peraturan perundang-undangan, upaya mencari solusi, pembelaan di pengadilan dan luar pengadilan serta mengikutsertakan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Namun kelemahannya adalah peraturan perundang-undangan tentang perlindungan konsumen tidak mengatur secara tegas advokasi hukum oleh LPKSM, sehingga terdapat potensi anarki, kurangnya media pendukung dan kebijakan pemerintah daerah yang kurang perduli dengan masalah perlindungan konsumen. Oleh sebab itu menurut penulis pengaturan kegiatan advokasi hukum LPKSM dalam UU Perlindungan Konsumen perlu dipertegas terutama menyangkut pengertian, jenis, bentuk kegiatan, sanksi dan penghargaan, pembiayaan, pembentukan asosiasi dan kode etik bagi LPKSM.

Penulis: Monika Suhayati, S.H., M.H.

Abstrak:
Indonesia memberikan pelindungan terhadap karya cipta melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). UU Hak Cipta mengatur mengenai hak cipta dan hak terkait. Hak terkait merupakan hak eksklusif bagi pelaku pertunjukan, produser fonogram, atau lembaga penyiaran. Dalam pelaksanaan undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 terdapat permasalahan berkaitan dengan pemilik hak terkait dimana pemilik hak terkait tidak mendapatkan manfaat ekonomi atau pendapatan sesuai dengan hak yang dimiliki sebagaimana diatur dalam undang-undang. Penyebabnya antara lain pengguna produk hak terkait enggan membayarkan royalti karena merasa ditagih oleh beberapa lembaga manajemen kolektif. Permasalahan ini akan dikaji menggunakan teori hukum progresif Satjipto Rahardjo yang antara lain menyatakan hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia. Dalam bagian pembahasan diberikan analisa pengaturan hak moral dan hak ekonomi pemilik hak terkait yang telah diatur lebih lengkap dalam UU Hak Cipta dibandingkan dalam undang-undang sebelumnya. UU Hak Cipta juga telah mengakomodasi ketentuan internasional mengenai hak eksklusif pemilik hak terkait. Dalam hal ini, UU Hak Cipta telah menjadi hukum yang progresif, khususnya bagi pemilik hak terkait. Sebagai saran disampaikan untuk mengefektifkan pelaksanaan UU Hak Cipta maka pelindungan yang telah diberikan dalam UU Hak Cipta harus diikuti dengan penegakan hukum secara konsisten oleh aparat penegak hukum sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang.

Penulis: Novianti, S.H., M.H.

Abstrak:
Memorandum of Understanding (MoU) antara PMI dan ICRC terkait dengan pemberian bantuan kemanusiaan ditinjau dari perspektif hukum internasional merupakan suatu kerjasama yang dibuat oleh subjek hukum internasional yakni ICRC dan PMI. MoU antara ICRC dengan PMI dalam pemberian bantuan kemanusiaan selain memberikan manfaat terhadap masyarakat yang terkena dampak dari berbagai situasi kekerasan dan bencana, namun juga menjadi permasalahan terkait dengan kedudukan MoU dan ruang lingkup kerjasama antara PMI dan ICRC yang begitu luas. Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang merupakan penelitian yuridis normatif dan menggunakan metode pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan penelitian dilapangan melalui wawancara secara mendalam dengan pihak-pihak terkait. Hasil penelitian ini mengungkapkan kedudukan MoU yang dibuat oleh subjek hukum internasional yakni ICRC dan PMI termasuk dalam kategori perjanjian internasional sehingga dalam implementasinya berlaku kaidah-kaidah hukum internasional publik. Oleh karena itu, ICRC dapat melakukan kerjasama internasional secara terbatas dengan negara-negara termasuk dengan Indonesia dan secara khusus dengan PMI. Pelaksanaan dan ruang lingkup MoU dalam hukum perjanjian internasional merupakan instrumen hukum yang memiliki kekuatan mengikat yang tunduk pada Konvensi Wina 1969 dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Vol. 5 / No. 1 - Juni 2014

Penulis: Puteri Hikmawati, S.H., M.H.

Abstrak:
Hukum acara pidana memberikan hak kepada tersangka atau terdakwa untuk meminta penangguhan penahanan, dengan atau tanpa jaminan uang atau orang. Namun, ketentuan dalam KUHAP tidak secara lengkap mengatur tata caranya, sehingga menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Tulisan ini menganalisis pengaturan penangguhan penahanan dalam KUHAP dan pelaksanaannya, serta pengaturan penangguhan penahanan dalam RUU KUHAP, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi DPR RI dalam membahas RUU KUHAP. Berdasarkan hasil penelitian, KUHAP tidak secara lengkap memberikan ketentuan mengenai tata cara pemberian penangguhan penahanan, besarnya uang jaminan, dan akibat hukum dari si penjamin apabila tersangka atau terdakwa yang ia jamin melarikan diri. Selain itu, ketentuan penangguhan penahanan dalam RUU KUHAP menimbulkan kebingungan, sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, perlu dirumuskan kembali.

Penulis: Hanafi Amrani

Abstrak:
Artikel ini menganalisis perkembangan rezim anti-money laundering ke arah internasionalisasi dan implikasinya terhadap prinsip dasar kedaulatan negara. Insternasionalisasi rezim anti-money laundering termanifestasikan ke dalam standard internasional berupa Empat Puluh Rekomendasi FATF yang diberlakukan terhadap Negara anggota maupun non-anggota FATF. Permasalahan utama yang perlu mendapat perhatian adalah penerapan standard internasional tersebut terhadap negara non-anggota FATF yang diangap bertentangan dengan hak suatu negara untuk membuat dan menerapkan peraturan di wilayah territorialnya masing-masing dan menjalankan fungsinya tanpa campur tangan negara lain. Bahkan dikatakan bahwa implementasi standard internsional itu dianggap sebagai intervensi suatu negara terhadap urusan domestik negara lain. Kondisi seperti ini bertentangan dengan prinsip ‘persamaan kedaulatan’ di mana setiap negara berdaulat mempunyai kesamaan hukum. Pada saat bersamaan, kondisi seperti ini. juga dianggap bertentangan dengan prinsip ‘non-interference’ karena tidak ada satu negarapun dapat menerapkan ketentuan undang-undangnya di dalam yurisdiksi negara lain.

Penulis: Marfuatul Latifah, S.H.I., LL.M.

Abstrak:
Upaya perubahan hukum acara pidana di Indonesia telah sampai pada fase legislasi di DPR RI. Dalam proses pembahasan RUU Hukum Acara Pidana (HAP), terdapat banyak perubahan yang cukup signifikan, dan salah satunya yakni mengenai Jalur Khusus. Tujuan pengaturan Jalur Khusus ialah untuk mempercepat proses penyelesaian perkara dan mengurangi over capacity di Lembaga Pemasyarakatan, serta mewujudkan prinsip peradilan sederhana, cepat dan berbiaya ringan. Kajian ini bermaksud untuk membahas mengenai bagaimana Jalur Khusus diatur dalam RUU HAP, bagaimana Jalur Khusus tersebut akan dijalankan, serta apa saja kelebihan dan kekurangan dalam pengaturan tersebut. Pengaturan Jalur Khusus dalam RUU HAP pada dasarnya telah memenuhi asas peradilan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan, namun dalam pengaturannya masih diperlukan beberapa aturan yang lebih detil terkait dengan hukum acara pelaksanaan Jalur Khusus. Dalam pembahasan dikatakan bahwa pengaturan Jalur Khusus dalam RUU HAP telah mencerminkan asas peradilan sederhana, cepat dan berbiaya ringan, namun masih perlu pengaturan lebih detil dalam RUU mengenai bagaimana Jalur Khusus dilaksanakan.

Penulis: Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM.

Abstrak:
Hakim merupakan ujung tombak keadilan yang dilindungi prinsip independensi hakim. Namun ironisnya, dalam proses pengadilan, termasuk dalam hal penetapan ataupun putusan, kerap kali ditemukan kejanggalankejanggalan. Keleluasaan hakim kemudian dirasakan menimbulkan ketidakadilan. Sebagai langkah dalam menyelesaikan persoalan ini, para legislator di DPR sebagai representasi rakyat kemudian merumuskan kebijakan kriminalisasi terhadap beberapa tindakan hakim dalam RUU MA. Kebijakan ini dimaksudkan agar hakim lebih hati-hati dalam menjalankan tugasnya. Kajian ini secara khusus bermaksud menelaah secara yuridis terkait rumusan kebijakan kriminalisasi terhadap tindakan hakim yang terkandung dalam RUU MA tersebut. Dari hasil analisis, diantaranya diketahui bahwa secara umum tindakan-tindakan hakim yang dilarang dalam RUU MA memang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang sangat merugikan dan membahayakan masyarakat. Kebijakan kriminalisasi terkait mafia peradilan, rekayasa fakta hukum, dan meminta hadiah terkait jabatannya bahkan merupakan perkembangan dalam tanggung jawab hukum profesi hakim. Namun, khusus untuk Pasal 97 RUU MA, menurut penulis, agak sulit untuk memahami tujuan dan raison déter dibalik kriminalisasinya. Pasal tersebut bahkan berpotensi menjadi faktor kriminogen karena dapat memicu tindakan kerusuhan dan keonaran dengan maksud menyalahkan putusan pengadilan.

Penulis: Trias Palupi Kurnianingrum, S.H., M.H.

Abstrak:
Putusan MK No. 18/PUU-XI/2013 telah berimplikasi terhadap adanya peralihan kewenangan pencatatan keterlambatan akta kelahiran yang semula merupakan kewenangan Pengadilan Negeri menjadi kewenangan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil). Di satu sisi keputusan ini dinilai sangat menggembirakan, karena proses pengadilan dianggap memberatkan, namun di sisi lain juga dapat memicu persoalan hukum. Persoalan hukum tersebut berkenaan dengan pengujian keabsahan dokumen dan penentuan status hukum anak. Dengan demikian peralihan kewenangan tersebut harus disikapi dengan hati-hati oleh Disdukcapil khususnya dalam menetapkan kedudukan hukum bagi status anak.

Penulis: Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.

Abstrak:
Hak pengelolaan bukan merupakan jenis hak atas tanah yang diatur dalam UUPA. Pengaturan hak pengelolaan tanah negara mengalami perkembangan yang signifikan, khususnya dalam hal kewenangan yang dimiliki oleh pemegang hak pengelolaan untuk menyerahkan bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga. Hal ini menarik untuk diteliti, mengingat pemegang hak pengelolaan yang dapat berupa instansi pemerintah, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD diberi hak keperdataan untuk menyerahkan penggunaan hak pengelolaan yang diberikan oleh negara kepada pihak ketiga melalui suatu perjanjian. Dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) didukung data di lapangan, hasil penelitian ini menunjukan bahwa pemanfaatan tanah hak pengelolaan oleh pihak ketiga didasarkan pada ketentuan Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Menguasai Atas Tanah Negara dan Kebijaksanaan Selanjutnya beserta perubahannya. Penggunaan tanah hak pengelolaan melalui hak guna bangunan dan hak pakai mendasarkan pada perjanjian penggunaan tanah yang dibuat antara instansi pemegang hak atas tanah dengan pihak ketiga yang akan menggunakan tanah tersebut. Perjanjian dibuat atas dasar kesepakatan para pihak dengan tetap mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak pengelolaan atas tanah. Minimnya pengawasan menyebabkan pelaksanaan perjanjian yang telah disepakati berpotensi penyelewengan.

Penulis: Nita Ariyulinda

Abstrak:
Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat telah mengatur mengenai pemenuhan hak aksesibilitas pada fasilitas umum untuk penyandang cacat. Tujuan pengaturan tersebut untuk memberikan kemudahan bagi penyandang cacat agar dapat berinteraksi di masyarakat secara mandiri sehingga tidak lagi bergantung pada orang lain. Pada kenyataannya pengaturan tersebut tidak efektif dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat bahwa fasilitas umum khususnya bangunan gedung dan lalu lintas tidak menyediakan aksesibilitas untuk penyandang cacat, sehingga penyandang cacat menemukan kesulitan untuk mengakses fasilitas umum tersebut. Tidak efektifnya pengaturan tersebut disebabkan oleh faktor aturannya, pejabat yang berwenang, sarana dan prasarana, masyarakat dan budaya dalam masyarakat.

Vol. 4 / No. 2 - November 2013

Penulis: Dr. Inosentius Samsul

Abstrak:
Perlindungan Konsumen di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan setelah terbentuknya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai payung hukum perlindungan konsumen. Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan sebagai bagian dari hukum perlindungan konsumen. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis 2 (dua) permasalahan, yaitu pertama hubungan perlindungan konsumen dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 dan UU No. 21 Tahun 2011. Kedua, menganalisis sinkronisasi vertikal antara Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1 Tahun 2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Analisis terhadap permasalahan pertama adalah mengenai hubungan komplementer antara Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 dan UU No. 21 Tahun 2011. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 memperkuat hukum perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Kedua, peraturan OJK No. 1 Tahun 2013 mengatur secara rinci tentang upaya perlindungan konsumen. Namun masih terdapat substansi yang belum dijabarkan dalam peraturan tersebut. Ada beberapa materi dalam Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan yang tidak daitur lebih lanjut dalam peraturan tersebut. Oleh karena itu, saran penting dari tulisan ini adalah pelaksanaan dari beberapa ketentuan dalam UU No. 21 Tahun 2011 haruslah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 untuk memperkuat sistem perlindungan konsumen di Indonesia. Di samping itu, OJK perlu mengeluarkan peraturan tersendiri mengenai pembelaan hukum yang belum terakomodasi dalam Peraturan OJK Nomor 1 Tahun 2013.

Penulis: Dian Cahyaningrum, S.H.. M.H.

Abstrak:
Perjanjian kerja memiliki arti penting untuk melindungi TKI. Untuk itu UU No. 39 Tahun 2004 telah mengatur masalah perjanjian kerja. Namun perjanjian kerja ternyata belum berfungsi secara optimal untuk melindungi TKI. Beberapa penyebabnya adalah perjanjian kerja berbentuk baku dan substansinya ditentukan oleh pengguna sehingga lebih mengakomodasi kepentingan pengguna. Syarat subyektif TKI yang dipalsukan usianya tidak terpenuhi karena masih anak-anak. Penandatanganan perjanjian kerja tidak di hadapan pejabat yang berwenang. Jangka waktu perjanjian kerja tidak diperpanjang. TKI yang pindah kerja/majikan tidak membuat perjanjian kerja baru. Untuk mengoptimalkan perjanjian kerja perlu dilakukan beberapa upaya diantaranya PPTKIS hati-hati dalam membuat perjanjian kerjasama penempatan karena menjadi acuan dalam membuat perjanjian kerja; pejabat perwakilan RI di negara tujuan hendaknya selektif dalam memberikan persetujuan perjanjian kerja; penandatanganan perjanjian kerja dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang; syarat subyektif dan obyektif harus dipenuhi, TKI harus memperpanjang jangka waktu perjanjian kerja yang telah berakhir jika masih ingin bekerja di luar negeri, dan TKI yang pindah kerja harus membuat perjanjian kerja baru.

Penulis: Luthvi Febryka Nola, S.H., M.Kn.

Abstrak:
Tulisan ini menjelaskan tentang penyebab, tipologi dan upaya penyelesaian sengketa atas tanah partikelier. Penyebab sengketa tanah partikelir ada yang langsung dan adapula tidak langsung berhubungan dengan tanah partikelir. Tipologi sengketa partikelir terbagi atas 2 kelompok besar yang saling berkaitan yaitu tipologi berdasarkan permasalahan dan berdasarkan aktor. Terhadap sengketa dapat diupayakan penyelesaian secara administratif, alternatif penyelesaian sengketa atau melalui jalur pengadilan. Penyelesaian administratif dapat diterapkan pada sengketa vertikal sederhana. Sedangkan alternatif penyelesaian sengketa sesuai diterapkan pada sengketa bertipe horizontal. Untuk sengketa vertikal dan segitiga lebih tepat diselesaikan di pengadilan.

Penulis: Novianto Murti Hantoro, S.H., M.H.

Abstrak:
Mahkamah Konstitusi telah menetapkan putusan yang mengabulkan sebagian permohonan DPD berkenaan dengan kewenangannya di bidang legislasi. Dengan menggunakan kerangka pemikiran bikameralisme dan penafsiran konstitusi, tulisan ini menganalisis bagaimana MK melakukan penafsiran tentang kewenangan legislasi DPD dan bagaimana melaksanakan putusan tersebut. MK menafsirkan bahwa DPD memiliki kewenangan untuk membahas Prolegnas, mempunyai kedudukan yang sama dengan Presiden dalam hal pengajuan RUU kepada DPR, dan tidak hanya memberikan pandangan melainkan ikut membahas RUU bersama dengan Presiden dan DPR. Namun menurut MK, DPD tetap tidak equal dengan DPR karena permohonan untuk memberi persetujuan terhadap RUU dan kewenangan lebih dari sekedar memberikan pertimbangan terhadap RUU APBN, ditolak. Meskipun Putusan MK sifatnya langsung dapat dilaksanakan, namun secara sistematis dan komprehensif perlu adanya koordinasi dengan Presiden dan DPR untuk mengatur lebih lanjut mekanismenya. Secara ideal, hal ini perlu dirumuskan dalam undang-undang, namun untuk keperluan jangka pendek bisa dilakukan melalui pembentukan Peraturan Bersama.

Penulis: Denico Doly, S.H., M.Kn.

Abstrak:
UU Penyiaran merupakan landasan hukum bagi lembaga penyiaran maupun regulator dibidang penyiaran dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Pengaturan dalam UU Penyiaran tidak lagi dapat menjangkau seluruh aspek kegiatan penyiaran di Indonesia. Pengaturan dalam UU Penyiaran masih dianggap lemah oleh berbagai kalangan. Kelemahan dalam UU Penyiaran terkait dengan upaya pelemahan KPI, Sistem Siaran Berjaringan yang tidak terlaksana, lemahnya status kelembagaan LPP, lemahnya pengaturan tentang LPK, dan belum terlaksananya pembatasan kepemilikan LPS. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan mendasar bagi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terkait dengan upaya penguatan KPI, penegasan kembali sistem siaran jaringan, penguaran kelembagaan LPS, penguatan LPK dan penegasan pembatasan kepemilikan LPS.

Penulis: Monika Suhayati, S.H., M.H.

Abstrak:
Pendanaan merupakan salah satu unsur utama dalam pelaksanaan kegiatan terorisme. Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme mengatur mengenai upaya pemberantasan tindak pidana terorisme dengan menggunakan sistem dan mekanisme penelusuran aliran dana (follow the money). Pelaksanaan pemblokiran aliran dana terorisme dan penempatan dalam daftar terduga teroris , dan organisasi teroris yang diatur dalam undang-undang tersebut rentan terhadap terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Indonesia sebagai negara hukum wajib memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang dijamin melalui undang-undang. Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme telah memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia yaitu dengan pengaturan mengenai pengajuan keberatan atas pemblokiran aliran dana terorisme dan penempatan dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris, pengecualian pemblokiran aliran dana terorisme, pemulihan nama baik dan hak untuk mendapatkan kompensasi dan/atau rehabilitasi, dan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk dilakukannya pemblokiran dan pencantuman dalam daftar terduga teroris.

Vol. 4 / No. 1 - Juni 2013

Penulis: Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.

Abstrak:
Land reform dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani yang tidak memiliki tanah. Secara yuridis pelaksanaan land reform di Indonesia didasarkan pada UUPA yang mengatur pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah dan kemudian dijabarkan dengan UU No. 56/Prp/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (UUPT). Land Reform dalam UU ini diwujudkan melalui pengaturan luas maksimum dan minimum tanah pertanian dan redistribusi tanah. Namun, implementasi UU ini belum efektif karena beberapa ketentuan berpotensi dilakukannya penyelundupan hukum untuk menghindari ketentuan pembatasan luas tanah pertanian serta kebijakan pendukung yang belum memadai.

Penulis: Harris Yonatan Parmahan Sibuea, S.H., M.Kn.

Abstrak:
Pemanfaatan dan penggunaan tanah di atas permukaan tanah sudah overload yang disebabkan oleh arus urbanisasi yang semakin meningkat khususnya ke kota-kota besar. Peningkatan arus urbanisasi tersebut tidak diimbangi oleh jumlah luas tanah di atas permukaan bumi yang pada akhirnya mencari ruang di bawah tanah untuk digunakan sebagai kepentingan tempat tinggal, usaha, publik. Kepastian hukum atas kepemilikan atas tanah sudah ada payung hukumnya, namun terjadi kekosongan hukum terhadap pengaturan pemanfaatan ruang di bawah tanah. Ruang-ruang bawah tanah seperti di Kota dan Blok-M bukan hanya dimanfaatkan sebagai terminal kedatangan keberangkatan bus-way, namun juga dimanfaatkan untuk kegiatan usaha masyarakat. Pemanfaatan ruang bawah tanah tersebut tidak ada peraturan perundang-undangan bidang agraria yang mengaturnya. Hukum harus merespon terhadap kekosongan hukum tersebut dimana diperlukan suatu kebijakan yang mengatur alas hak penggunaan ruang di bawah tanah, agar tidak terjadi konflik di masa depan dan terjaminnya suatu kepastian hukum di bidang agraria.

Penulis: Nikolas Simanjuntak

Abstrak:
Para sarjana post-kolonial kita telah mewariskan pengetahuan mengenai hukum adat yang bersendikan pada dasar hubungan kesedarahan (genealogis) dan kedaerahan (territorial). Dari mereka itu kita ketahui ada lebih dari 200an hukum adat yang khas tersebar di seantero wilayah nusantara, yang kemudian masing-masing adat itu secara terpisah berkembang lagi dengan hukumnya dan lembaga pengadilan adat yang khusus, baik yang berada dalam situasi wilayah yang tertutup rapat di daerah pedesaan maupun di wilayah yang terbuka dalam konteks modern sebagai masyarakat perantau di perkotaan (urban migran). Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan telah diberlakukan dengan Undang-undang No. 30 Tahun 1999, yang sebelumnya dipersiapkan pada masa-masa awal terjadinya multi-krisis Indonesia menuju era reformasi. Dengan Undang-undang itu diharapkan banyak hal akan dapat diselesaikan untuk memotong rantai rumitnya kompleksitas soal di dalam praktik pelaksanaan hukum acara yang selama ini terjadi. Makalah ini bermaksud menyajikan gambaran apa adanya mengenai lembaga hukum adat, apakah itu bisa dikembangkan dengan penguatan yang menjadi praktik penyelesaian sengketa di luar pengadilan menurut hukum yang berlaku saat ini. Bahkan mungkin pula dengan itu diharapkan, apakah bisa digunakan untuk mencapai pelaksanaan konsep hukum restoratif yang berkeadilan, yakni dengan menerapkan kombinasi hukum adat dalam situasi masyarakat pedesaan yang tertutup di masa lalu, ke arah konteks masyarakat yang terbuka di era global modern masa kini.

Penulis: Puteri Hikmawati, S.H., M.H.

Abstrak:
Redenominasi merupakan salah satu wacana yang akan dilakukan oleh Pemerintah dengan tujuan untuk mengefektifkan perekonomian agar menjadi lebih efisien serta untuk meningkatkan kebanggaan rupiah di mata dunia Internasional. Namun untuk mewujudkan hal tersebut bukanlah perkara yang mudah, mengingat masih banyaknya pro-kontra di dalamnya. Redenominasi memang memberikan banyak manfaat namun juga dapat menimbulkan dampak negatif yakni inflasi akibat pembulatan harga. Kiranya perlu adanya persiapan yang harus dilakukan oleh Indonesia seperti mempersiapkan landasan hukum guna menjamin kepastian dan perlindungan hukum, menyiapkan infrastuktur yang sudah disetting dengan tepat serta sosialisasi intensif kepada masyarakat. Pengaturan yang komprehensif sangat diperlukan untuk menjamin kepastian hukum mengingat hukum sudah sepantasnya bertujuan untuk mewujudkan apa yang menjadi faedah bagi banyak orang.

Penulis: Marfuatul Latifah, S.H.I., LL.M.

Abstrak:
Korupsi masih menjadi masalah serius di Indonesia, banyak kasus yang belum terungkap. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya alat bukti keterangan saksi. Saksi merasa enggan memberikan kesaksian karena mungkin mendapat ancaman atau intimidasi dari pelaku. Saksi dan pelapor kurang mendapat perlindungan hukum. Dalam penanganan kasus korupsi muncul istilah whistleblower (pelapor) dan justice collaborator (saksi pelaku yang bekerjasama). Penulisan kajian ini dimaksudkan untuk mengkaji formulasi norma hukum yang mengatur perlindungan saksi dan pelapor tindak pidana korupsi serta pelaksanaannya. Kebijakan perlindungan saksi dalam tindak pidana korupsi saksi telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan ketentuan perlindungan saksi dan korban umumnya secara khusus diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sementara perlindungan terhadap pelapor tidak diatur secara rinci dalam UU No. 13 Tahun 2006 tersebut. Oleh karena itu, menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2011 dibuat untuk mengadopsi istilah whistleblower dan justice collaborator. Namun ketentuan SEMA tersebut menimbulkan permasalahan. Salah satunya, ketentuan dalam UU No. 13 Tahun 2006 menutup peluang bagi Pelapor sebagai whistleblower, yang memiliki itikad baik, untuk dituntut baik secara pidana maupun perdata. Namun, SEMA No. 4 Tahun 2011 justru memberi peluang untuk memproses Pelapor atas laporan yang disampaikannya. Oleh karena itu, dalam revisi UU No. 13 Tahun 2006 perlu diatur perlindungan terhadap whistleblower dan justice collaborator secara rinci.

Penulis: Andy Wijayanto

Abstrak:
Penghapusan tahapan penyelidikan dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana akan mengubah sistematika hukum acara pidana di Indonesia. Tulisan ini bermaksud mengkaji penghapusan penyelidikan dan konsekuensi yang akan ditimbulkan. Mengingat penyelidikan telah digunakan selama lebih dari tiga puluh tahun di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia dan banyak tindak pidana yang menggantungkan pemecahan perkara melalui tahapan penyelidikan seperti tindak pidana narkotika dan tindak pidana korupsi, hal tersebut dapat mengakibatkan perubahan mendasar dalam praktik hukum acara pidana dan menimbulkan hambatan bagi penyelesaian perkara pidana khususnya tindak pidana temuan.

Penulis: Andy Wiyanto

Abstrak:
Historiografi ketatanegaraan Indonesia telah mencatat bahwa telah sebanyak dua kali Presiden di Indonesia diturunkan ditengah masa jabatannya. Catatan sejarah tersebut rupanya menyisakan polemik. Untuk itulah kemudian di bawah kepemimpinan Mohammad Amien Rais, MPR melakukan perubahan UUD 1945 yang menjadi salah satu tujuan dari reformasi. Perubahan tersebut tidak hanya memperbaiki mekanisme pemakzulan di Indonesia, namun juga menjadikan UUD 1945 tidak lagi sebagai UUD sementara sebagaimana yang diutarakan Soekarno dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945. Sejatinya proses pemakzulan pasca reformasi merupakan bentuk check and balances atas pemilihan Presiden secara langsung. Sehingga ada legitimasi yang besar dalam pemerintahan pada satu sisi, juga dalam sisi yang lainnya hal itu diimbangi dengan proses pertanggungjawaban yang terukur. Secara akademik, konsep tersebut tentu sesuai dengan ilmu pengetahuan. Tinggal bagaimana hal ini terimplementasi dalam bentuk regulasi, mulai dari undang-undang dasar hingga aturan-aturan lain dibawahnya yang menjadi penjabaran-penjabaran yang lebih rinci dan jelas. Tulisan ini mencoba untuk membedah hal tersebut dengan dimulai dari pembahasan struktur ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi yang menganut prinsip checks and balances di dalamnya, kemudian dilanjutkan dengan ulasan mengenai proses pemakzulan di Indonesia, yang pada akhirnya dari kedua variabel tersebut dibedah dengan teori-teori yang mengulas tentang sistem chesks and balances dalam sistem ketatanegaraan pada sebuah Negara.

← Sebelumnya 1 2 3 Selanjutnya →