Jurnal Kepakaran Negara Hukum

Vol. 9 / No. 2 - November 2018

Penulis: Oly Viana Agustine

Abstrak:
Pembubaran partai politik merupakan kewenangan yang dimonopoli, baik oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia maupun Mahkamah Konstitusi Federal Jerman. Pembubaran partai politik berbeda dengan pembubaran organisasi lain, dikarenakan partai politik memiliki peran yang penting dalam penentuan kebijakan pemerintah yang pembatasannya perlu diatur khusus dalam konstitusi. Mahkamah Konstitusi Federal Jerman hingga saat ini telah menerima sembilan kali permohonan pembubaran partai politik dengan lima putusan yakni dua permohonan pembubaran dikabulkan dan tiga permohonan pembubaran partai politik ditolak. Sedangkan Mahkamah Konstitusi Indonesia sejak berdiri belum pernah memeriksa pembubaran partai politik. Dengan demikian, menjadi hal penting dan menarik untuk menganalisa mekanisme pembubaran partai politik di Jerman agar dapat ditemukan mekanisme yang tepat dalam pembubaran partai politik di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan studi kasus dan perbandingan. Kesimpulan yang didapat dalam penelitian ini adalah pembubaran partai politik merupakan pembatasan hak berserikat dan berkumpul yang disahkan oleh konstitusi. Mahkamah Konstitusi Jerman telah melaksanakan pembubaran partai politik secara proporsional dengan memeriksa dan memutus pembubaran partai politik tidak hanya secara teks tetapi juga konteksnya yang memenuhi kriteria “clear and present danger” terhadap kedaulatan Pemerintah Federal Jerman dan tatanan demokrasi yang bebas. Oleh karena itu, perlu dilakukan desain ulang mekanisme pembubaran partai politik di Indonesia dengan kajian sosiologis dan psikologis secara empiris agar memenuhi kriteria “clear and present danger”.

Penulis: Mei Susanto

Abstrak:
Saat ini, hampir di seluruh sistem ketatanegaraan di berbagai negara, secara umum disepakati bahwa lembaga eksekutif memiliki peran fundamental dalam menyusun draf anggaran negara untuk kemudian dipresentasikan kepada lembaga legislatif. Lembaga legislatif kemudian memiliki hak untuk membahas, memperdebatkan, dan dalam beberapa kasus melakukan perubahan, untuk kemudian memberikan persetujuan atau penolakan terhadap proposal anggaran dari lembaga eksekutif. Hak lembaga legislatif tersebut, dalam praktiknya akan berbeda-beda. Secara umum terdapat tiga bentuk hak lembaga legislatif di antaranya: budget making, legislatif memiliki kapasitas untuk menerima atau menolak proposal anggaran dari eksekutif serta memiliki kemampuan memformulasikan anggaran secara sendiri; budget influencing, legislatif memiliki kapasitas menerima atau menolak proposal anggaran dari eksekutif namun lemah dalam memformulasikan anggaran secara sendiri; dan budget approving, legislatif tidak memiliki kapasitas menerima atau menolak proposal anggaran dari eksekutif termasuk memformulasikan anggaran secara sendiri. Artikel ini membahas peran lembaga legislatif Indonesia yaitu DPR dan DPD dalam proses penganggaran. DPR memiliki peran kuat yakni membahas, mengubah, dan menerima atau menolak namun lemah dalam kapasitas menyusun anggarannya sendiri sehingga disebut budget influencing, dibandingkan DPD yang hanya memberikan pertimbangan sehingga disebut budget approving. Artikel ini menyarankan agar ada reposisi peran DPR dan DPD yang lebih kuat dan berimbang, sehingga akan dapat menciptakan pengawasan ganda, revisi penganggaran yang diperlukan, penundaan anggaran yang memiliki kepentingan konstitusi, debat publik, dan menghasilkan anggaran yang berpihak pada rakyat. Selain itu, diperlukan penguatan kapasitas dan sumber daya pendukung bagi DPR dan DPD agar dapat setara dengan eksekutif dalam pembahasan anggaran sehingga mampu menjadi lembaga legislatif pembentuk anggaran (budget making).

Penulis: Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM.

Abstrak:
Pengaturan hukum mengenai pemberatan hukuman karena pengulangan tindak pidana (residivisme) yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) selama ini dipandang cukup rumit untuk diterapkan. RUU Hukum Pidana membawa perubahan terhadap konsep residivisme. Artikel ini bermaksud untuk mengkaji bagaimana konsep residivisme dalam doktrin, dalam pengaturannya saat ini, dalam draft RUU Hukum Pidana, serta mengkaji implikasi perubahan konsep tersebut bagi penegakan hukum pidana secara umum. Dalam pembahasan diketahui bahwa KUHP yang selama ini berlaku, menerapkan sistem residivis khusus dengan sistem antara, akan diubah menjadi sistem “Algemene Recidive” atau recidive umum, yang artinya sudah tidak lagi membedakan jenis tindak pidana atau kelompok jenis tindak pidana yang diulangi. RUU Hukum Pidana diantaranya mengatur bahwa jangka waktu seseorang dikenakan pemberatan akibat recidive ialah “5 (lima) tahun” setelah menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan atau pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan, atau pada waktu melakukan Tindak Pidana, kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan terdahulu belum kedaluwarsa (masih menjalani pidana). Beberapa implikasi dari perubahan tersebut antara lain bahwa konsep recidivis dalam draf RUU Hukum Pidana relatif lebih simpel dibandingkan dengan yang diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini. Oleh sebab itu konsep tersebut akan lebih memudahkan penegak hukum dalam penerapannya. Penerapan konsep residivis perlu diikuti dengan perubahan instrumen hukum acara pidana (RUU KUHAP) serta peraturan lain terkait prosedur teknis di masing-masing lembaga penegak hukum. Perubahan sistem residivis juga perlu diikuti dengan upaya pembenahan terhadap sistem pembinaan lembaga pemasyarakatan, agar tingkat residivisme tidak semakin tinggi.

Penulis: Luthvi Febryka Nola, S.H., M.Kn.

Abstrak:
Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU Kepailitan mengatur bahwa segala sita yang telah ditetapkan atas harta kekayaan debitor menjadi hapus semenjak putusan pailit diucapkan dan semenjak itu satu-satunya yang berlaku adalah sita umum. Akan tetapi pada praktiknya berbagai sita tetap ditetapkan atas harta pailit mulai dari sita perdata, pidana dan pajak. Tulisan ini membahas tentang bentuk-bentuk sita dalam proses kepailitan, kedudukan sita umum terhadap sita lainnya dalam kepailitan dan dampak dari kedudukan sita umum terhadap pembayaran utang kepada para kreditor. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder yang dikumpulkan melalui kegiatan studi perpustakaan maupun studi dokumen. Berbagai data tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Penulisan ini menemukan bahwa adanya aturan dalam UU lain seperti Pasal 39 ayat (2) KUHAP dan Pasal 6 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2000 telah mengesampingkan kedudukan sita umum. Ahli masing-masing bidang ilmu juga memiliki pandangan yang berbeda terkait kedudukan sita umum. Kondisi ini berdampak pada munculnya pergesekan antara penegak hukum, inkonsistensi putusan hakim, lamanya proses kepailitan, terjadi ketidakadilan, ketidakjelasan data harta pailit, berkurang bahkan hilangnya harta pailit. Oleh sebab itu, pemahaman penegak hukum tentang asas hukum terutama asas lex specialis derogate legi generalis perlu ditingkatkan. Penggunaan lembaga sita jaminan dalam proses kepailitan harus disosialisasikan untuk memaksimalkan penguasaan terhadap harta pailit. Supaya proses kepailitan tidak berlarut-larut, UU kepailitan harusnya membatasi jangka waktu penyelesaian aset kepada kurator.

Penulis: Yeni Rosdianti

Abstrak:
“Bekerja” memegang peranan penting dalam kehidupan umat manusia, tidak hanya dalam arti ekonomi namun juga bermakna pemuliaan martabat manusia. Bekerja, selain dapat menjamin penghidupan, juga merupakan alat pencapaian inklusi dan partisipasi setara dalam relasi sosial. Martabat manusia menjadi landasan prinsip kesetaraan untuk membentuk masyarakat inklusif dimana kelompok rentan secara penuh dihormati hak-haknya hingga dapat berpartisipasi secara maksimal di tengah-tengah masyarakat. Hak Asasi Manusia (HAM) memegang peranan penting dalam hal ini, khususnya terkait dengan pemajuan hak-hak penyandang disabilitas dalam kerangka prinsip-prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi. Konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas (Atau selanjutnya disebut CRPD) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2011, meletakkan dasar yang kokoh bagi perlindungan hak-hak penyandang disabilitas dalam penerapan kaidah-kaidah dasar HAM. Konvensi ini dianggap sebagai model disabilitas terkini yang mengacu pada pendekatan HAM. Terkait dengan hak atas pekerjaan khususnya untuk penyandang disabilitas, pasal 27 CRPD meletakkannya dalam rangka mencapai dunia kerja yang inklusif dan setara. Untuk itu, CRPD mendorong langkah-langkah positif (positive measures) sebagai sarana menyingkirkan hambatan struktural yang dihadapi oleh penyandang disabilitas selama ini.

Vol. 9 / No. 1 - Juni 2018

Penulis: Marfuatul Latifah, S.H.I., LL.M.

Abstrak:
Prosedur pencantuman identitas pada Consolidated United Nations Security Council Sanctions List of Suspected Terrorist Organizations and Individual yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sampai saat ini dianggap belum melindungi hak asasi manusia (HAM) bagi masyarakat internasional, khususnya prinsip untuk mendapatkan persidangan yang adil (fair trial). Hal tersebut karena tidak tersedianya pembelaan/klarifikasi dari objek yang akan dan/atau telah ditetapkan dalam daftar tersebut. PBB telah berupaya memperbaiki prosedur pencantuman identitas pada Consolidated United Nations Security Council Sanctions List of Suspected Terrorist Organizations and Individual dengan mengadopsi due process of law model dalam proses pencantuman identitas. Perubahan prosedur tersebut sampai saat ini masih belum cukup memberikan pelindungan HAM bagi individu yang menjadi subjek karena belum menerapkan due process of law secara utuh. Hal tersebut dibuktikan dengan masih belum adanya pihak peradilan yang berwenang, bebas, dan terbuka untuk memutuskan apakah sesorang patut dicantumkan identitasnya dalam daftar tersebut. Indonesia juga mengeluarkan Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris. Prosedur yang digunakan dalam mencantumkan identitas orang, organisasi, dan/atau korporasi dalam daftar tersebut telah berupaya menghadirkan pihak yudisial, namun prosedur pelibatan pihak yudisial hanya sebatas pemberi legalitas dari daftar melalui penetapan. Perlu dilakukan penyempurnaan prosedur bagi pencatuman identitas dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris untuk menyesuaikan dengan kesepakatan dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa sebuah organisasi terorisme dapat juga ditetapkan melalui putusan pengadilan agar pelindungan HAM bagi subjek yang telah/akan dicantumkan di daftar dapat terwujud.

Penulis: Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.

Abstrak:
Sebagai suatu karya kreativitas, produk ekonomi kreatif (ekraf) merupakan kekayaan intelektual yang perlu mendapat penghargaan sebagai suatu karya intelektual yang memiliki nilai ekonomi dan memperoleh pelindungan hukum. Penelitian ini menganalisis mengenai regulasi yang dibentuk Pemerintah dalam memberikan pelindungan terhadap hak kekayaan intelektual (HKI) terhadap produk ekraf dan penerapan regulasi tersebut di Kota Surakarta, Jawa Tengah dan Kota Denpasar, Bali. Melalui metode penelitian yuridis normatif dan empiris, data sekunder dan primer diolah dan dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menyebutkan, kebijakan pelindungan HKI terhadap produk ekraf telah dilakukan oleh pemerintah melalui peraturan perundang-undangan bidang HKI dan kebijakan daerah terkait pelindungan HKI untuk produk ekraf mengacu pada kebijakan tingkat nasional. Pelindungan preventif diberikan melalui UU berupa manfaat ekonomi bagi pelaku ekraf yang mendaftarkan HKInya. Namun, tingkat kesadaran masyarakat dan pemahaman pentingnya HKI, sifat komunal pelaku ekraf di Indonesia, dan sifat HKI yang harus didaftarkan untuk mendapat pelindungan hukum, menyebabkan pelindungan HKI untuk pelaku ekraf belum optimal. Pada tataran implementasi, kesadaran dan pemahaman pelaku ekraf atas kekayaan intelektualnya menjadi kunci keberhasilan pelindungan HKI yang dilakukan oleh pemerintah. Minimnya keberpihakan daerah berdampak pada belum optimalnya manfaat ekonomi yang diterima pelaku ekraf. Oleh karenanya pemerintah perlu menggiatkan sosialisasi HKI dan memfasilitasi pendaftaran HKI untuk pelaku ekraf. Dukungan kelembagaan dan regulasi pada tingkat daerah juga penting dilakukan untuk mengembangkan dan melindungi produk ekraf.

Penulis: Dian Cahyaningrum, S.H.. M.H.

Abstrak:
Saat ini banyak BUMD yang berkualitas rendah karena belum dikelola dengan baik. Salah satu hal yang mempengaruhi pengelolaan BUMD adalah bentuk hukumnya. Untuk itu kajian ini menganalisa implikasi dari bentuk hukum BUMD terhadap pengelolaannya. Berdasarkan hasil kajian ada dua bentuk hukum BUMD yaitu Perumda dan Perseroda. Bentuk hukum Perumda berorientasi pada pelayanan umum. Namun Perumda juga harus mencari keuntungan. Sedangkan bentuk hukum Perseroda berorientasi pada mencari keuntungan. Agar tujuan tersebut tercapai, Perumda dan Perseroda harus dikelola dengan baik sesuai dengan PP No. 54 Tahun 2017, selain juga harus didukung dengan SDM yang handal dan modal yang memadai. Organ Perumda dan Perseroda juga harus profesional dalam menjalankan tugasnya. Implikasi lain dari Perumda dan Perseroda adalah kepala daerah memiliki kewenangan yang besar dalam menentukan kebijakan Perumda dan Perseroda. Akibatnya visi, misi, dan itikad baik kepala daerah menentukan perkembangan Perumda dan Perseroda. Apabila kepala daerah memiliki visi, misi, dan itikad yang baik maka Perumda dan Perseroda dapat berkembang dengan baik. Namun jika sebaliknya, maka Perumda dan Perseroda akan sulit untuk berkembang. Agar Perumda dan Perseroda dapat dikelola dan berkembang dengan baik maka kepala daerah harus memiliki visi, misi, niat baik, dan keseriusan untuk mengembangkannya; organ dan pegawai Perumda dan Perseroda harus direkrut dengan benar sesuai PP No. 54 Tahun 2017; organ Perumda dan Perseroda juga harus memiliki kemandirian dan independensi dalam menjalankan tugasnya tanpa ada campur tangan dari siapa pun dan dalam bentuk apa pun yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penulis: Zaka Firma Aditya -- M Reza Winata

Abstrak:
Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia telah diubah sebanyak 4 (empat) kali, namun masih mengandung permasalahan-permasalahan yuridis di dalamnya. Permasalahan yang paling sering terjadi berkaitan dengan tumpang tindihnya aturan-aturan yang ada. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai pedoman hierarki perundang-undangan yang dianggap dapat mengatasi masalah dalam undang-undang sebelumnya, namun juga mengalami masalah yang sama. Beberapa problematika yang ada dalam UU No. 12 Tahun 2011 berkaitan dengan dikembalikannya kedudukan ketetapan MPR, tidak tegasnya kedudukan peraturan menteri, kedudukan peraturan lembaga negara, dan peraturan desa, serta materi muatan peraturan presiden yang dianggap sama dengan peraturan pemerintah. Tulisan ini akan membahas mengenai (1) legal historis dan politik hukum hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia beserta permasalahan-permasalahannya; dan (2) rekonstruksi hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Adapun hasil penulisan ini bahwa pembentukan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia memiliki politik hukum masing-masing sesuai dengan rezim pemerintahan pada saat itu. Setiap hierarki memiliki problematikanya masing-masing, meskipun tujuan awalnya sama yaitu untuk menertibkan dan memperbaiki kerancuan dari peraturan sebelumnya, sehingga rekonstruksi hierarki peraturan perundang-undangan penting dilakukan agar menjamin konsistensi dan keselarasan norma-norma pada berbagai tingkatan peraturan perundang-undangan. Adapun rekonstruksi yang dimaksud adalah dengan menata kembali hierarki peraturan perundang-undangan dengan membedakannya antara peraturan perundang-undangan tingkat pusat dan tingkat daerah.

Penulis: Budi Suhariyanto

Abstrak:
Penanggulangan tindak pidana korporasi di Indonesia mengalami kendala akibat tidak jelasnya pengaturan penanganan tindak pidana korporasi. Dalam rangka mengatasi ketidaksempurnaan pengaturan tersebut, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No.13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi. Ada pertanyaan yang mengemuka yaitu apa saja kendala yang dihadapi Penegak Hukum dalam upaya menanggulangi tindak pidana korporasi dan bagaimana peran Perma Nomor 13 Tahun 2016 dalam mengatasi kendala penanggulangan tindak pidana korporasi tersebut? Metode penelitian hukum normatif digunakan untuk menjawab permasalahan tersebut. Secara normatif, dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur korporasi subjek tindak pidana, tidak dirumuskan detail tata cara penanganan korporasi sehingga penegak hukum mengalami kendala dalam melakukan proses pemidanaan terhadap korporasi. Pasal 79 Undang-Undang tentang Mahkamah Agung memberikan dasar hukum bahwa apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung memiliki wewenang membuat peraturan untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tersebut. Perma No. 13 Tahun 2016 dapat dijadikan pedoman bagi Penegak Hukum untuk mengatasi kendala teknis hukum acara pidana korporasi. Namun, Perma tersebut memiliki keterbatasan sehingga diperlukan pembaruan hukum acara pidana korporasi dalam RKUHAP.

Vol. 8 / No. 2 - November 2017

Penulis: Denico Doly, S.H., M.Kn.

Abstrak:
Penguasaan negara terhadap tanah merupakan amanat yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Negara diamanatkan untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan tanah yang didasari oleh semangat mensejahterakan masyarakat. Pembaruan agraria di bidang pertanahan merupakan salah satu bentuk perombakan atau penataan ulang terhadap pengelolaan dan pemanfaatan tanah. Penguasaan negara terhadap tanah dapat berupa pengaturan, pengelolaan, kebijakan, pengurusan, dan pengawasan. Bentuk penguasaan negara terhadap tanah ini perlu diatur secara khusus dalam sebuah undang-undang yang mengatur tentang pertanahan. Salah satu bentuk penguasaan negara yaitu dengan melakukan redistribusi tanah. Redistribusi tanah untuk rakyat dilakukan dengan mengidentifikasi Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) untuk kemudian dikelola sebagai bagian dari Reforma Agraria. Selain itu, dalam rangka mendukung program redistribusi tanah, pemerintah dapat melakukan moratorium penggunaan tanah untuk pembangunan yang berorientasi pada bisnis, membatasi kepemilikan dan penguasaan tanah, pengendalian harga tanah, dan mencabut hak atas tanah yang tidak dimanfaatkan.

Penulis: Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM.

Abstrak:
In 2017, Constitutional Court has received three calls for judicial reviews regarding treachery (makar) article in the Criminal Code. These articles deemed to be contradicting with the principle of legal certainty and freedom of expression. This study analyzes the important issue that is being debate in those judicial reviews. One of those is about the argument which says that the absence of the definition of treachery in the Criminal Code has caused a violation of legal certainty. Besides, the rule of treachery in the Criminal Code has also considered to have caused a violation of freedom of expression which has been guaranteed by Constitution. Analysis shows that the absence of treachery definition in the Criminal Code is not something that instantly becomes a problem in its application that causing the loss of legal certainty. Law enforcer, especially judge, in enforcing the rule of law must always use the method of law interpretation which appropriate with legal norm. With systematic interpretation, treachery can be interpreted according to the sentence of the rule as a unity of the legal system. In this case, the term treachery as regulated in Article 87 of the Criminal Code can be systematically interpreted as the basis for Article 104-Article 108 of the Criminal Code, Article 130 of the Criminal Code, and Article 140 of the Criminal Code which regulates various types of treason and their respective legal sanctions for the perpetrators. Further, on the argument that the articles of treachery in the Criminal Code also can not necessarily be said to limit the freedom of expression, because every citizen’s freedom has limitation, including the limitation of law and human rights.

Penulis: Luthvi Febryka Nola, S.H., M.Kn.

Abstrak:
Kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang merupakan salah satu mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat dipilih oleh para pihak dengan tujuan menyelesaikan masalah secara singkat murah dan transparan. Mekanisme kepailitan diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan). Namun dalam praktiknya UU Kepailitan memiliki banyak permasalahan terutama berkaitan dengan perlindungan konsumen. Tulisan ini akan membahas pengaturan kedudukan konsumen terkait kepailitan dan implementasinya. Penulis menemukan bahwa yang mengatur kedudukan konsumen dalam kepailitan tidak hanya UU Kepailitan akan tetapi juga KUHPerdata, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Pengaturan tersebut memiliki beberapa permasalah yaitu adanya ketidakjelasan dan ketidaksingkronan pengaturan serta pelanggaran asas peraturan perundang-undangan. Akibatnya dalam pelaksanaanya kedudukan konsumen menjadi sangat lemah. Konsumen kerap dikategorikan sebagai kreditor konkuren yang akan menerima ganti kerugian setelah kreditor separatis dan preferen. Sebaliknya, kedudukan kurator, pengurus, hakim pengawas sangat kuat sehingga memungkinkan terjadi penyimpangan seperti praktik mafia kepailitan yang merugikan konsumen. Berkaitan dengan budaya hukum, penegak hukum telah mengakui kedudukan konsumen sebagai kreditor dalam kepailitan hanya saja putusan hakim belum berpihak terhadap konsumen. Hal ini membuat masyarakat lebih memilih menyelesaikan sengketa melalui cara di luar kepailitan. Oleh sebab itu UU Kepailitan perlu mengatur kedudukan konsumen secara jelas; aturan tentang pengawasan juga perlu diperketat; dan sanksi yang tegas terhadap penegak hukum yang melanggar juga perlu diatur. Sedangkan UU lain perlu menyesuaikan aturan dengan UU Kepailitan supaya dapat dilaksanakan.

Penulis: Adi Haryono

Abstrak:
Berbagai skema PMA industri pertahanan di berbagai negara mengalami tahapan reformasi demi tercapainya revitalisasi industri dalam negeri maupun terciptanya industri yang berkesinambungan. Reformasi yang dilakukan meliputi peraturan penanaman modal dan tata kelola industri. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif tentang bidang usaha yang terbuka dan tertutup bagi PMA di industri pertahanan, dan bagaimana pemerintah membentuk Joint Venture (JV) yang berkesinambungan. Pemerintah telah mengatur tingkat partisipasi PMA di industri pertahanan berdasarkan tingkat nilai strategis suatu klaster industri pertahanan, melalui derajat pengendalian pihak asing di suatu perseroan pertahanan, dari sektor tertutup atau 0%, bersyarat di bawah BUMN hingga 49%, dan sektor terbuka hingga 100%. UU No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan mengatur bahwa Industri Alat Utama merupakan Industri yang tertutup bagi partisipasi asing, sementara UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengatur bahwa industri senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang tertutup bagi asing, sehingga harmonisasi peraturan diperlukan. Untuk membentuk JV yang berkesinambungan, perencanaan Pemerintah dan pengendalian JV memegang peranan penting. Penentuan sektor industri pertahanan yang berdaya saing dan ekonomis dilakukan oleh Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), termasuk penentuan BUMN dan Mitra PMA yang akan menjalankan organ perseroan JV. Pengendalian JV yang 51% sahamnya dimiliki oleh BUMN, akan dilakukan sesuai UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Penulis: Novianti, S.H., M.H.

Abstrak:
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan munculnya invensi-invensi baru, menyebabkan batasan ruang dan waktu semakin menipis. Dalam kaitannya dengan IPR, perkembangan tersebut menjadi tantangan untuk mewujudkan perlindungan HKI khususnya paten, baik dalam konteks nasional maupun internasional. Akan tetapi, persoalannya selama ini, sangat sulit melakukan penyeragaman pengaturan perlindungan paten antara satu negara dan negara-negara lainnya. Tiap-tiap negara menerapkan aturan pengelolaan dan pelindungan patennya sendiri dengan alasan bahwa paten merupakan suatu hak eksklusif yang diberikan oleh suatu negara dan karenanya segala hal yang terkait dengan pengelolaannya tidak bisa tidak menyentuh masalah kedaulatan suatu negara. Perkembangan global, terutama perkembangan iptek, memudahkan penyeragaman pengaturan paten secara internasional sekaligus memberikan pelindungan hukum terhadapnya. Hal itu tampak pada tersedianya suatu sistem yang terintegrasi, yang dapat diberlakukan secara seragam di semua negara yang meratifikasinya, yaitu Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulations Under the PCT. Masalah yang menjadi fokus tulisan ini adalah bagaimana pengaturan pelindungan paten melalui PCT dan bagaimana penerapan pelindungan paten melalui PCT. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pengaturan pelindungan paten melalui PCT terdapat dalam beberapa konvensi internasional, antara lain pengaturan Trip’s, PCT, dan WIPO. Dalam hukum nasional, PCT telah diratifikasi dengan Keppres No. 16 Tahun 1997 dan diatur dalam Pasal 33 UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten, yang menyatakan bahwa permohonan dapat diajukan berdasarkan Traktat Kerja Sama Paten. Dalam penerapannya, permohonan dan pelindungan paten melalui PCT belum menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan dan masih banyak ditemukan kendala.

Vol. 8 / No. 1 - Juni 2017

Penulis: Dian Cahyaningrum, S.H.. M.H.

Abstrak:
Persaingan yang cukup ketat di bidang perbankan di era global menghendaki adanya bentuk badan hukum yang sesuai untuk dapat menjalankan kegiatan usaha perbankan. Sehubungan dengan hal ini, bentuk badan hukum koperasi diragukan keandalannya untuk dapat menjalankan kegiatan usaha perbankan, seperti halnya perseroan terbatas (PT) sehingga muncul wacana untuk menutup peluang koperasi melakukan kegiatan usaha perbankan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perbankan. Melalui penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris dengan menggunakan data primer dan sekunder yang disajikan secara kualitatif dan dianalisis secara deskriptif dan preskriptif diperoleh hasil bentuk badan hukum koperasi perlu tetap dipertahankan dalam RUU Perbankan. Tidak diberinya peluang koperasi untuk menjalankan kegiatan usaha perbankan merupakan pelanggaran terhadap Pasal 33 ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga dapat diajukan judicial review. Tidak berkembangnya koperasi di bidang perbankan tidak berarti harus menghilangkan koperasi dalam RUU Perbankan melainkan harus diupayakan agar koperasi dapat berkembang dengan baik. Tidak berkembangnya koperasi di bidang perbankan tersebut disebabkan adanya permasalahan hukum yang dihadapi bank koperasi, di antaranya adanya dualisme pengaturan antara bidang perbankan dan koperasi. Permasalahan lainnya, koperasi diperlakukan seperti PT sehingga terjadi pelanggaran terhadap aturan dan prinsip-prinsip perkoperasian. Selain itu, juga tidak ada aturan area usaha bank sehingga bank koperasi yang modalnya kecil harus bersaing dengan bank-bank besar. Solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan melakukan terobosan hukum untuk merancang ulang peraturan perundang-undangan di bidang perkoperasian untuk dapat memisahkan bentuk badan hukum koperasi dan bidang usaha koperasi agar koperasi dapat berkembang dengan baik. Solusi lainnya perlu dibentuk undang-undang perbankan perkoperasian yang mengatur koperasi dalam menjalankan kegiatan usaha perbankan. Selain itu juga perlu ada aturan area usaha bank agar persaingan antar-bank dapat dilakukan secara sehat.

Penulis: Trias Palupi Kurnianingrum, S.H., M.H.

Abstrak:
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada dasarnya mempunyai nilai ekonomis. Dengan adanya perkembangan masyarakat global, HKI dapat dijadikan agunan untuk mendapatkan kredit perbankan secara internasional. Pengaturan materi baru terkait HKI sebagai objek jaminan kredit sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 16 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Pasal 108 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten secara tidak langsung menjadi landasan motivasi bagi para kreator, pencipta, inventor untuk lebih produktif dalam menciptakan karya-karya baru. Ini berarti juga menjadi dasar adanya pengakuan dan pelindungan bahwa negara menghargai karya mereka. Meskipun sudah dinyatakan tegas dalam peraturan perundang-undangan namun pemberlakuan tersebut masih mengalami kendala. Jangka waktu pelindungan HKI yang terbatas, belum adanya konsep yang jelas terkait due diligence, penilaian aset HKI, dan lembaga appraisal HKI di Indonesia, serta belum adanya dukungan yuridis baik dalam bentuk peraturan terkait aset HKI sebagai objek jaminan kredit perbankan maupun revisi mengenai Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 9/6/PBI/2007 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum terkait agunan kredit menjadi salah satu faktor utama mengapa pihak bank belum dapat menerima HKI sebagai objek jaminan kredit perbankan. Untuk mewujudkan konsep pembaharuan tersebut, diperlukan dukungan yuridis yang tegas dan detail terkait aset HKI sebagai objek jaminan kredit perbankan, sosialisasi secara menyeluruh, serta adanya lembaga appraisal HKI di Indonesia.

Penulis: Monika Suhayati, S.H., M.H.

Abstrak:
Penggunaan tenaga kerja asing (TKA) dan perizinannya di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan beserta peraturan pelaksanaannya. Perizinan penggunaan TKA merupakan salah satu perizinan yang dilakukan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Perizinan tersebut dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap proses Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing dan proses Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Tulisan ini hendak mempelajari urgensi perizinan TKA di PTSP, pengaturan perizinan TKA melalui PTSP, dan efektivitas pelaksanaan perizinan TKA melalui PTSP di daerah. Permasalahan dianalisa menggunakan asas legalitas, delegasi kewenangan, dan efektivitas penegakan hukum. Sebagai hasil dari kajian ini, urgensi perizinan TKA dilakukan di PTSP agar terciptanya penyederhanaan dan percepatan penyelesaian perizinan TKA yang akan meningkatkan investasi. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, penyelenggaraan PTSP oleh pemerintah daerah dilaksanakan oleh Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Provinsi atau Kabupaten/Kota berdasarkan pendelegasian wewenang dari gubernur atau bupati/walikota kepada Kepala BPMPTSP Provinsi atau Kabupaten/Kota. Dalam pelaksanaannya di beberapa daerah, terjadi permasalahan antara lain pengurusan penerbitan perpanjangan IMTA yang belum dilimpahkan ke PTSP Provinsi atau Kabupaten/Kota, belum semua Dinas Tenaga Kerja Provinsi atau Kabupaten/Kota menugaskan tenaga fungsional di PTSP Provinsi atau Kabupaten/Kota dengan mekanisme Bawah Kendali Operasi. Sebagai kesimpulan, perlu dilakukan revisi pengaturan kewenangan penerbitan IMTA perpanjangan di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, pembenahan koordinasi antarsektor terkait, peningkatan sosialisasi SPIPISE kepada masyarakat, penganggaran perbaikan sarana dan prasarana perizinan TKA di PTSP Provinsi atau Kabupaten/Kota, pembenahan dan peningkatan kinerja aparat penanaman modal.

Penulis: Inna Junaenah S.H., M.H. -- Bilal Dewansyah S.H., M.H.

Abstrak:
Peraturan perundang-undangan memberikan fungsi pembentukan peraturan daerah, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran, kepada DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ketiga fungsi tersebut memunculkan hak-hak secara kelembagaan maupun secara individu. Namun masih terjadi kesenjangan, yaitu ketiga fungsi secara kolektif dan kolegial tersebut belum diperkuat dengan ketentuan kewajiban yang tepat. Unsur kewajiban hanya dilekatkan kepada individu anggota, karena yang merepresentasikan rakyat pemilih adalah individu dan bukan kolektif. Meskipun demikian, ketentuan yang ada tidak dapat menjadikan anggota DPRD untuk meningkatkan kompetensinya supaya dapat memperkuat ketiga fungsi tersebut. Penelitian ini ingin mencari bagaimana rumusan model akuntabilitas anggota DPRD secara individu. Untuk memperoleh konsep tersebut, dilakukan perbandingan hukum mengenai praktik yang diterapkan di berbagai tempat sebagai cara memastikan fungsi-fungsi semacam city council terlaksana. Penelitian ini juga ingin menunjukkan bahwa upaya-upaya tersebut dapat diidentifikasi sebagai model akuntabilitas terhadap para councilor. Oleh karena itu, tujuan yang dikehendaki dari penelitian ini adalah terbangun konsep akuntabilitas anggota DPRD di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan pendekatan komparatif di Liverpool, Vancouver, dan Shah Alam. Adapun rekomendasi dalam penelitian ini berupa bahan perumusan ketentuan dalam suatu perubahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

Penulis: Muhammad Siddiq Armia Ph.D

Abstrak:
In the context of reviewing law through judiciary organ, the court plays significant role to review several regulation. This article specifically will discuss regarding the role of court on judicial review. This idea spreads out worldwide including in Indonesia. The Constitutional court and judicial review are two words which having inextricably meaning that attached to each other. On worldwide, the system of reviewing law by involving judges commonly has been practiced by several countries. There are two most significant state organs that plays role in the system, they are constitutional court and supreme court. Most countries do not have constitutional court and will deliver the authority of judicial review through supreme court. It has added more tasks, not only to adjudicate the common case, but also regarding constitutionality matter of an act against constitution. This model is commonly known as a centralized model, as practiced in the United State of America. In the Countries that owned a constitutional court, will certainly deliver the authority of judicial review through constitutional court. This model is commonly known as Kelsenian’s model. In this model, the constitutional court will merely focus on the constitutionality of regulations, and ensuring those regulations not in contradicting with the constitution. The Supreme Court in this model merely focus on handling common cases instead of regulations. Those two model of judicial review (through the constitutional court and the supreme court) has widely been implemented in the world legal systems, including in Indonesia. In the authoritarian regime, Indonesia implemented the centralized model, which positioned the Supreme Court as the single state organ to handle the common case and also judicial review. Having difficulties with the centralized model, after the constitution amendment in 2003, Indonesia has officially formed the constitutional court as the guardian of constitution. However, the Indonesian Constitutional Court (ICC) merely examine and/or review the statute that against the Indonesian’s Constitution year 1945, and related to the legislations products lower than the statute will remains the portion of the Supreme Court jurisdiction. Such modification is vulnerable resulting a judgement conflict between the ICC and the Supreme Court.

Penulis: Usman Pakaya S.S., M.A.

Abstrak:
Penelitian ini tentang penggunaan bahasa hukum dan aspek-aspek pembangun bahasa dalam teks hukum putusan perkara pidana. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teori pendukung di dalam menguraikan dan menganalisis persoalan putusan perkara pidana, di antaranya adalah bahasa hukum, struktur wacana, tindak tutur, pengistilahan, variasi bahasa, koherensi dan kohesi, serta karakteristik bahasa hukum. Sementara metodologi penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, metode ini digunakan untuk menemukan kebenaran ilmiah dari sebuah objek penelitian secara mendalam. Untuk sumber data penelitian, peneliti memperolehnya dari putusan perkara pidana PN Kota Gorontalo (kelas IB), PN Kabupaten Boalemo (kelas IIA), dan PN Kabupaten Pohuwato (kelas IIA). Pemilihan wilayah kota dan kabupaten dipertimbangkan untuk melihat keterwakilan sumber data berdasarkan pembagian kelas pada Pengadilan Negeri. Lebih lanjut penelitian ini bertujuan mengelaborasi bahasa hukum, struktur, tindak tutur, pengistilahan, gaya bahasa, serta koherensi dan kohesi putusan perkara pidana. Adapun hasil penelitian menunjukan bahwa surat putusan perkara pidana dibangun dari beberapa unsur pembangun bahasa, yaitu struktur wacana, tindak tutur, pengistilahan, variasi bahasa, koherensi dan kohesi, serta karakteristik khas.

Vol. 7 / No. 2 - November 2016

Penulis: Novianti, S.H., M.H.

Abstrak:
Rencana aksesi Protokol Madrid oleh Pemerintah Indonesia, menuai berbagai sikap pro dan kontra. Sikap yang timbul di masyarakat disebabkan oleh kekhawatiran dampak negatif atas aksesi protokol tersebut, di antaranya terkait dengan peran konsultan HKI menjadi berkurang karena pemilik merek dapat langsung dengan mudah mendaftarkan mereknya ke beberapa negara yang tergolong dalam Protokol Madrid tersebut. Permasalahan dalam tulisan ini yakni mengenai implikasi aksesi terhadap Protokol Madrid bagi Indonesia. Adapun yang menjadi tujuan dalam tulisan ini adalah untuk mengetahui implikasi aksesi Protokol Madrid bagi Indonesia. Hasil dari kajian ini menunjukkan aksesi terhadap Protokol Madrid berimplikasi terhadap beberapa hal yakni penyesuaian Undang-Undang di bidang Merek melalui revisi UU Merek dan kesiapan sumber daya manusia di bidang merek. Selain itu, dalam melakukan aksesi terhadap Protokol Madrid juga harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugian sebagai implikasi dari aksesi Protokol tersebut.

Penulis: Dian Cahyaningrum, S.H.. M.H.

Abstrak:
Laku pandai merupakan program baru pemerintah untuk menyediakan akses layanan keuangan bagi masyarakat di seluruh pelosok tanah air. Sebagai program baru, maka yang menjadi permasalahan adalah bagaimana penyelenggaraan laku pandai dan apakah nasabah terlindungi dengan baik. Melalui penelitian yuridis empiris, dengan menggunakan pendekatan kualitatif diperoleh hasil bahwa laku pandai telah terselenggara dengan baik, namun masih terkendala dengan rendahnya sinyal internet dan ketersediaan listrik. Secara yuridis, nasabah juga mendapatkan pelindungan. Namun ada beberapa masalah terkait pelindungan nasabah yaitu kesadaran nasabah untuk menjaga kerahasiaan kode sandi, PIN, dan OTP rendah; nasabah ditarik biaya di luar ketentuan; biaya pulsa ponsel yang tinggi; dan belum ada aturan yang secara jelas mengatur kewajiban agen beserta sanksinya untuk menjaga rahasia data nasabah dan simpanannya. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, agar laku pandai terselenggara dengan baik, perlu ada upaya untuk menyediakan jaringan internet dan listrik di lokasi agen. Nasabah perlu diberikan kesadaran tentang pentingnya menjaga kerahasiaan kode sandi, PIN, dan OTP. Bank penyelenggara juga seharusnya mengawasi dan menegur agennya yang melakukan pelanggaran. Oleh karena itu, perlu dibentuk aturan yang jelas beserta sanksinya mengenai kewajiban agen untuk menjaga kerahasiaan data nasabah dan simpanannya.

Penulis: Monika Suhayati, S.H., M.H.

Abstrak:
Legalitas usaha mikro dan kecil (UMK) melalui perizinan sangat penting bagi UMK untuk dapat mengakses permodalan dalam mengembangkan usahanya dan bersaing dengan produk barang dan jasa dari dalam dan luar negeri. Perizinan untuk UMK diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2014 tentang Perizinan untuk Usaha Mikro dan Kecil yang merupakan suatu bentuk penyederhanaan perizinan UMK. Pokok permasalahan yang hendak dianalisis dalam tulisan ini yaitu urgensi dari penyederhanaan perizinan usaha bagi pengembangan usaha pelaku UMK serta pelaksanaan perizinan UMK di Provinsi DIY dan kendalanya. Permasalahan ini akan dianalisis menggunakan konsep Demokrasi Ekonomi (Pasal 33 UUD Tahun 1945) dan konsep Negara Hukum Kesejahteraan. Di Provinsi DIY, Perpres IUMK baru dilaksanakan di Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta. Kendala dalam pelaksanaannya yaitu belum semua kabupaten mendelegasikan kewenangan pemberian IUMK kepada camat sebagaimana mandat Perpres IUMK, adanya kewajiban pembayaran pajak oleh UMK yang telah memiliki IUMK sebesar 1% dari omset, dan pembiayaan penerbitan IUMK di kecamatan belum teranggarkan di APBD masing-masing kabupaten/kota. Sebagai saran dari kajian ini, pertama, Pemerintah Provinsi DIY perlu melakukan sosialisasi mengenai IUMK kepada pemerintah kabupaten dan kota yang belum mengeluarkan peraturan bupati/walikota. Kedua, pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi DIY perlu menganggarkan pembiayaan penerbitan IUMK di kecamatan dalam APBD masing-masing kabupaten dan kota. Ketiga, perlu sosialisasi pentingnya pembayaran PPh untuk pengembangan usaha UMK oleh pihak aparatur pajak.

Vol. 7 / No. 1 - Juni 2016

Penulis: Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.

Abstrak:
Dalam struktur perekonomian Indonesia UMKM memiliki potensi yang besar dan strategis. Namun, keterbatasan lembaga pembiayaan (availability), akses kepada lembaga pembiayaan (accesibility), dan kemampuan mengakses pembiayaan (ability) menjadi kendala bagi UMKM dalam mengembangkan usahanya. Keterbatasan tersebut lebih dikarenakan ketidakmampuan UMKM dalam menyediakan agunan dan tidak adanya administrasi yang baik terkait usahanya sehingga dinilai tidak bankable. UU No. 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan menjadi jembatan bagi UMKM yang prospektif dan feasible untuk memperoleh penjaminan kredit melalui lembaga penjamin. Tulisan ini menganalisis perjanjian penjaminan kredit antara UMKM dan lembaga penjamin dan penyelesaian sengketa antara para pihak dalam perjanjian penjaminan, yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. Hasil analisis mengungkapkan bahwa UU No. 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan berupaya memberikan kemudahan dan pelindungan kepada UMKM memperoleh jaminan kreditnya, tanpa mengabaikan pelindungan terhadap pihak penjamin dan penerima jaminan. UU No. 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan mengatur mekanisme penyelesaian sengketa melalui dua cara yaitu litigasi dan non-litigasi dengan mengutamakan penyelesaian sengketa melalui musyawarah mufakat sesuai dengan karakteristik UMKM yang memiliki keterbatasan dana, waktu, dan SDM.

Penulis: Trias Palupi Kurnianingrum, S.H., M.H.

Abstrak:
Pelindungan hukum atas indikasi geografis sangat penting dilakukan. Indikasi geografis merupakan suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Ciri dan kualitas barang yang dipelihara dan dapat dipertahankan dalam jangka waktu tertentu akan melahirkan reputasi atas barang tersebut, yang selanjutnya memungkinkan barang tersebut memiliki nilai ekonomi tinggi. Meskipun memiliki potensi ekonomi, sayangnya bentuk kesadaran masyarakat akan pentingnya pendaftaran indikasi geografis masih kurang. Perlu adanya kesadaran hukum bagi masyarakat dan juga peran dari pemerintah daerah untuk mendata produk-produk daerah mereka sebagai bagian bentuk pelindungan hak ekonomi atas indikasi geografis.

Penulis: Luthvi Febryka Nola, S.H., M.Kn.

Abstrak:
Berbagai produk perundang-undangan telah mengatur adanya pelindungan hukum bagi TKI mulai dari UUD 1945 sampai dengan Peraturan Daerah. Namun jumlah TKI bermasalah dalam satu dekade terakhir tidak menunjukkan angka penurunan yang berarti. Kondisi ini disebabkan begitu banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum terkait dengan pelindungan TKI baik dari hukum itu sendiri, sarana dan prasarana, maupun budaya. Permasalahan tersebut dapat diatasi apabila aparat penegak hukum dapat bekerja dengan baik. Untuk itu diperlukan adanya suatu sistem pelindungan secara terpadu dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan pelindungan TKI. Sistem pelindungan tersebut dilakukan melalui sistem pelayanan terpadu dan konsep pelindungan terpadu hendaknya dituangkan dalam revisi UU TKI yang saat ini sedang dilakukan pembahasan di DPR.

Penulis: Marfuatul Latifah, S.H.I., LL.M.

Abstrak:
Rencana revisi UU No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana terhambat oleh isu krusial yang belum dapat diselesaikan, yaitu keberadaan otoritas pusat. Kemenkumham ingin mempertahankan posisinya sebagai otoritas pusat, sedangkan Kejaksaan Agung merasa bahwa institusinya lebih cocok menjadi otoritas pusat. Tulisan mengkaji penunjukan otoritas pusat di beberapa negara Asia Pasifik dan menemukan bahwa setiap negara bebas menentukan pihak mana saja di dalam bagan organisasi negaranya yang akan ditunjuk untuk menjadi otoritas pusat dalam bantuan timbal balik pidana sesuai dengan sistem hukum yang berlaku di negaranya masing-masing, karena UNCAC dan UNTOC tidak menegaskan pihak mana yang harus ditunjuk untuk menjadi otoritas pusat dalam bantuan timbal balik pidana. Sebaiknya penunjukan otoritas pusat tetap pada Kemenkumham karena otoritas pusat merupakan entitas yang bersifat administratif dan Kemenkumham dapat tetap menjalankan fungsi tersebut karena bukan merupakan institusi yang bersinggungan langsung dengan penegakan hukum.

Penulis: Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM.

Abstrak:
Kajian ini menganalisa latar belakang pengaturan “hukum yang hidup di masyarakat” sebagai asas legalitas hukum pidana dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), serta mencari solusi penyelesaian masalah pro dan kontra pengaturan “hukum yang hidup di masyarakat” sebagai asas legalitas hukum pidana Indonesia. Kajian ini mengulas asas legalitas materil dengan cara mengkaji hakikat asas legalitas, dan juga melihat permasalahan dengan menggunakan paradigma hukum progresif dan pemikiran pluralisme hukum. Berdasarkan pembahasan, disimpulkan bahwa kebijakan legislatif nasional pasca kemerdekaan dan kesepakatan dalam seminarseminar nasional merupakan dasar pengaturan asas legalitas materil dalam RUU KUHP. Perumus RUU KUHP juga bermaksud menggantikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan kolonial Belanda dengan hukum pidana yang lebih sesuai dengan nilai-nilai ke-Indonesia-an. Persoalan pro kontra pengaturan “hukum yang hidup di masyarakat” dapat diselesaikan dengan cara membangun terlebih dahulu persamaan paradigma antar para legislator berkenaan dengan ruh dan semangat arah politik hukum pidana yang akan dituju. Semangat politik hukum pidana yang diinginkan haruslah jelas, sehingga dapat diterima sebagai keputusan politik bersama.

Penulis: Dr. Fadli Zon, S.S., M.Sc -- Prof. Dr. Susanto Zuhdi, M.Hum -- Dr. Muhammad Iskandar, S.S., M.Hum.

Abstrak:
Pasal 33 UUD 1945 dimaksudkan oleh perumusnya sebagai ideologi ekonomi Indonesia. Di dalam pasal tersebut terkandung gagasan mengenai kedaulatan ekonomi untuk melengkapi kemerdekaan politik Indonesia. Sebagai rumusan yang mengandung gagasan ideologis, Pasal 33 seharusnya dipahami dengan perangkat pemikiran yang komprehensif, sejalan dengan multidisiplin-pemikiran yang telah melatarbelakangi penyusunannya. Sejumlah ekonom yang terlibat dalam proses perubahan Pasal 33 UUD 1945 gagal memahami posisi dan kedudukan pasal tersebut. Artikel ini merupakan tinjauan sejarah hukum atas kedudukan Pasal 33 UUD 1945 di dalam konstitusi dan alam pikir keindonesiaan.

Penulis: Harris Yonatan Parmahan Sibuea, S.H., M.Kn.

Abstrak:
Rentetan peristiwa kematian akibat penyalahgunaan minuman beralkohol sampai saat ini masih sering terjadi. Indonesia sebagai negara hukum dalam konstitusinya telah menjamin bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dua hal yang bertolak belakang tersebut menggambarkan efektifitas hukum belum maksimal diterapkan dalam peraturan perundang-undangan berkaitan dengan pengendalian minuman beralkohol. Kajian ini bermaksud untuk membahas mengenai permasalahan bagaimana pengaturan minuman beralkohol di Indonesia serta bagaimana penegakan hukum pengaturan minuman beralkohol di Indonesia. Masalah ini menjadi penting untuk dikaji mengingat sampai sekarang pengaturan mengenai minuman beralkohol masih tersebar secara sektoral di berbagai peraturan perundang-undangan. RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol diharapkan dapat mengakomodir semua permasalahan hukum mulai dari pengendalian minuman beralkohol sampai pada batasan konsumsi minuman beralkohol. Penegakan hukum pengaturan minuman beralkohol belum optimal terealisasi di Indonesia. Hal ini disebabkan beberapa faktor efektivitas hukum belum terpenuhi secara maksimal.

Vol. 6 / No. 2 - November 2015

Penulis: Andy Wiyanto

Abstrak:
Perubahan UUD 1945 membawa pergeseran paradigma hubungan antar-lembaga negara. Pembagian kekuasaan membentuk undang-undang setelah perubahan UUD 1945 mengalami perubahan secara signifikan. Namun pergeseran kekuasaan tersebut, bukan berarti tanpa kelemahan konseptual. Pendulum kekuasaan yang tadinya dominan eksekutif, kini menjadi dominan DPR. Gagasan untuk membatasi kekuasaan Presiden, ternyata teraplikasikan dalam sebuah norma. Selain karena Presiden masih memiliki kekuasaan yang cukup besar dalam membentuk undang-undang, sementara kekuasaan membentuk undang-undang yang dimiliki DPD tidak terlalu besar. Secara konseptual, kekuasaan membentuk undang-undang dalam sistem pemerintahan presidensial harus ditempatkan sebagai kekuasaan yang dimiliki legislatif. Sehingga terdapat pembagian kekuasaan yang seimbang dalam lembaga legislatif, yaitu antara DPR dan DPD. Sedangkan kedudukan Presiden dalam kekuasaan membentuk undang-undang harus ditempatkan sebagai pengejawantahan atas prinsip checks and balances. Oleh karena itu, pembagian kekuasaan dalam pembentukan undang-undang masih perlu disempurnakan. Tulisan ini berusaha untuk menjawab tantangan tesebut dan berupaya menggagas format yang lebih baik lagi ke depan.

Penulis: Denico Doly, S.H., M.Kn.

Abstrak:
KPI sebagai lembaga negara independen yang diatur dalam UU Penyiaran dinilai belum dapat melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya secara maksimal. Hal ini dikarenakan berbagai permasalahan yang ada dalam tubuh KPI. Kelembagaan dan peraturan pelaksana undang-undang merupakan permasalahan utama bagi KPI dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya. Upaya penguatan kelembagaan KPI perlu dilakukan dengan melakukan pembenahan dalam tubuh KPI. Adapun pembenahan ini dilakukan dengan mempertegas kelembagaan KPI, merubah struktur kelembagaan KPI, dan memberi perangkat hukum yang dapat menunjang kinerja KPI.

Penulis: Dr. Inosentius Samsul

Abstrak:
Penelitian tentang penegakan hukum perlindungan konsumen melalui penyelenggaraan metrologi legal dalam era desentraliasi didasarkan pada pemikiran bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal merupakan produk hukum pada pemerintahan yang bersifat sentralistik. Setelah memasuki era desentralisasi yang dimulai pada tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 maka jelas sistem penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut kewenangan pemerintah pusat dan daerah berbeda. Penelitian ini juga penting ini penting sebab baik pada era sentralistik maupun desentralistik tetap berkaitan dengan kepentingan perlindungan konsumen. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal tetap memiliki aspek perlindungan konsumen baik pada era sentralistik, maupun desentralistik. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk menjawab dua pertanyaan, yaitu pertama bagaimana penyelenggaraan metrologi legal sebagai bentuk perlindungan konsumen oleh Pemerintah Daerah? Kedua, faktor-faktor apa saja yang berkontribusi dalam penegakan hukum metrologi legal? Penelitian ini adalah penelitian sosio-legal. Penelitian ini sampai pada temuan, yaitu bahwa penyelenggaraan oleh pemerintah daerah berbeda-beda, dengan kewenangan yang tidak sama antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, sebab urusan metrologi legal adalah urusan pilihan. Kedua, ada faktor hukum dan non-hukum sebagai penghambat bagi pelaksanaan urusan metrologi legal, yaitu faktor norma, faktor penegak hukum/SDM, faktor sarana dan prasarana, serta faktor masyarakat dan budaya hukum. Disarankan agar penyelenggaraan metrologi legal menjadi urusan wajib yang diletakan di kabupaten/kota. Hal tersebut disamping dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah, perlu juga ditetapkan dalam Undang-Undang tentang Metrologi Legal yang baru.

Penulis: Hanafi Amrani

Abstrak:
Artikel ini bertujuan menganalisis perlindungan konsumen terhadap praktik bisnis curang dan problematika penegakan hukumnya melalui sarana hukum pidana. Tiga kategori praktik bisnis curang yang rentan terhadap pelanggaran hak-hak konsumen yang dibahas dalam artikel ini adalah produk makanan dan obat-obatan yang berbahaya bagi kesehatan, pemberian keterangan yang tidak benar terhadap suatu produk barang atau jasa, dan iklan yang menyesatkan. Praktik bisnis curang yang masuk ke dalam ketiga kategori tersebut dalam praktiknya terjadi perbedaan sudut pandang, apakah tergolong ‘business tort’ ataukah sudah masuk ke dalam kategori ‘business crime’ sehingga kebijakan untuk melakukan kriminalisasi dapat dilakukan. Di samping itu juga ada perbedaan sudut pandang terkait dengan apakah suatu perbuatan masih dalam kategori legal atau paling tidak unethical ataukah sudah masuk ke dalam kategori illegal yang harus dikenakan sanksi pidana. Hukum pidana sebagai salah satu sarana dalam memberikan perlindungan konsumen terhadap praktik bisnis curang nampaknya masih menghadapi berbagai kendala. Kendala tersebut tentu saja menimbulkan problematika dalam penegakan hukumnya. Masalah-masalah yang diidentifikasi dapat mempengaruhi terhadap penegakan hukum ini meliputi masalah perundang-undangan, masalah pembuktian, masalah sarana atau fasilitas yang tidak memadai, masalah profesionalisme aparat penegak hukum, masalah sikap mental aparat dan Pelaku Usaha, dan yang tidak kalah penting adalah ‘political will’ dari pemerintah terkait dengan perlindungan konsumen.

Vol. 6 / No. 1 - Juni 2015

Penulis: Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM.

Abstrak:
Kasus kekerasan seksual semakin marak akhir-akhir ini, data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual di Indonesia meningkat terus setiap tahunnya. Hal ini membuktikan masih lemahnya perlindungan hukum dalam kasus-kasus kekerasan seksual di Indonesia. Peraturan hukum terkait kekerasan seksual sebenarnya sudah ada, namun secara substansi ternyata masih memiliki banyak kekurangan sehingga dianggap belum bisa menanggulangi kekerasan seksual selama ini. Dalam kajian ini penulis bermaksud untuk menganalisis persoalan bagaimana seharusnya pemerintah mengambil langkah-langkah kebijakan dalam menanggulangi kekerasan seksual di Indonesia. Dalam pembahasan dipahami bahwa selama ini pemerintah memang telah melakukan berbagai upaya dalam menanggulangi kekerasan seksual, baik secara penal maupun non penal, namun dalam kenyataannya masih belum efektif. Oleh sebab itu, di masa yang akan datang diperlukan peningkatan terhadap langkah dan kebijakan pemerintah. Di antaranya bahwa pemerintah perlu melakukan kebijakan kriminalisasi terhadap bentuk-bentuk baru kekerasan seksual baik melalui Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau dalam Rancangan Undang-Undang Kekerasan Seksual. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan upaya non-penal melalui kegiatan seperti penyantunan dan pendidikan sosial, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral dan agama. pengawasan oleh polisi dan aparat keamanan di tempat-tempat yang rawan kejahatan seksual seperti dipabrik dan sekolahan.

Penulis: Marfuatul Latifah, S.H.I., LL.M.

Abstrak:
Tindak pidana dengan motif ekonomi di Indonesia semakin kompleks baik dalam jenis maupun upaya penyelesaiannya. Upaya pemerintah Indonesia untuk melakukan perampasan aset hasil tindak pidana dengan motif ekonomi kerap menemui kendala sehingga upaya perampasan aset hasil tindak pidana sering kali tidak berjalan dengan efektif. Tulisan ini bermaksud mengkaji mengenai praktek perampasan aset hasil tindak pidana di Indonesia dan urgensi pembentukan undang-undang tentang perampasan aset di Indonesia. Dalam kajian ditemukan bahwa dalam sistem hukum Indonesia perampasan aset dilakukan dengan 2 metode yaitu metode pidana dan metode perdata. Ketentuan akan perampasan aset di Indonesia baik secara pidana maupun perdata telah dituangkan dalam beberapa peraturan hukum seperti KUHP, KUHAP, dan Undang-Undang Tipikor. Namun ketentuan yang ada ternyata belum dapat menjadi landasan agar upaya perampasan aset menjadi efektif. Hal inilah yang menjadi landasan mengapa Indonesia membutuhkan Undang-Undang tentang Perampasan Aset. Selain ketentuan yang belum memadai, urgensi Undang-Undang tentang Perampasan Aset juga dapat dilihat dari posisi Indonesia sebagai negara peratifikasi UNCAC. UNCAC telah mengatur mengenai mekanisme yang dianggap lebih efektif dalam upaya perampasan aset, yaitu perampasan aset tanpa pemidanaan. Dengan menjadi negara peratifikasi maka Indonesia harus melakukan penyesuaian ketentuan yang berlaku di dalam sistem hukumnya dengan UNCAC.

Penulis: Harris Yonatan Parmahan Sibuea, S.H., M.Kn.

Abstrak:
Tingkat peredaran gelap narkotika di Indonesia sampai saat ini tidak menunjukkan penurunan yang signifikan. Pemerintah Indonesia masih fokus pada aspek pemberantasan narkotika dan belum secara maksimal menyentuh pada aspek pencegahan narkotika. Tulisan ini menggambarkan beberapa faktor yang menyebabkan tingginya tingkat peredaran gelap narkotika di Indonesia seperti kedudukan pengguna narkotika yang disamakan dengan pelaku kejahatan dan fasilitas rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika yang tidak memadai. Konsep sistem hukum yang mempunyai 3 unsur yaitu substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum menjadi dasar untuk menganalisis permasalahan dalam tulisan ini. Indonesia dapat bebas dari peredaran gelap narkotika dengan memperbaiki sistem hukum yaitu perbaikan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, perbaikan koordinasi instansi penegak hukum yang berkaitan dengan narkotika dan masyarakat yang mendukung penegakan hukum yang berkaitan dengan narkotika.

Penulis: Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.

Abstrak:
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mewajibkan semua Unit Usaha Syariah melakukan pemisahan dari bank induknya menjadi Bank Umum Syariah pada tahun 2023. Kewajiban tersebut merupakan bentuk upaya penguatan dan pengembangan operasionalisasi perbankan syariah di Indonesia. Salah satu Unit Usaha Syariah yang berkomitmen untuk melaksanakan spin-off lebih cepat adalah Unit Usaha Syariah PT Bank Aceh dan telah mendapat dukungan kuat Pemerintah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh melalui Qanun Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Pembentukan Bank Aceh Syariah. Tulisan ini mengangkat permasalahan utama bagaimana peran Undang-Undang Perbankan Syariah dalam upaya meningkatkan pengembangan perbankan syariah dengan menganalisis beberapa pertanyaan yaitu: bagaimana Ketentuan Peralihan Undang-Undang Perbankan Syariah mengatur spin-off Unit Usaha Syariah menjadi Bank Umum Syariah dan bagaimana pengembangan Unit Usaha Syariah PT Bank Aceh berdasarkan Undang-Undang Perbankan Syariah. Hasil analisis menunjukan bahwa kebijakan pemberian izin pendirian Unit Usaha Syariah oleh bank umum konvensional bersifat sementara dan wajib spin-off 2023 dapat menjadi mendorong praktik perbankan syariah yang mengedepankan prinsip syariah tanpa terintervensi kebijakan bank konvensional induknya, fleksibel dalam pengambilan keputusan bisnis, dan mampu berkompetisi dengan bank konvensional. Namun, beberapa permasalahan yang dihadapi Unit Usaha Syariah untuk dapat melaksanakan spin-off sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, dapat menghambat implementasi spin-off. Perlu komitmen kuat dan persiapan matang oleh para pemangku kepentingan, baik pelaku usaha perbankan maupun pemerintah.

Penulis: Dian Cahyaningrum, S.H.. M.H.

Abstrak:
Meningkatnya kepemilikan asing atas saham bank yang saat ini meresahkan disebabkan peraturan perundang-undangan sektor perbankan membuka kesempatan bagi asing untuk memiliki saham bank hingga mencapai 99%. Dibukanya kesempatan ini dimaksudkan untuk memperluas kepemilikan saham bank dan mempermudah bank untuk meningkatkan struktur permodalan. Pengaturan ini menimbulkan implikasi positif, yaitu terciptanya Good Corporate Governance dan meningkatnya kinerja bank. Namun pengaturan tersebut juga dikhawatirkan dapat menimbulkan implikasi negatif yaitu bank dikendalikan oleh asing; terdesaknya pangsa pasar bank yang dimiliki Warna Negara Indonesia dan/atau Badan Hukum Indonesia; bank cenderung memberikan kredit konsumtif; penghasilan dan keuntungan bank disimpan di luar negeri; dan tingginya risiko pelarian modal ke luar negeri jika terjadi krisis. Sehubungan dengan implikasi positif dan negatif tersebut, perlu ada pengkajian yang mendalam mengenai perlu atau tidaknya pembatasan kepemilikan asing atas saham bank dalam Undang-Undang.

Penulis: Trias Palupi Kurnianingrum, S.H., M.H.

Abstrak:
Perkembangan ekonomi kreatif yang menjadi salah satu andalan Indonesia dan berbagai negara, serta berkembang pesatnya teknologi informasi dan komunikasi telah mengharuskan adanya pembaruan UU Hak Cipta. Hal ini, dikarenakan UU tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi kekinian. Kajian ini bermaksud untuk membahas mengenai permasalahan apa sajakah yang menjadi dasar adanya penggantian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta serta materi-materi baru apa sajakah yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Masalah ini menjadi penting untuk dikaji mengingat hak cipta telah menjadi basis terpenting dari bagian industri ekonomi kreatif nasional, sehingga dengan adanya penggantian Undang-Undang Hak Cipta ini diharapkan dapat lebih memenuhi unsur perlindungan dan pengembangan terhadap ekonomi kreatif. Dalam pembahasan dikatakan bahwa materi baru yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dinilai merupakan suatu pembaharuan hukum khususnya untuk memberikan perlindungan maksimal baik hak ekonomi maupun hak moral terhadap pencipta dan pemilik hak terkait, namun perlu adanya pengaturan pelaksana lebih lanjut supaya perlindungan dan kepastian hukum dapat diimplementasikan dengan baik. Jaminan kepastian hukum melalui UU Hak Cipta 2014 diharapkan dapat mendukung peningkatan investasi di dalam negeri dan prospek perdagangan produk Indonesia di tingkat internasional.

Vol. 5 / No. 2 - November 2014

Penulis: Dr. Inosentius Samsul

Abstrak:
Ketika lembaga negara yang formal mengalami krisis kepercayaan masyarakat dalam menyelesaikan sengketa dalam masyarakat, muncul permintaan untuk memperkuat peran lembaga adat sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa. Permasalahan yang menjadi fokus dari penelitian ini pertama, bagaimana pengaturan mengenai pengakuan terhadap lembaga adat dalam hukum positif saat ini? Kedua, bagaimana kewenangan lembaga adat dalam menyelesaikan sengketa? Ketiga, upaya apa yang dilakukan oleh masing-masing daerah untuk memperkuat peran lembaga adat. Penelitian ini merupakan penelitian sosio-yuridis, karena di samping bersifat normatif juga menjelaskan aspek non-yuridis mengenai peran lembaga adat dalam penyelesaian sengketa. Secara teoritis penelitian ini merupakan penelitian mengenai aspek kelembagaan hukum serta penegakan hukum di dua daerah, yaitu Provinsi Papua dan Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa pengaturan mengenai pengakuan terhadap lembaga adat masih bersifat menyebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik dari konstitusi maupun dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Penyelesaian mengedepankan muyawarah merupakan salah satu yang positif dari mekanisme penyelesaian sengketa melalui lembaga adat. Provinsi Papua dan Kabupaten Muara Enim memperkuat lembaga adat dengan mengeluarkan peraturan daerah. Penulis merekomendasikan perlunya pengaturan dalam Undang-Undang tersendiri yang disusun secara sistematis dan komprehensif mengenai lembaga adat yang mengatur mengenai perannya sebagai lembaga alternative penyelesaian sengketa.

Penulis: Shanti Dwi Kartika, S.H., M.Kn.

Abstrak:
Indonesia dengan kondisi geografis dan potensi sumber daya alamnya diakui sebagai negara kepulauan dan negara maritim. Ini juga menempatkan Indonesia sebagai centre of gravity and the global supply chain system. Kondisi ini menyebabkan Indonesia mengalami ancaman, gangguan, dan kendala yang berimplikasi pada keamanan maritim negara. Kedudukan ini harus didukung dengan sistem pertahanan dan keamanan yang tangguh dan mengubah pola pembangunan nasional yang tidak hanya berorientasi pada matra darat tetapi juga berorientasi pada matra laut. Untuk itu, telah ditetapkan beberapa kebijakan dan regulasi, namun sampai saat ini regulasi tersebut masih bersifat sektoral sehingga timbul disharmoni dan tumpang tindih peraturan dan kewenangan dalam keamanan laut. Ini juga berlaku bagi sistem penegakan hukum dan kedaulatan negara di laut yang dipengaruhi oleh peraturan perundang-undangan tersebut. Atas dasar itu, maka keamanan maritim dari aspek regulasi dan penegakan hukum perlu dilakukan harmonisasi sistem hukum dan peraturan perundang-undangan, segera menyelesaikan dan menentukan batas wilayah negara baik di darat, laut, dan udara, serta menunjuk TNI AL yang paling bertanggung jawab terhadap keamanan maritim dan berfungsi sebagai penanggung jawab sektor.

Penulis: Dyah Adriantini Shinta Dewi

Abstrak:
Pelayanan pubik yang baik merupakan hak dan dambaan bagi setiap warga negara, terutama dalam konsep welfare state yang mengutamakan terwujudnya kesejahteraan masyarakat, namun saat ini masih banyak terjadi maladministrasi yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Untuk itu perlu dianalisa bagaimana mewujudkan pelayanan publik yang baik sebagai sarana mewujudkan good governance. Paling tidak ada 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi untuk terwujudnya pelayanan publik yang baik, yaitu 1) keterbukaan, 2) pengawasan, 3) keadilan. Keterbukaan diperlukan agar masyarakat mengetahui rencana kerja pemerintah dan melakukan pengawasan agar tidak terjadi penyimpangan. Sementara itu, untuk mewujudkan keadilan, maka proses pembuatan peraturan atau kebijakan harus dilakukan melalui tahapan: perumusan masalah, agenda kebijakan, pemilihan alternatif kebijakan, dan penetapan kebijakan sebagai sebuah sistem yang harus dipenuhi secara bersama. Perlu kerjasama antara pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkannya.

Penulis: Luthvi Febryka Nola, S.H., M.Kn.

Abstrak:
Keberadaan LPKSM di Indonesia sangatlah penting dan memiliki potensi untuk dikembangkan dalam rangka membantu pemerintah melindungi hak konsumen terutama terkait dengan hak untuk mendapatkan advokasi. Tulisan ini membahas bentuk advokasi hukum dan upaya yang dapat dilakukan untuk memperkuat advokasi hukum yang dilakukan oleh LPKSM. Penulis menemukan bahwa LPKSM telah secara aktif melakukan advokasi hukum dalam bentuk lobi berupa demonstrasi dan masukan terhadap perubahan kebijakan, memberikan pendidikan dan informasi peraturan perundang-undangan, upaya mencari solusi, pembelaan di pengadilan dan luar pengadilan serta mengikutsertakan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Namun kelemahannya adalah peraturan perundang-undangan tentang perlindungan konsumen tidak mengatur secara tegas advokasi hukum oleh LPKSM, sehingga terdapat potensi anarki, kurangnya media pendukung dan kebijakan pemerintah daerah yang kurang perduli dengan masalah perlindungan konsumen. Oleh sebab itu menurut penulis pengaturan kegiatan advokasi hukum LPKSM dalam UU Perlindungan Konsumen perlu dipertegas terutama menyangkut pengertian, jenis, bentuk kegiatan, sanksi dan penghargaan, pembiayaan, pembentukan asosiasi dan kode etik bagi LPKSM.

Penulis: Monika Suhayati, S.H., M.H.

Abstrak:
Indonesia memberikan pelindungan terhadap karya cipta melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). UU Hak Cipta mengatur mengenai hak cipta dan hak terkait. Hak terkait merupakan hak eksklusif bagi pelaku pertunjukan, produser fonogram, atau lembaga penyiaran. Dalam pelaksanaan undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 terdapat permasalahan berkaitan dengan pemilik hak terkait dimana pemilik hak terkait tidak mendapatkan manfaat ekonomi atau pendapatan sesuai dengan hak yang dimiliki sebagaimana diatur dalam undang-undang. Penyebabnya antara lain pengguna produk hak terkait enggan membayarkan royalti karena merasa ditagih oleh beberapa lembaga manajemen kolektif. Permasalahan ini akan dikaji menggunakan teori hukum progresif Satjipto Rahardjo yang antara lain menyatakan hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia. Dalam bagian pembahasan diberikan analisa pengaturan hak moral dan hak ekonomi pemilik hak terkait yang telah diatur lebih lengkap dalam UU Hak Cipta dibandingkan dalam undang-undang sebelumnya. UU Hak Cipta juga telah mengakomodasi ketentuan internasional mengenai hak eksklusif pemilik hak terkait. Dalam hal ini, UU Hak Cipta telah menjadi hukum yang progresif, khususnya bagi pemilik hak terkait. Sebagai saran disampaikan untuk mengefektifkan pelaksanaan UU Hak Cipta maka pelindungan yang telah diberikan dalam UU Hak Cipta harus diikuti dengan penegakan hukum secara konsisten oleh aparat penegak hukum sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang.

Penulis: Novianti, S.H., M.H.

Abstrak:
Memorandum of Understanding (MoU) antara PMI dan ICRC terkait dengan pemberian bantuan kemanusiaan ditinjau dari perspektif hukum internasional merupakan suatu kerjasama yang dibuat oleh subjek hukum internasional yakni ICRC dan PMI. MoU antara ICRC dengan PMI dalam pemberian bantuan kemanusiaan selain memberikan manfaat terhadap masyarakat yang terkena dampak dari berbagai situasi kekerasan dan bencana, namun juga menjadi permasalahan terkait dengan kedudukan MoU dan ruang lingkup kerjasama antara PMI dan ICRC yang begitu luas. Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang merupakan penelitian yuridis normatif dan menggunakan metode pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan penelitian dilapangan melalui wawancara secara mendalam dengan pihak-pihak terkait. Hasil penelitian ini mengungkapkan kedudukan MoU yang dibuat oleh subjek hukum internasional yakni ICRC dan PMI termasuk dalam kategori perjanjian internasional sehingga dalam implementasinya berlaku kaidah-kaidah hukum internasional publik. Oleh karena itu, ICRC dapat melakukan kerjasama internasional secara terbatas dengan negara-negara termasuk dengan Indonesia dan secara khusus dengan PMI. Pelaksanaan dan ruang lingkup MoU dalam hukum perjanjian internasional merupakan instrumen hukum yang memiliki kekuatan mengikat yang tunduk pada Konvensi Wina 1969 dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Vol. 5 / No. 1 - Juni 2014

Penulis: Hanafi Amrani

Abstrak:
Artikel ini menganalisis perkembangan rezim anti-money laundering ke arah internasionalisasi dan implikasinya terhadap prinsip dasar kedaulatan negara. Insternasionalisasi rezim anti-money laundering termanifestasikan ke dalam standard internasional berupa Empat Puluh Rekomendasi FATF yang diberlakukan terhadap Negara anggota maupun non-anggota FATF. Permasalahan utama yang perlu mendapat perhatian adalah penerapan standard internasional tersebut terhadap negara non-anggota FATF yang diangap bertentangan dengan hak suatu negara untuk membuat dan menerapkan peraturan di wilayah territorialnya masing-masing dan menjalankan fungsinya tanpa campur tangan negara lain. Bahkan dikatakan bahwa implementasi standard internsional itu dianggap sebagai intervensi suatu negara terhadap urusan domestik negara lain. Kondisi seperti ini bertentangan dengan prinsip ‘persamaan kedaulatan’ di mana setiap negara berdaulat mempunyai kesamaan hukum. Pada saat bersamaan, kondisi seperti ini. juga dianggap bertentangan dengan prinsip ‘non-interference’ karena tidak ada satu negarapun dapat menerapkan ketentuan undang-undangnya di dalam yurisdiksi negara lain.

Penulis: Marfuatul Latifah, S.H.I., LL.M.

Abstrak:
Upaya perubahan hukum acara pidana di Indonesia telah sampai pada fase legislasi di DPR RI. Dalam proses pembahasan RUU Hukum Acara Pidana (HAP), terdapat banyak perubahan yang cukup signifikan, dan salah satunya yakni mengenai Jalur Khusus. Tujuan pengaturan Jalur Khusus ialah untuk mempercepat proses penyelesaian perkara dan mengurangi over capacity di Lembaga Pemasyarakatan, serta mewujudkan prinsip peradilan sederhana, cepat dan berbiaya ringan. Kajian ini bermaksud untuk membahas mengenai bagaimana Jalur Khusus diatur dalam RUU HAP, bagaimana Jalur Khusus tersebut akan dijalankan, serta apa saja kelebihan dan kekurangan dalam pengaturan tersebut. Pengaturan Jalur Khusus dalam RUU HAP pada dasarnya telah memenuhi asas peradilan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan, namun dalam pengaturannya masih diperlukan beberapa aturan yang lebih detil terkait dengan hukum acara pelaksanaan Jalur Khusus. Dalam pembahasan dikatakan bahwa pengaturan Jalur Khusus dalam RUU HAP telah mencerminkan asas peradilan sederhana, cepat dan berbiaya ringan, namun masih perlu pengaturan lebih detil dalam RUU mengenai bagaimana Jalur Khusus dilaksanakan.

Penulis: Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM.

Abstrak:
Hakim merupakan ujung tombak keadilan yang dilindungi prinsip independensi hakim. Namun ironisnya, dalam proses pengadilan, termasuk dalam hal penetapan ataupun putusan, kerap kali ditemukan kejanggalankejanggalan. Keleluasaan hakim kemudian dirasakan menimbulkan ketidakadilan. Sebagai langkah dalam menyelesaikan persoalan ini, para legislator di DPR sebagai representasi rakyat kemudian merumuskan kebijakan kriminalisasi terhadap beberapa tindakan hakim dalam RUU MA. Kebijakan ini dimaksudkan agar hakim lebih hati-hati dalam menjalankan tugasnya. Kajian ini secara khusus bermaksud menelaah secara yuridis terkait rumusan kebijakan kriminalisasi terhadap tindakan hakim yang terkandung dalam RUU MA tersebut. Dari hasil analisis, diantaranya diketahui bahwa secara umum tindakan-tindakan hakim yang dilarang dalam RUU MA memang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang sangat merugikan dan membahayakan masyarakat. Kebijakan kriminalisasi terkait mafia peradilan, rekayasa fakta hukum, dan meminta hadiah terkait jabatannya bahkan merupakan perkembangan dalam tanggung jawab hukum profesi hakim. Namun, khusus untuk Pasal 97 RUU MA, menurut penulis, agak sulit untuk memahami tujuan dan raison déter dibalik kriminalisasinya. Pasal tersebut bahkan berpotensi menjadi faktor kriminogen karena dapat memicu tindakan kerusuhan dan keonaran dengan maksud menyalahkan putusan pengadilan.

Penulis: Trias Palupi Kurnianingrum, S.H., M.H.

Abstrak:
Putusan MK No. 18/PUU-XI/2013 telah berimplikasi terhadap adanya peralihan kewenangan pencatatan keterlambatan akta kelahiran yang semula merupakan kewenangan Pengadilan Negeri menjadi kewenangan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil). Di satu sisi keputusan ini dinilai sangat menggembirakan, karena proses pengadilan dianggap memberatkan, namun di sisi lain juga dapat memicu persoalan hukum. Persoalan hukum tersebut berkenaan dengan pengujian keabsahan dokumen dan penentuan status hukum anak. Dengan demikian peralihan kewenangan tersebut harus disikapi dengan hati-hati oleh Disdukcapil khususnya dalam menetapkan kedudukan hukum bagi status anak.

Penulis: Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.

Abstrak:
Hak pengelolaan bukan merupakan jenis hak atas tanah yang diatur dalam UUPA. Pengaturan hak pengelolaan tanah negara mengalami perkembangan yang signifikan, khususnya dalam hal kewenangan yang dimiliki oleh pemegang hak pengelolaan untuk menyerahkan bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga. Hal ini menarik untuk diteliti, mengingat pemegang hak pengelolaan yang dapat berupa instansi pemerintah, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD diberi hak keperdataan untuk menyerahkan penggunaan hak pengelolaan yang diberikan oleh negara kepada pihak ketiga melalui suatu perjanjian. Dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) didukung data di lapangan, hasil penelitian ini menunjukan bahwa pemanfaatan tanah hak pengelolaan oleh pihak ketiga didasarkan pada ketentuan Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Menguasai Atas Tanah Negara dan Kebijaksanaan Selanjutnya beserta perubahannya. Penggunaan tanah hak pengelolaan melalui hak guna bangunan dan hak pakai mendasarkan pada perjanjian penggunaan tanah yang dibuat antara instansi pemegang hak atas tanah dengan pihak ketiga yang akan menggunakan tanah tersebut. Perjanjian dibuat atas dasar kesepakatan para pihak dengan tetap mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak pengelolaan atas tanah. Minimnya pengawasan menyebabkan pelaksanaan perjanjian yang telah disepakati berpotensi penyelewengan.

Penulis: Nita Ariyulinda

Abstrak:
Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat telah mengatur mengenai pemenuhan hak aksesibilitas pada fasilitas umum untuk penyandang cacat. Tujuan pengaturan tersebut untuk memberikan kemudahan bagi penyandang cacat agar dapat berinteraksi di masyarakat secara mandiri sehingga tidak lagi bergantung pada orang lain. Pada kenyataannya pengaturan tersebut tidak efektif dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat bahwa fasilitas umum khususnya bangunan gedung dan lalu lintas tidak menyediakan aksesibilitas untuk penyandang cacat, sehingga penyandang cacat menemukan kesulitan untuk mengakses fasilitas umum tersebut. Tidak efektifnya pengaturan tersebut disebabkan oleh faktor aturannya, pejabat yang berwenang, sarana dan prasarana, masyarakat dan budaya dalam masyarakat.

← Sebelumnya 1 2 3 Selanjutnya →