Penulis: Dr. Inosentius Samsul
Abstrak:
Perlindungan Konsumen di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan setelah terbentuknya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai payung hukum perlindungan konsumen. Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan sebagai bagian dari hukum perlindungan konsumen. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis 2 (dua) permasalahan, yaitu pertama hubungan perlindungan konsumen dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 dan UU No. 21 Tahun 2011. Kedua, menganalisis sinkronisasi vertikal antara Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1 Tahun 2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Analisis terhadap permasalahan pertama adalah mengenai hubungan komplementer antara Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 dan UU No. 21 Tahun 2011. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 memperkuat hukum perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Kedua, peraturan OJK No. 1 Tahun 2013 mengatur secara rinci tentang upaya perlindungan konsumen. Namun masih terdapat substansi yang belum dijabarkan dalam peraturan tersebut. Ada beberapa materi dalam Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan yang tidak daitur lebih lanjut dalam peraturan tersebut. Oleh karena itu, saran penting dari tulisan ini adalah pelaksanaan dari beberapa ketentuan dalam UU No. 21 Tahun 2011 haruslah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 untuk memperkuat sistem perlindungan konsumen di Indonesia. Di samping itu, OJK perlu mengeluarkan peraturan tersendiri mengenai pembelaan hukum yang belum terakomodasi dalam Peraturan OJK Nomor 1 Tahun 2013.
Penulis: Dian Cahyaningrum, S.H.. M.H.
Abstrak:
Perjanjian kerja memiliki arti penting untuk melindungi TKI. Untuk itu UU No. 39 Tahun 2004 telah mengatur masalah perjanjian kerja. Namun perjanjian kerja ternyata belum berfungsi secara optimal untuk melindungi TKI. Beberapa penyebabnya adalah perjanjian kerja berbentuk baku dan substansinya ditentukan oleh pengguna sehingga lebih mengakomodasi kepentingan pengguna. Syarat subyektif TKI yang dipalsukan usianya tidak terpenuhi karena masih anak-anak. Penandatanganan perjanjian kerja tidak di hadapan pejabat yang berwenang. Jangka waktu perjanjian kerja tidak diperpanjang. TKI yang pindah kerja/majikan tidak membuat perjanjian kerja baru. Untuk mengoptimalkan perjanjian kerja perlu dilakukan beberapa upaya diantaranya PPTKIS hati-hati dalam membuat perjanjian kerjasama penempatan karena menjadi acuan dalam membuat perjanjian kerja; pejabat perwakilan RI di negara tujuan hendaknya selektif dalam memberikan persetujuan perjanjian kerja; penandatanganan perjanjian kerja dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang; syarat subyektif dan obyektif harus dipenuhi, TKI harus memperpanjang jangka waktu perjanjian kerja yang telah berakhir jika masih ingin bekerja di luar negeri, dan TKI yang pindah kerja harus membuat perjanjian kerja baru.
Penulis: Luthvi Febryka Nola, S.H., M.Kn.
Abstrak:
Tulisan ini menjelaskan tentang penyebab, tipologi dan upaya penyelesaian sengketa atas tanah partikelier. Penyebab sengketa tanah partikelir ada yang langsung dan adapula tidak langsung berhubungan dengan tanah partikelir. Tipologi sengketa partikelir terbagi atas 2 kelompok besar yang saling berkaitan yaitu tipologi berdasarkan permasalahan dan berdasarkan aktor. Terhadap sengketa dapat diupayakan penyelesaian secara administratif, alternatif penyelesaian sengketa atau melalui jalur pengadilan. Penyelesaian administratif dapat diterapkan pada sengketa vertikal sederhana. Sedangkan alternatif penyelesaian sengketa sesuai diterapkan pada sengketa bertipe horizontal. Untuk sengketa vertikal dan segitiga lebih tepat diselesaikan di pengadilan.
Penulis: Denico Doly, S.H., M.Kn.
Abstrak:
UU Penyiaran merupakan landasan hukum bagi lembaga penyiaran maupun regulator dibidang penyiaran dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Pengaturan dalam UU Penyiaran tidak lagi dapat menjangkau seluruh aspek kegiatan penyiaran di Indonesia. Pengaturan dalam UU Penyiaran masih dianggap lemah oleh berbagai kalangan. Kelemahan dalam UU Penyiaran terkait dengan upaya pelemahan KPI, Sistem Siaran Berjaringan yang tidak terlaksana, lemahnya status kelembagaan LPP, lemahnya pengaturan tentang LPK, dan belum terlaksananya pembatasan kepemilikan LPS. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan mendasar bagi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terkait dengan upaya penguatan KPI, penegasan kembali sistem siaran jaringan, penguaran kelembagaan LPS, penguatan LPK dan penegasan pembatasan kepemilikan LPS.
Penulis: Monika Suhayati, S.H., M.H.
Abstrak:
Pendanaan merupakan salah satu unsur utama dalam pelaksanaan kegiatan terorisme. Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme mengatur mengenai upaya pemberantasan tindak pidana terorisme dengan menggunakan sistem dan mekanisme penelusuran aliran dana (follow the money). Pelaksanaan pemblokiran aliran dana terorisme dan penempatan dalam daftar terduga teroris , dan organisasi teroris yang diatur dalam undang-undang tersebut rentan terhadap terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Indonesia sebagai negara hukum wajib memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang dijamin melalui undang-undang. Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme telah memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia yaitu dengan pengaturan mengenai pengajuan keberatan atas pemblokiran aliran dana terorisme dan penempatan dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris, pengecualian pemblokiran aliran dana terorisme, pemulihan nama baik dan hak untuk mendapatkan kompensasi dan/atau rehabilitasi, dan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk dilakukannya pemblokiran dan pencantuman dalam daftar terduga teroris.
Penulis: Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.
Abstrak:
Land reform dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani yang tidak memiliki tanah. Secara yuridis pelaksanaan land reform di Indonesia didasarkan pada UUPA yang mengatur pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah dan kemudian dijabarkan dengan UU No. 56/Prp/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (UUPT). Land Reform dalam UU ini diwujudkan melalui pengaturan luas maksimum dan minimum tanah pertanian dan redistribusi tanah. Namun, implementasi UU ini belum efektif karena beberapa ketentuan berpotensi dilakukannya penyelundupan hukum untuk menghindari ketentuan pembatasan luas tanah pertanian serta kebijakan pendukung yang belum memadai.
Penulis: Harris Yonatan Parmahan Sibuea, S.H., M.Kn.
Abstrak:
Pemanfaatan dan penggunaan tanah di atas permukaan tanah sudah overload yang disebabkan oleh arus urbanisasi yang semakin meningkat khususnya ke kota-kota besar. Peningkatan arus urbanisasi tersebut tidak diimbangi oleh jumlah luas tanah di atas permukaan bumi yang pada akhirnya mencari ruang di bawah tanah untuk digunakan sebagai kepentingan tempat tinggal, usaha, publik. Kepastian hukum atas kepemilikan atas tanah sudah ada payung hukumnya, namun terjadi kekosongan hukum terhadap pengaturan pemanfaatan ruang di bawah tanah. Ruang-ruang bawah tanah seperti di Kota dan Blok-M bukan hanya dimanfaatkan sebagai terminal kedatangan keberangkatan bus-way, namun juga dimanfaatkan untuk kegiatan usaha masyarakat. Pemanfaatan ruang bawah tanah tersebut tidak ada peraturan perundang-undangan bidang agraria yang mengaturnya. Hukum harus merespon terhadap kekosongan hukum tersebut dimana diperlukan suatu kebijakan yang mengatur alas hak penggunaan ruang di bawah tanah, agar tidak terjadi konflik di masa depan dan terjaminnya suatu kepastian hukum di bidang agraria.
Penulis: Nikolas Simanjuntak
Abstrak:
Para sarjana post-kolonial kita telah mewariskan pengetahuan mengenai hukum adat yang bersendikan pada dasar hubungan kesedarahan (genealogis) dan kedaerahan (territorial). Dari mereka itu kita ketahui ada lebih dari 200an hukum adat yang khas tersebar di seantero wilayah nusantara, yang kemudian masing-masing adat itu secara terpisah berkembang lagi dengan hukumnya dan lembaga pengadilan adat yang khusus, baik yang berada dalam situasi wilayah yang tertutup rapat di daerah pedesaan maupun di wilayah yang terbuka dalam konteks modern sebagai masyarakat perantau di perkotaan (urban migran).
Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan telah diberlakukan dengan Undang-undang No. 30 Tahun 1999, yang sebelumnya dipersiapkan pada masa-masa awal terjadinya multi-krisis Indonesia menuju era reformasi. Dengan Undang-undang itu diharapkan banyak hal akan dapat diselesaikan untuk memotong rantai rumitnya kompleksitas soal di dalam praktik pelaksanaan hukum acara yang selama ini terjadi.
Makalah ini bermaksud menyajikan gambaran apa adanya mengenai lembaga hukum adat, apakah itu bisa dikembangkan dengan penguatan yang menjadi praktik penyelesaian sengketa di luar pengadilan menurut hukum yang berlaku saat ini. Bahkan mungkin pula dengan itu diharapkan, apakah bisa digunakan untuk mencapai pelaksanaan konsep hukum restoratif yang berkeadilan, yakni dengan menerapkan kombinasi hukum adat dalam situasi masyarakat pedesaan yang tertutup di masa lalu, ke arah konteks masyarakat yang terbuka di era global modern masa kini.
Penulis: Marfuatul Latifah, S.H.I., LL.M.
Abstrak:
Korupsi masih menjadi masalah serius di Indonesia, banyak kasus yang belum terungkap. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya alat bukti keterangan saksi. Saksi merasa enggan memberikan kesaksian karena mungkin mendapat ancaman atau intimidasi dari pelaku. Saksi dan pelapor kurang mendapat perlindungan hukum. Dalam penanganan kasus korupsi muncul istilah whistleblower (pelapor) dan justice collaborator (saksi pelaku yang bekerjasama). Penulisan kajian ini dimaksudkan untuk mengkaji formulasi norma hukum yang mengatur perlindungan saksi dan pelapor tindak pidana korupsi serta pelaksanaannya. Kebijakan perlindungan saksi dalam tindak pidana korupsi saksi telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan ketentuan perlindungan saksi dan korban umumnya secara khusus diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sementara perlindungan terhadap pelapor tidak diatur secara rinci dalam UU No. 13 Tahun 2006 tersebut. Oleh karena itu, menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2011 dibuat untuk mengadopsi istilah whistleblower dan justice collaborator. Namun ketentuan SEMA tersebut menimbulkan permasalahan. Salah satunya, ketentuan dalam UU No. 13 Tahun 2006 menutup peluang bagi Pelapor sebagai whistleblower, yang memiliki itikad baik, untuk dituntut baik secara pidana maupun perdata. Namun, SEMA No. 4 Tahun 2011 justru memberi peluang untuk memproses Pelapor atas laporan yang disampaikannya. Oleh karena itu, dalam revisi UU No. 13 Tahun 2006 perlu diatur perlindungan terhadap whistleblower dan justice collaborator secara rinci.
Penulis: Andy Wijayanto
Abstrak:
Penghapusan tahapan penyelidikan dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana akan mengubah sistematika hukum acara pidana di Indonesia. Tulisan ini bermaksud mengkaji penghapusan penyelidikan dan konsekuensi yang akan ditimbulkan. Mengingat penyelidikan telah digunakan selama lebih dari tiga puluh tahun di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia dan banyak tindak pidana yang menggantungkan pemecahan perkara melalui tahapan penyelidikan seperti tindak pidana narkotika dan tindak pidana korupsi, hal tersebut dapat mengakibatkan perubahan mendasar dalam praktik hukum acara pidana dan menimbulkan hambatan bagi penyelesaian perkara pidana khususnya tindak pidana temuan.
Penulis: Andy Wiyanto
Abstrak:
Historiografi ketatanegaraan Indonesia telah mencatat bahwa telah sebanyak dua kali Presiden di Indonesia diturunkan ditengah masa jabatannya. Catatan sejarah tersebut rupanya menyisakan polemik. Untuk itulah kemudian di bawah kepemimpinan Mohammad Amien Rais, MPR melakukan perubahan UUD 1945 yang menjadi salah satu tujuan dari reformasi. Perubahan tersebut tidak hanya memperbaiki mekanisme pemakzulan di Indonesia, namun juga menjadikan UUD 1945 tidak lagi sebagai UUD sementara sebagaimana yang diutarakan Soekarno dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945. Sejatinya proses pemakzulan pasca reformasi merupakan bentuk check and balances atas pemilihan Presiden secara langsung. Sehingga ada legitimasi yang besar dalam pemerintahan pada satu sisi, juga dalam sisi yang lainnya hal itu diimbangi dengan proses pertanggungjawaban yang terukur. Secara akademik, konsep tersebut tentu sesuai dengan ilmu pengetahuan. Tinggal bagaimana hal ini terimplementasi dalam bentuk regulasi, mulai dari undang-undang dasar hingga aturan-aturan lain dibawahnya yang menjadi penjabaran-penjabaran yang lebih rinci dan jelas. Tulisan ini mencoba untuk membedah hal tersebut dengan dimulai dari pembahasan struktur ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi yang menganut prinsip checks and balances di dalamnya, kemudian dilanjutkan dengan ulasan mengenai proses pemakzulan di Indonesia, yang pada akhirnya dari kedua variabel tersebut dibedah dengan teori-teori yang mengulas tentang sistem chesks and balances dalam sistem ketatanegaraan pada sebuah Negara.
Penulis: Novianti, S.H., M.H.
Abstrak:
Perjanjian Kerjasama Sosek-Malindo merupakan perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah Indonesia dan Malaysia dalam bentuk kerjasama di bidang sosial dan ekonomi. Perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah atas nama Negara perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan nasional yang berlaku yaitu Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Pembuatan dan Pengesahan Perjanjian Internasional dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, yang menegaskan daerah yang memiliki rencana untuk melakukan perjanjian Internaional dengan negara lain harus terlebih dahulu berkonsultasi dan berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri (Pemerintah Pusat). Oleh karena itu pelaksanaan perjanjian kerjasama Sosek-Malindo oleh pemerintah daerah merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Penulis: Monika Suhayati, S.H., M.H.
Abstrak:
Kewajiban pemberian bantuan hukum cuma-cuma oleh advokat telah diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam pelaksanaannya masih minim minat advokat untuk melakukan kewajiban ini beserta pelaporannya. Kajian ini bermaksud untuk mengetahui penyebab pemberian bantuan hukum cuma-cuma oleh advokat masih minim dalam pelaksanaannya. Permasalahan ini dikaji dengan menggunakan konsep bantuan hukum sebagai hak asasi warga negara yang dijamin oleh konstitusi dan profesi advokat sebagai profesi yang mulia (officium nobile). Dari kajian ini diketahui bahwa rendahnya minat advokat untuk melaksanakan kewajiban pemberian bantuan hukum cuma-cuma antara lain disebabkan oleh, bentuk sanksi yang terlalu ringan bagi advokat yang tidak melakukan kewajiban ini; kurangnya sosialisasi mengenai kewajiban pemberian bantuan hukum cuma-cuma dan pelaporannya; serta kurangnya political will dari masing-masing Organisasi Advokat untuk meningkatkan jumlah pemberian bantuan hukum cuma-cuma oleh advokat dalam organisasinya. Berdasarkan analisis maka penulis merekomendasikan dilakukan perubahan dalam UU Advokat yaitu penempatan kewajiban bantuan hukum cuma-cuma pada bab mengenai hak dan kewajiban dan memasukkan pengaturan kewajiban pelaporan pelaksanaan pemberian bantuan hukum cuma-cuma oleh advokat ke dalam UU Advokat. Rekomendasi berikutnya adalah perlunya perubahan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma khususnya Pasal 14 yang mengatur mengenai sanksi.
Penulis: Lucky Raspati
Abstrak:
Masuknya seorang ahli ke dalam suatu persidangan perkara pidana sesungguhnya bukan sesuatu hal yang diperbolehkan begitu saja. Hakim sebagai pemegang kekuasaan administratif di pengadilan diberikan kewenangan untuk menerima atau menolak seorang ahli yang ingin memberikan opininya di hadapan persidangan. Hakim bertindak sebagai gate keeper untuk menilai apakah ahli tersebut mempunyai kompetensi atau tidak dalam hal membantu hakim atau juri dalam menemukan kebenaran materiil, sehingga keputusan yang adil bisa ditegakkan. Dalam penelitian ini, fokus permasalahan dibatasi, pertama, apakah pemeriksaan ahli di dalam suatu persidangan perkara pidana sudah sejalan dengan upaya mencari kebenaran materiil? dan kedua, bagaimanakah implikasi pemeriksaan ahli terhadap asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan? Dari hasil penelitian ditemukan fakta-fakta bahwa pemeriksaan ahli dalam suatu perkara pidana tidak sejalan dengan fondasi dasar dan tujuan dilahirkannya keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti dalam hukum acara pidana, sehingga menjadi tidak mengherankan kalau sekarang ini kehadiran ahli dalam suatu persidangan perkara pidana seringkali tidak membantu hakim dalam menemukan kebenaran materiil. Seiring dengan keadaan tersebut, kehadiran ahli dalam perkara pidana sekarang ini cenderung bertentangan dengan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Kondisi itu tentu sangat merugikan bagi terdakwa, JPU maupun Hakim itu sendiri.
Penulis: Denico Doly, S.H., M.Kn.
Abstrak:
Keberadaan PRT anak di Indonesia cukup besar. Kondisi ini membuat penulis ingin mengetahui perspektif hukum Indonesia terhadap keberadaan PRT anak. Berdasarkan hasil kajian diketahui bahwa peraturan yang ada saat ini telah melarang mempekerjakan anak sebagai PRT dengan dasar telah terjadi eksploitasi ekonomi. Namun larangan tersebut tidak di indahkan karena ketiadaan sanksi bagi pihak yang melanggar. Oleh sebab itu penulis merekomendasikan supaya dalam RUU PRT dicantumkan larangan mempekerjakan PRT beserta sanksi bagi pihak yang melanggar serta beberapa aturan pendukung lainnya, seperti pengawasan.
Penulis: Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.
Abstrak:
Penilai Pertanahan memiliki peran penting dalam menentukan ganti kerugian terhadap hak atas tanah, khususnya tanah bagi kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum. Hasil penilaian Penilai Pertanahan digunakan sebagai dasar perhitungan ganti kerugian dalam musyawarah antara Pemerintah dengan pemegang hak atas tanah sebelum ganti kerugian ditetapkan. Sejak pemberlakuan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Penilai Pertanahan memiliki kedudukan dan kewenangan yang lebih kuat dibandingkan dengan pegaturan sebelumnya dalam Perpres No. 65 Tahun 2006. UU memberikan kedudukan yang independen dan profesional. Sedangkan kewenangan Penilai Pertanahan tidak hanya terbatas pada menilai harga tanah, tetapi juga berwenang menilai benda atau bangunan di atas tanah, ruang di bawah tanah, serta kerugian-kerugian sebagai dampak pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Namun, beberapa ketentuan dalam UU tersebut membuka kemungkinan intervensi Lembaga Pertanahan sekaligus mencerminkan tidak adanya transparansi dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Penulis: Dian Cahyaningrum, S.H.. M.H.
Abstrak:
Perkebunan membutuhkan tanah sebagai modal utama. Lahan yang digunakan untuk perkebunan kadang-kadang dimiliki oleh masyarakat adat selama beberapa generasi. Pembebasan tanah adat untuk perkebunan harus dilakukan dengan konsultasi bersama masyarakat adat. Tapi banyak intrik terjadi selama musyawarah sehingga pengambilalihan tanah adat menyebabkan kerugian finansial kepada masyarakat adat. Bahkan ada tanah adat yang diserahkan langsung oleh aparat kepada investor karena dianggap milik negara. Hal ini terjadi karena tidak ada bukti hukum formal atas keberadaan tanah adat. Untuk mengatasi masalah pembebasan tanah adat, berbagai upaya harus dilakukan, seperti perubahan hukum agraria, merevisi UU No. 18/2004, memberikan bimbingan terhadap masyarakat adat, menerapkan pola yang tidak menyerahkan tanah kepada investor, dan menjatuhkan sanksi terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum.
Penulis: Denico Doly, S.H., M.Kn.
Abstrak:
Konsumen mempunyai hak yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Hak konsumen ini diatur oleh UUPK. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pembelian barang/jasa diatur mengenai hak konsumennya. Konsumen perlu dilindungi, hal ini untuk menghindari adanya kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Akan tetapi dalam kenyataannya selama ini pelaku usaha tidak memperhatikan hak konsumen. Banyaknya kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjalankan usahanya sehingga merugikan konsumen. Salah satu bentuk kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha yaitu dengan memberlakukan klausula baku pada perjanjian antara konsumen dengan pelaku usaha. Keberadaan konsumen yang lemah dan juga keberadaan pelaku usaha yang menguasai berbagai sektor menjadikan kedudukan yang tidak seimbang. Perlindungan konsumen di Indonesia mutlak diperlukan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dan menciptakan keseimbangan antara pelaku usaha dengan konsumen. Upaya peningkatan perlindungan konsumen yaitu dengan melakukan perubahan UUPK, penguatan lembaga perlindungan konsumen, memberikan pendidikan konsumen dan komitmen terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan yang melindungi konsumen.
Penulis: Trias Palupi Kurnianingrum, S.H., M.H.
Abstrak:
Wacana merger CDMA Flexi dan Esia dirasakan berpotensi untuk menciptakan pengaturan harga yang dapat mengarah kepada distorsi pasar sehingga menimbulkan praktek monopoli di dalamnya yang dapat merugikan konsumen. Peran KPPU sangat dibutuhkan sebagai lembaga pengawas mengingat perlindungan hukum diperlukan karena fenomena globalisasi telah memberikan dampak yang cukup signifikan bagi dunia bisnis khususnya telekomunikasi seluler di Indonesia sehingga tanpa sadar telah menciptakan adanya celah persaingan usaha di dalamnya, mengingat persaingan usaha pada dasarnya merupakan syarat mutlak (condition sine qua non) bagi terselenggaranya ekonomi pasar. Oleh karena itu diperlukan penanganan yang mendalam supaya tidak terjadi praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang nantinya dapat menimbulkan kerugian kepada konsumen.
Penulis: Marfuatul Latifah, S.H.I., LL.M.
Abstrak:
Penyidikan tindak pidana korupsi di Indonesia dilakukan oleh 3 instansi yang berbeda-beda yaitu, KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. Terdapat perdebatan mengenai legalitas kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Jaksa. Dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, Jaksa berpatokan pada dua peraturan hukum yang berbeda, yaitu Ketentuan Peralihan KUHAP dan Penjelasan UU Kejaksaan. Hal tersebut menarik untuk dikaji sebab terdapat waktu berlaku terbatas untuk ketentuan peralihan, dan masih terdapat perdebatan mengenai ketentuan hukum mengikat dari sebuah penjelasan pasal. Artikel ini ditulis untuk mengkaji legalitas kewenangan jaksa melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yang terletak pada dua peraturan hukum tersebut. Hal tersebut guna menegaskan pijakan yang digunakan jaksa dalam menjalankan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.
Penulis: Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM.
Abstrak:
Dalam mengamankan unjuk rasa, kepolisian memiliki kewajiban untuk menghormati standar dan prinsip HAM. Kajian ini secara khusus membahas mengenai hal itu dan juga menelusuri tentang bagaimana pelaksanaan prinsip dan standar tersebut dalam praktiknya dilapangan. Salah satu kesimpulan dari kajian ini adalah bahwa prinsip dan standar HAM yang wajib dihormati oleh aparat kepolisian terkait pengamanan aksi unjuk rasa, antara lain yaitu: Prinsip kebebasan berpendapat, Prinsip-prinsip yang tertera dalam Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 34/169 tentang Ketentuan Berperilaku bagi Penegak Hukum, serta Prinsip-prinsip Dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum Tahun 1980.
Penulis: Shanti Dwi Kartika, S.H., M.Kn.
Abstrak:
Kesehatan sebagai modal pembangunan memerlukan dukungan dari tenaga kesehatan termasuk perawat. Tenaga keperawatan ini merupakan potensi terbesar bagi sumber daya manusia kesehatan, namun eksistensinya belum didukung oleh peraturan perundang-undangan secara komprehensif. Perawat tidak mempunyai jaminan kepastian hukum, perlindungan hukum, tidak diakui secara internasional, dan tidak dapat bersaing dalam perdagangan bebas. Hal ini merupakan konsekuensi belum adanya undang-undang keperawatan. Kajian ini dilakukan untuk mengetahui perlunya undang-undang keperawatan dan mengetahui norma hukum yang perlu diatur dalam undang-undang keperawatan. Analisis data dan interpretasi menunjukkan bahwa muatan materi undang-undang keperawatan harus jelas dan tegas mengatur sistem pendidikan keperawatan, penyelenggaraan praktik keperawatan, kompetensi (registrasi dan lisensi), serta kelembagaan. Undang-undang keperawatan sangat diperlukan bagi keperawatan di Indonesia, oleh karena itu Dewan Perwakilan Rakyat perlu segera membentuk undang-undang keperawatan.
Penulis: Monika Suhayati, S.H., M.H.
Abstrak:
Salah satu substansi baru dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah penempatan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Ketetapan MPR ditempatkan dibawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan diatas undang-undang. Penempatan Ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah tepat mengingat masih terdapat Ketetapan MPR yang masih berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003. Ketetapan MPR juga merupakan aturan dasar negara atau aturan pokok negara (staatsgrundgesetz) sebagaimana halnya dengan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dikarenakan Ketetapan MPR menjadi landasan pembentukan undang-undang (formell gezetz) dan peraturan lain yang lebih rendah sebelum perubahan UUD Tahun 1945.
Penulis: Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.
Abstrak:
Indonesia sebagai negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam, seni, dan budaya memiliki berbagai pengetahuan tradisional yang memerlukan pengakuan dan pelindungan hukum yang mampu menjaga terpeliharanya kepemilikan pengetahuan tradisional tersebut sebagai karya bangsa yang diakui secara internasional. Regulasi di bidang HKI, khususnya UU Paten bertujuan memberikan perlindungan hukum atas suatu penemuan karya intelektual kepada penemunya dan memberikan keuntungan ekonomis atas hasil temuannya. Namun UU Paten yang mengadopsi HKI negara-negara maju dalam implementasinya belum mampu memberikan pengakuan dan perlindungan kepada pengetahuan tradisional secara optimal. Hal ini disebabkan oleh perbedaan konsep antara HKI yang eksklusif dan individual dengan pengetahuan tradisional yang memiliki karakteristik tradisional, komunal, dan terbuka. Minimnya pemahaman masyarakat terhadap HKI serta penguasaan teknologi yang belum memadai serta minimnya anggaran juga menjadi kendala untuk mematenkan pengetahuan tradisional.
Penulis: Luthvi Febryka Nola, S.H., M.Kn.
Abstrak:
Kewajiban serah simpa karya cetak dan karya rekam menurut UU No. 4/1990 melibatkan banyak pihak. Oleh sebab itu koordinasi antara para pihak menjadi penting. Penulisan ini akan difokuskan kepada koordinasi berdasarkan kewenangan Perpusda. Adapun tujuan dari penulisan adalah untuk mengetahui bentuk, faktor penghambat dan pengaturan koordinasi yang efektif antar Perpusda dengan para pihak. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif dengan menggunakan studi perpustakaan sebagai teknik pengumpulan data. Dari penelitian dapat diketahui bentuk koordinasi antar Perpusda dengan para pihak dalam rangka serah simpan karya cetak dan karya rekam adalah intern dan ekstern. Koordinasi antara para pihak ini terhambat akibat minimnya sosialisasi, kurang optimal upaya penegakan hukum dan lemahnya subtansi UU No. 4/1990 serta peraturan pelaksananya. Oleh sebab itu, revisi terhadap UU No. 4/1990 perlu dilakukan, terutama terkait kejelasan subjek hukum dan batasan kewenangan antara para pihak.
Penulis: Denico Doly, S.H., M.Kn.
Abstrak:
UJJN telah mengatur mengenai kewenangan yang dapat dijalankan oleh seorang Notaris, akan tetapi dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN disebutkan Notaris berwenang untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN ini tidak berjalan dengan baik, bahkan pada saat ini banyak perbedaan pendapat antara Notaris dengan PPAT mengenai kewenangan Notaris membuat akta di bidang pertanahan. Permasalahan yang timbul adalah adanya dua pejabat yang berwenang dalam pembuatan akta pertanahan. Tulisan ini ingin melihat dasar hukum kewenangan notaris dalam pembuatan akta pertanahan dan apa yang menjadi kewenangan notaris dalam pembuatan akta pertanahan. Apabila melihat kembali pasal-pasal yang memberikan kewenangan kepada seorang Notaris, maka dapat dilihat, adanya kewenangan-kewenangan seorang Notaris yang dibatasi. Pembatasan ini diberikan kepada pejabat-pejabat lain yang dapat membuat akta otentik yang diamanatkan oleh undang-undang.
Penulis: Harris Yonatan Parmahan Sibuea, S.H., M.Kn.
Abstrak:
Penelitian ini menganalisis pentingnya pendaftaran tanah untuk pertama kali bagi pemilik tanah yang belum terdaftar dan Pemerintah (BPN) serta permasalahan yang terjadi saat ini terkait pendaftaran tanah untuk pertama kali bagi pemilik tanah yang belum terdaftar. Pendaftaran tanah untuk pertama kali sangat penting, karena bidang tanah yang sudah terdaftar akan mendapat sertifikat serta memiliki kepastian hukum. Sekarang ini, prosentase kepemilikan sertifikat bidang tanah dari pendaftaran tanah untuk pertama kali di Indonesia masih rendah. Padahal masyarakat dapat menggunakan sertifikat tanahnya sebagai pendukung untuk memperoleh uang yakni sebagai jaminan memperoleh kredit di lembaga perbankan serta untuk mengurangi ruang gerak para tengkulak, spekulator dan manifulator tanah. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apa arti penting pendaftaran tanah untuk pertama kali serta permasalahan apa yang terjadi saat ini terkait pendaftaran tanah untuk pertama kali. Permasalahan Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif dan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan, studi dokumen serta referensi yang telah dipublikasikan oleh penulisnya. Data sekunder disusun secara sistematik dan dianalisis secara kualitatif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pendaftaran tanah sistematik yang memberikan kepastian hukum sangat diharapkan bagi pemilik bidang tanah yang belum terdaftar terutama bagi masyarakat berpenghasilan menengah kebawah.
Penulis: Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.
Abstrak:
Paradigma penganggaran berbasis kinerja mendorong pemerintah melakukan peningkatan pelayanan publik melalui upaya mewiraswastakan pemerintah dengan menerapkan pengelolaan keuangan yang fleksibel yang menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas pada instansi pemerintah yang menyelenggarakan layanan publik melalui pembentukan Badan Layanan Umum. Implementasi perangkat perundang-undangan tentang BLU memiliki aspek yuridis, khususnya berkaitan dengan penerapan asas-asas keuangan negara yang dianut dalam undang-undang di bidang keuangan negara.
Penulis: Dian Cahyaningrum, S.H.. M.H. -- Endah Setyowati
Abstrak:
Hutan mangrove memiliki manfaat penting, oleh karenanya perlu dijaga kelestariannya. Dalam rangka menjaga kelestarian hutan mangrove, di desa Surodadi dibentuk Peraturan Desa No. 004/IX/GERHAN/2004 tentang Pelestarian Hutan Mangrove. Peraturan desa tersebut cukup efektif, ditaati dan dilaksanakan dengan baik oleh warga desa. Ada tiga faktor yang mempengaruhi efektifitas pelaksanaan Peraturan Desa No. 004/IX/GERHAN/2004, yaitu faktor hukum (peraturan desanya), faktor aparat, dan faktor masyarakat. Faktor hukum, proses pembuatan Peraturan Desa partisipatif dan substansinya mendatangkan manfaat bagi warga desa. Faktor aparat, aparat menegakkan dan mensosialisasikan Peraturan Desa dengan baik; peraturan desa juga mendapat dukungan dan pengakuan dari pemda setempat. Faktor masyarakat, adanya kesadaran masyarakat bahwa Peraturan Desa dapat menjaga kelestarian hutan mangrove yang bermanfaat bagi warga desa.
Penulis: Monika Suhayati, S.H., M.H.
Abstrak:
BUMN adalah pelaku usaha dalam perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (2) UUD Tahun 1945. Peningkatan efisiensi dan produktifitas BUMN dilakukan salah satunya melalui privatisasi BUMN. Privatisasi BUMN melalui IPO merupakan mekanisme yang efektif dimana pemerintah memiliki peluang untuk mewujudkan demokrasi ekonomi melalui perluasan basis kepemilikan saham BUMN. Masuknya pemegang saham baru pada BUMN dapat mendorong peningkatan kinerja BUMN yang selanjutnya dapat memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat. Privatisasi Krakatau Steel dan Garuda Indonesia dilakukan dengan menggunakan mekanisme IPO. Dalam proses kedua IPO tersebut terdapat permasalahan yang akhirnya berpotensi merugikan negara dan masyarakat. Oleh karena itu penting untuk melakukan perubahan terhadap UU BUMN dengan mengatur lebih detil proses privatisasi secara demokratis dan transparan serta pengaturan lebih tegas mengenai kriteria Persero yang tidak dapat diprivatisasi sebagai pelaksanaan dari Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD Tahun 1945.
Penulis: Luthvi Febryka Nola, S.H., M.Kn.
Abstrak:
Tulisan ini membahas mengenai peluang penerapan konsep cyber notary dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Konsep cyber notary merupakan suatu konsep mengenai pelaksanaan kewenangan notaris berbasis teknologi informasi. Penulis berpandangan bahwa perkembangan ilmu pengetahun dan teknologi serta dunia perdagangan dewasa ini membuat Indonesia perlu mengadopsi konsep ini. Penerapan konsep ini akan meningkatkan peranan notaris dalam rangka pembagunan ekonomi bangsa. Jadi penulis merekomendasikan agar konsep cyber notary perlu dipertimbangkan untuk digunakan dalam perubahan UU JN. Akan tetapi Indonesia tidak dapat sepenuhnya mengadopsi konsep ini karena berasal dari negara common law yang kewenangan dan sistem pembuktiannya berbeda dengan Indonesia. Disamping itu, prinsip perubahan peraturan yang efektif haruslah menjadi perhatian dalam proses perubahan UUJN karena banyaknya peraturan menyangkut kewenangan notaris.
Penulis: Denico Doly, S.H., M.Kn.
Abstrak:
Tanah merupakan salah satu kebutuhan yang sangat penting di Indonesia. Tanah merupakan tempat untuk berpijak bagi masyarakat. Selain itu juga dapat digunakan untuk membangun rumah, kantor, bercocok tanam, dan dapat digunakan sebagai jaminan dalam meminjam di bank. Tanah yang digunakan sebagai jaminan di bank biasanya menggunakan Hak Tanggungan. Di dalam Hak Tanggunan terdapat Roya yang merupakan penghapusan dari sebagian hutang yang telah dibebani Hak Tanggungan. Pelaksanaan Roya di dalam UUHT harus disebutkan di dalam APHT. Peraturan pelaksana dari UUHT adalah PMA. Didalam PMA, Roya tidak perlu disebutkan dalam APHT. Adanya perbedaan pengaturan membuat kreditur menjadi kesulitan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan peraturan khususnya mengenai aturan pelaksanaan Roya. PMA memberikan kemudahan bagi kreditur dalam pelaksanaan Roya, oleh karena itu, UUHT perlu dirubah, khususnya mengenai pelaksanaan Roya.
Penulis: Marfuatul Latifah, S.H.I., LL.M.
Abstrak:
Tulisan ini akan membahas mengenai upaya transformasi konsep jarimah qisash-diyat yang merupakan ancaman pidana bagi kejahatan terhadap tubuh dan nyawa dalam hukum islam, pada hukum positif di Indonesia melalui RUU KUHP. Dalam melakukan upaya transformasi konsep tersebut digunakan cara alternatif yaitu menggunakan teori objektifikasi yang mengupayakan agar konsep yang ada dalam hukum Islam khususnya jarimah qisash-diyat harus dapat dilaksanakan sebagai sesuatu yang natural bukan sebagai perbuatan keagamaan. Dalam proses transformasi ini, jarimah qisas yang dapat ditransformasikan adalah qisas terhadap pembunuhan sengaja (berencana), baik KUHP maupun RUU KUHP telah mengakomodasi konsep tersebut. Sedangkan dalam jarimah diyat, perlu dilakukan penambahan pidana ganti rugi yang berbeda jenisnya dengan denda. Pidana ganti rugi tersebut berdiri sendiri dan merupakan bagian dari pidana pokok. Besaran ganti rugi yang dijatuhkan, ditentukan oleh hakim melalui putusan pengadilan dan berdasarkan kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang telah dilakukan.
Penulis: Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM.
Abstrak:
Prinsip Peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan adalah salah satu prinsip dalam sistem hukum Indonesia. Namun meskipun berbagai peraturan hukum telah dibuat untuk mendukungnya, prinsip ini masih belum terimplementasi dengan baik. Dari hasil penelitian diketahui bahwa jangka waktu yang telah ditentukan oleh Mahkamah Agung sering kali tidak bisa terealisasi, bahkan jika suatu kasus mencapai Mahkamah Agung, bisa dipastikan bahwa waktu penyelesaian perkara akan memakan waktu yang lama. Tumpukan perkara di Mahkamah Agung merupakan salah satu faktor mengapa penyelesaian perkara begitu lambat. Maka dari itu, perlu diselesaikan terlebih dahulu masalah penumpukan perkara. dan pembatasan perkara ialah suatu konsep yang banyak dibicarakan untuk mengurangi tumpukan perkara tersebut. Penelitian ini juga menemukan bahwa perkara-perkara yang perlu dibatasi, antara lain: 1)Perkara perdata (perkara gugatan kecil); 2)Perkara pidana (perkara pidana ringan seperti perkara dengan ancaman hukuman 1 atau 3 tahun penjara dan termasuk juga denda); 3)Hukum perkawinan (perkara perceraian), dan 4)Perkara Hubungan Industrial. Dengan aturan pembatasan perkara, maka banyak perkara akan selesai di tingkat banding. Dengan situasi ini, waktu untuk penyelesaian perkara menjadi lebih pendek, dan biaya berperkara otomatis menjadi lebih murah. Jika semua ini bisa diterapkan, maka prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan diharapkan akan terealisasi.
Penulis: Marfuatul Latifah, S.H.I., LL.M.
Abstrak:
In 2009, Indonesia is a country with the highest level of corruption in Southeast Asia. It shows that eradication of corruption in Indonesia is less effective. Proof upside down, is expected to be one solution to increase the eradication of corruption. Evidence has been poured upside down in the Act No.31 of 1999. However, until now has not be applied as a system of evidence in solving criminal cases of corruption. This paper discusses the obstacles in the implementation of proof reversed in the completion of corruption.
Obstacles in the implementation of evidence found on the reverse inequality formulation of proof upside down in Act No. 31 of 1999. Proof inversely regulated without being accompanied by formal law regulating the implementation mechanism of proof is reversed. The importance of these mechanisms is that the arrangement of proof reversed a lex specialist of the Penal Code. In addition, law enforcement officials, not knowing the substance and how the application of proof upside down so that it also inhibits the implementation of proof reversed in the completion of corruption.
Penulis: Harris Yonatan Parmahan Sibuea, S.H., M.Kn.
Abstrak:
The State control of the land does not mean that the State owns the land, but rather the State regulate land use through the development of which is directed to achieve prosperity for all citizens. Land acqusition for development is one way to increase prosperity for the people, but the available land is extremely limited. Government policies as legal foundation to acquire the land has not been effective and no longer appropriate to solve the problem for the implementation of land acquisition for development. These problems include the concept of public interest and the basic for calculating compensation in land acquisition process for development. The concept of public interest must clearly type that devoted to the interests of the people and the market value of land should be the basic for calculating damages in the process of land acquisition for development. It is time our country has a higher legal foundation for regulating the provision of land for development to improve people's welfare. The author recommends that these issues be taken into consideration in the process of the Draft Law on Land Acquisition for Development Interest
Penulis: Monika Suhayati, S.H., M.H.
Abstrak:
The intelligence body is the foremost line in national security system by conducting early detection and early warning system in preventing and overcoming any threat to national security. The confidential character of the intelligence body equipped with special authority has made possible it becomes a subject of human right violation. However, the acknowledgement and protection of the human right have been regulated in our constitution and the human right law number 39 year 1999. This essay attempts to examine the complexion problems between the implementation of intelligence function to ensure the national security and the necessity of human right’s protection. In solving the problem, it is important to have the national intelligence law. The law must regulate the consideration of human right’s protection in the implementation of intelligence task and authority; in its profesional etic code and sworn; penalty sanction given in the event any violation; and the multilayered oversight to intelligence bodies.
Penulis: Luthvi Febryka Nola, S.H., M.Kn.
Abstrak:
Cooperatives as a form of business entities need capital to run its business. This paper discussed about the issues and the legal aspect of capital, which was related in the act of cooperation No. 25/1992. The results of this study showed that the unclear about rules on reserve funds and the ineffectiveness of rules on bond. In addition there were problem related to the usage of the term “saving”, the distribution of reserve funds, the existence of grants and the lack of private sector role in order to promote the cooperatives effort. So, I recommended that the act of cooperatives should regulate clearly about the reserve fund. Also the abolishing rules regarding grants because it was in conflict with the principle of self-reliance in cooperative. Beside that, the involvement of private sector was highly needed to optimize the cooperatives through loans and equity capital.
Penulis: Shanti Dwi Kartika, S.H., M.Kn.
Abstrak:
The Constitutional Court verdict Number 11-14-21-126-136/PUU-VII/ 2009, dated March 31st, 2010, related to judicial review of Law Number 9 in 2009 on Educational Legal Entity, granted the request of the applicant for the most part. One of the ruling of the Constitutional Court stated that Law Number 9 of 2009 on Educational Legal Entity contrary to the State Constitution of the Indonesia Republic 1945 and has no binding legal force. The Constitutional Court verdict brings implications on education in Indonesia. This essay analyzes the juridical implications of The Constitutional Court Verdict Number 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009. Juridical implications of the verdict related to the existence of a legal vacuum (rechtvacuum) and the implementation levels of education. The juridical implications influence legislation governing the management and implementation of education, especially the education unit of governance. Therefore, it is necessary immediately to establish a law as a substitute for The Law of Educational Legal Entity and do a redesign for the conductor of the educational unit.
Penulis: Denico Doly, S.H., M.Kn.
Abstrak:
Road infrastructure is one that must be constructed in Indonesia. Road construction requires huge capital. Government in order to build roads, make a joint venture with infrastructure financing institution. Financing institutions is one important institution in Indonesia. Financial institution regulated in Presidential Regulation No. 9 of 2009 on Financing Institutions. Juridical arrangements regarding financing institutions have been inadequate. This is because the arrangement of financing institutions are regulated in the presidential and ministerial decrees. The importance of these financial institutions need a clear arrangement and can also be a "legal foundation" in the regulation of financial institutions. This paper will analyze the legal aspects of infrastructure financing in Indonesia.
Penulis: Trias Palupi Kurnianingrum, S.H., M.H.
Abstrak:
The economic globalization has influenced natural resources legislation. It happens because the basic values of neo economic-liberalism has slipped into the current of globalization, which causing the natural resources legislation can be cancelled by the constitutional court because is not incompatible with the spirit nationalism of our nation. This is what truly happended in Indonesia if an economic constitutional policy is controlled by the constitution of 1945, so the impact is our constitutional wont allow the market mechanism walking freely without a state interference. To overcome this situation, the constitution must collaborate with market mechanism.
Penulis: Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM.
Abstrak:
The robbery cases which being occurred in Indonesia currently are not just usual type such as house robbery with sharp weapon, but armed robbery with bank as target, jewelry stores, vehicle dealers, and pawnshop. There are many kind of robberies, each typology has a different approch how to overcome it. Therefore, to find a strategy which more responsif and accurate, demand a good comprehension concerning the typology of robbery. The purpose of this study is to find out about typology of robbery in Indonesia. This is a library research, which means more more deeply analyze secondary data collected. The data which being search is about general typologies of robbery as well as news and information concerning robbery cases that taken place in Indonesia. Based on the result of the research which had been done, researcher concluding that: First, Typologi Based on the Occasion, namely robbery based on the target and robbery based on the tactics of the execution all things occurred in Indonesia. Second, Typologi Based on the Offender, namely four general typologi of robbery (professional robbers, opportunist robbers, addict robbers, and alcoholic robbers), all types of the robbers are exist in Indonesia. From the investigation concerning robbery cases in Indonesia, researcher discover another classifications which is not exist in general typologies of robbery, namely: recidivist robbers type, amateur robbers type, aggravated robbers type, and impostor robbers type.