Parliamentary Review

Vol. IV / No. 2 - Juni 2022

Penulis:
(Sri Nurhayati Qodriyatun, S.Sos., M.Si.)
(Anih Sri Suryani, S.Si., M.T.)

Abstrak:
Lahan merupakan sumber daya alam yang berperan penting bagi kelangsungan hidup manusia. Pemanfaatan lahan sering kali kurang bijaksana dan tidak mempertimbangkan keberlanjutannya sehingga menimbulkan berbagai dampak negatif bagi lingkungan. Artikel ini mengulas dampak deforestasi terhadap emisi GRK dan upaya yang dapat dilakukan Indonesia dalam menanggulangi emisi GRK akibat lahan kritis yang disebabkan oleh deforestasi. Kajian memperlihatkan deforestasi berdampak terhadap meningkatnya emisi GRK Indonesia dan menyumbang pemanasan global. Upaya kebijakan yang dapat dilakukan antara lain dengan pengurangan laju deforestasi dan laju degradasi, konservasi dan pengelolaan hutan lestari, perlindungan dan restorasi lahan gambut, dan mempercepat reforestasi lahan kritis. Inisiatif komunitas sangat penting agar upaya pengurangan emisi dari pemanfaatan lahan ini berjalan efektif, dan diharapkan dilakukan secara kolaboratif antara pemerintah daerah, masyarakat, dan kalangan swasta. Di sisi lain, pengembangan teknologi yang tepat guna juga diperlukan agar tercapai efisiensi upaya pengurangan emisi dari segi waktu, biaya, dan tenaga. Ke depan perlu ada optimalisasi sumber daya lahan untuk meningkatkan produktivitas, pembenahan kebijakan dan tata kelola, serta pengembangan teknologi agar upaya pengurangan emisi GRK dari sektor lahan mencapai apa yang ditargetkan. Komisi IV DPR RI dapat mengawasi kebijakan pemerintah terkait pemanfaatan hutan dan lahan serta mendorong pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan FoLU net carbon sink.

Penulis:
(Rafika Sari, S.E., M.S.E.)
(Nidya Waras Sayekti, S.E., M.M.)

Abstrak:
Indonesia merupakan produsen dan konsumen minyak kelapa sawit terbesar dunia. Namun demikian, masyarakat mengalami kesulitan mendapatkan minyak goreng dan harganya melambung tinggi sejak Januari 2022. Kajian ini bertujuan untuk memetakan permasalahan tata niaga minyak goreng di Indonesia dan mengetahui regulasi pemerintah untuk mengatasinya. Kajian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif dari berbagai sumber referensi baik buku, jurnal, peraturan perundangan, maupun media yang mempublikasikan mengenai permasalahan tata niaga minyak goreng. Hasil kajian menunjukkan bahwa fluktuasi harga minyak goreng, dominasi ekspor dan minimnya pemenuhan kebutuhan minyak goreng nasional, kekurangan pasokan minyak goreng, serta kebutuhan CPO untuk biodiesel menjadi gambaran bagi permasalahan tata niaga minyak goreng di Indonesia. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi atas minyak goreng, di antaranya penetapan HET minyak goreng curah dan pelarangan sementara ekspor CPO beserta produk turunannya sebagai bahan baku minyak goreng. Selain itu, pemerintah juga memberikan subsidi harga minyak goreng curah bagi masyarakat dan pelaku usaha mikro dan kecil, serta menyalurkan bantuan langsung tunai minyak goreng selama bulan April-Juni 2022. Namun demikian, implementasi kebijakan tersebut perlu dilakukan pengawasan dan evaluasi oleh berbagai pihak baik dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Badan Perlindungan Konsumen Nasional, DPR RI, masyarakat, maupun pemerintah agar harga minyak goreng dapat stabil dan terjangkau oleh masyarakat.

Vol. IV / No. 1 - Maret 2022

Penulis:
(Dr. Rasbin, S.TP., M.S.E.)
(Eka Budiyanti, S.Si., M.S.E.)

Abstrak:
Surplus neraca perdagangan Indonesia (NPI) saat pandemi Covid-19 mencapai nilai paling tinggi dibandingkan periode sebelumnya. Indonesia harus menjaga keberlanjutan momentum ini. Tulisan ini menganalisis faktor-faktor penyebab tingginya surplus NPI saat pandemi Covid-19 dan upaya memelihara keberlanjutan momentum surplus NPI melalui pengembangan ekspor. Hasil analisis menggunakan metode kualitatif deskriptif menunjukkan bahwa tingginya surplus NPI saat pandemi Covid-19 disebabkan nilai ekspor lebih tinggi dibandingkan impor dan peningkatan nilai ekspor maupun impor lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi Covid-19. Peningkatan ekspor tersebut didorong oleh naiknya harga komoditas global dan perbaikan ekonomi global tahun 2021. Komoditas ekspor yang dominan adalah bahan bakar mineral serta lemak dan minyak hewan/nabati. Untuk menjaga momentum surplus NPI, upaya-upaya peningkatan kinerja ekspor di antaranya perbaikan iklim usaha dalam negeri dan peningkatan export share. Peningkatan export share melalui percepatan proses ratifikasi perjanjian internasional dan peningkatan peran serta fungsi perwakilan perdagangan di luar negeri. Upaya-upaya ini sangat membutuhkan dukungan DPR RI khususnya Komisi VI, yaitu fungsi legislasi terkait ratifikasi perjanjian internasional dan fungsi pengawasan terhadap kebijakan pemerintah.

Penulis:
(Drs. Ahmad Budiman, M.Pd.)
(Debora Sanur Lindawaty, S.Sos., M.Si.)

Abstrak:
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah melakukan uji coba KTP elektronik (e-KTP) dalam bentuk digital. Uji coba yang dimulai sejak tahun 2021, telah menjangkau 58 kabupaten/kota di Indonesia. Kebijakan e-KTP Digital setidaknya akan mengelola data pribadi kependudukan. Tulisan ini akan mereviu peran pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan kebijakan e-KTP Digital. Peran ini secara spesifik terkait dengan kebijakan pemerintah mengenai identifikasi data kependudukan, perlindungan data pribadi kependudukan, dan peran pemerintah daerah dalam pelaksanaan kebijakan e-KTP Digital. Saat ini Dukcapil Kemendagri tengah menggelar pelatihan sumber daya manusia (SDM) untuk pengembangan sistem informasi data kependudukan dari e-KTP menuju e-KTP Digital. Pelatihan dilakukan terhadap semua operator di kabupaten/kota demikian pula uji coba telah dilakukan secara internal terhadap pegawai Dukcapil daerah. Berdasarkan hal tersebut di atas maka terkait dengan pelaksanaan kebijakan e-KTP Digital, beberapa hak yang dimiliki oleh pemilik data kependudukan sebagai subjek data pribadi perlu mendapatkan perhatian serius untuk mendapatkan pelindungan dari pemerintah. Pada saat kebijakan ini dilaksanakan maka masyarakat juga perlu mendapatkan informasi yang jelas dan transparan dari pemerintah terkait proses dan hak akses data pribadi yang telah diinput ke dalam aplikasi kependudukan tersebut. Diharapkan, e-KTP dapat mempermudah serta mempercepat transaksi berbagai akses layanan publik yang berbentuk digital dan juga akan menjaga keamanan data identitas diri pemilik e-KTP. Dengan menggunakan sistem keamanan yang baik maka kemungkinan adanya pemalsuan data dapat dihindari.

Vol. III / No. 4 - Desember 2021

Penulis:
(Drs. Ahmad Budiman, M.Pd.)

Abstrak:
Pembangunan infrastruktur telekomunikasi di daerah 3T berhadapan dengan tantangan kondisi geografis di 3T cukup menantang. Aksesibilitas teknologi informasi komunikasi (TIK) yang terbatas di daerah 3T menyebabkan terhambatnya akselerasi digital di semua sektor kehidupan masyarakat. Pemerintah memiliki kewajiban untuk mengatasi kendala di daerah 3T, namun lebih dari itu justru harus mampu mendorong kedaulatan digital. Pada sisi yang lain, potensi pengguna internet di Indonesia yang semakin meningkat, perlu dijadikan sebuah tantangan dalam mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi digital. Untuk itu tulisan ini akan membahas kedaulatan digital di daerah 3T dari aspek tantangan kedaulatan digital, pemanfaatan digital deviden, dan prospek kedaulatan digital di daerah 3T. Terdapat 12.548 desa/kelurahan yang belum terjangkau sinyal 4G. Upaya yang dilakukan Pemerintah yaitu mempercepat pembangunan BTS di 4.200 desa/kelurahan pada tahun 2021, meningkatkan jaringan backbone, dan mengefektifkan penggunaan satelit telekomunikasi di Indonesia. Tantangan untuk mewujudkan kedaulatan digital juga didukung dengan peningkatan kompetensi talenta digital. Pemanfaatan digital deviden akan mendatangkan estimasi multiplier effect bila sebagian besar diperuntukan untuk keperluan telekomunikasi seluler pita lebar. Prospek kedaulatan digital bagi masyarakat di daerah 3T diartikan sebagai kuasa penuh atas seluruh produk, konten, dan layanan digital yang hadir di sebuah negara. Untuk itu rekomendasi dalam mewujudkan kedaulatan digital di Indonesia yaitu meningkatkan kualitas dan kuantitas lingkungan digital di tanah air, memaksimalkan pembangunan masyarakat digital, mempercepat konektivitas digital dalam rangka meningkatkan ekosistem ekonomi digital, serta pemutakhiran dasar regulasi yang mengaturnya.

Vol. III / No. 3 - September 2021

Penulis:
(Novianti, S.H., M.H.)

Abstrak:
Alih status kepegawaian KPK sebagai ASN yang dilaksanakan melalui asesmen TWK dan keputusan KPK dalam memberhentikan 51 pegawai KPK yang tidak lolos asesmen TWK menimbulkan perdebatan oleh berbagai pihak. Tulisan ini mengkaji akibat hukum pelaksanaan alih status kepegawaian KPK sebagai ASN. Hasil analisis menunjukkan Peraturan KPK No. 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Status Pegawai Menjadi ASN khususnya dalam pelaksanaan TWK harus sejalan dengan UU ASN sebagai konsekuensi hukum dari Perubahan UU KPK yang menempatkan kedudukan KPK sebagai bagian dari lembaga eksekutif. Berdasarkan Putusan uji materiil MK dan MA, alih status pegawai KPK menjadi ASN tidak bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan terkait, sehingga alih status pegawai KPK menjadi ASN secara yuridis sah dan memiliki kekuatan hukum tetap. Namun, Putusan MK menyatakan bahwa hasil TWK menjadi kewenangan pemerintah. Dengan demikian terkait proses TWK pemerintah perlu memperhatikan temuan dan rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM. Selanjutnya Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan potensi, dan manajemen ASN, perlu mengambil tindakan tegas terhadap pemberhentian 51 pegawai KPK sebagaimana pernyataan Presiden bahwa pengalihan status pegawai KPK sebagai ASN tidak merugikan pegawai KPK.

Penulis:
(Tri Rini Puji Lestari, S.K.M., M.Kes.)

Abstrak:
Penerapan kebijakan PPKM sejak terjadinya pandemi Covid-19 di Indonesia, dilakukan sebagai upaya untuk menekan laju penularan virus Corona di tengah masyarakat. Namun, realita masih tingginya jumlah kasus harian Covid-19 di beberapa wilayah di luar Jawa-Bali menunjukkan bahwa masih terjadi berbagai pelanggaran PPKM oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Tulisan ini membahas sejumlah kebijakan PPKM yang diterapkan selama pandemi dan berbagai faktor yang memengaruhi kepatuhan masyarakat terhadap PPKM tersebut. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah kualitatif. Hasil pembahasan menunjukkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat tidak patuh terhadap PPKM. Jumlah kasus harian Covid-19 di beberapa wilayah Jawa-Bali menurun, namun di beberapa wilayah luar JawaBali justru meningkat. Hal ini dikarenakan masih rendahnya kepatuhan masyarakat di luar Jawa-Bali terhadap PPKM. Selain faktor eksternal dan faktor endogen, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan masyarakat tidak patuh terhadap PPKM antara lain motivasi, tingkat perubahan gaya dan kebutuhan, persepsi keparahan masalah kesehatan, pengetahuan, dampak dari perubahan, budaya, dan tingkat kepuasan serta kualitas pelayanan kesehatan yang diterima. Diperlukan strategi khusus agar dengan sukarela masyarakat mau patuh terhadap PPKM. Kualitas dari orang yang melakukan perubahan dan konsistensi dalam melakukan perubahan menjadi kunci kesuksesan. Untuk itu perlu kerja sama antara pemerintah dan masyarakat.

Vol. III / No. 2 - Juni 2021

Penulis:
(Yulia Indahri, S.Pd., M.A.)

Abstrak:
Pendidikan merupakan hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi. Setiap orang berhak mendapat pendidikan bermutu, yang menjadikan perkembangan siswa sebagai inti dari sistem pendidikan, dan mempersiapkan siswa menghadapi masa depan. Sebelum terjadinya pandemi Covid-19, pemerintah telah berupaya menyelenggarakan pendidikan secara maksimal dengan metode pembelajaran tatap muka (PTM) sebagai andalan. Namun sejak pandemi, kondisi menjadi tidak kondusif sehingga penyelenggaraan pendidikan harus diubah, di mana para peserta didik harus belajar dari rumah. Metode pembelajaran jarak jauh ini dinilai tidak efektif dan jika berlangsung semakin lama dikhawatirkan akan menambah learning loss yang sangat berpotensi merugikan. Tulisan ini mengkaji kemungkinan mengembalikan metode PTM setelah setahun pandemi. Perlu pertimbangan yang cermat untuk memulai PTM di tengah pandemi yang masih terus berlangsung. PTM diharapkan dapat memberikan hasil yang maksimal dalam membangun mutu pendidikan. Penyelenggaraan PTM harus dipastikan aman dari bahaya Covid-19. Prosedur kesehatan yang ketat mutlak diperlukan, dan vaksinasi pendidik dan tenaga kependidikan perlu segera dituntaskan. Selain itu, pemerintah perlu mengupayakan pengembangan vaksin bagi anak-anak guna pencegahan Covid-19.

Penulis:
(Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.)
(Monika Suhayati, S.H., M.H.)

Abstrak:
Seperti dua sisi mata uang, pelindungan data pribadi memiliki dua sisi kepentingan, yakni kepentingan privat dan publik. Pengungkapan data pribadi sejumlah pasien Coronavirus disease 2019 (Covid-19) yang merupakan data rahasia sebagai upaya pemenuhan hak masyarakat terhadap informasi penyebaran Covid-19, menjadi polemik di masyarakat. Tulisan ini mengkaji pengaturan pelindungan data pribadi konsumen dalam penanganan Covid-19 dan urgensi penguatan legislasi pelindungan data pribadi konsumen. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengaturan pelindungan data pribadi konsumen dalam penanganan Covid-19 belum diatur secara komprehensif, tetapi tersebar dalam beberapa undang-undang sektoral. Penguatan regulasi pelindungan data pribadi konsumen melalui pengaturan secara komprehensif dalam undang-undang khusus perlu dilakukan untuk menghindari praktik penyalahgunaan penggunaan data pribadi konsumen tanpa persetujuan pemilik data pribadi sekaligus untuk memberikan dampak positif terhadap perekonomian nasional. Di samping itu penguatan legislasi juga penting untuk memperkaya materi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelindungan Data Pribadi dalam kaitannya dengan pelindungan data pribadi pasien sebagai konsumen jasa kesehatan dalam arti luas. DPR RI perlu mendorong penyelesaian pembahasan RUU tentang Pelindungan Data Pribadi.

Penulis:
(Debora Sanur Lindawaty, S.Sos., M.Si.)
(Drs. Ahmad Budiman, M.Pd.)

Abstrak:
Pandemi Covid-19 memengaruhi upaya Pemerintah dalam melakukan pelindungan data pribadi. Namun, hingga saat ini belum ada regulasi yang menjadi dasar dalam menjaga dan menyimpan data privasi masyarakat dalam penangangan Covid-19. Berdasarkan hal tersebut tulisan ini akan mengulas peran Pemerintah terhadap pelindungan data pribadi dalam penanganan Covid-19 dan memberikan rekomendasi kepada DPR RI dalam rangka penyempurnaan substansi RUU Pelindungan Data Pribadi yang sampai saat ini masih dibahas bersama Pemerintah. Ditemukan bahwa dalam menjaga keamanan dan kerahasiaan data pribadi pasien dalam proses transfer data pribadi, pihak Kemenkes telah menghasilkan aplikasi sistem informasi yang bernama Sistem Informasi Rujukan Terintegrasi (Sisrute). Melalui sistem ini, transfer data hanya dilakukan terhadap resumenya saja. Demikian pula Kemensos melakukan verifikasi data yang ada di aplikasi dengan melakukan perjanjian kerja sama dengan Ditjen Dukcapil Kemendagri terkait data NIK dan NKK. Namun demikian, faktanya berbagai regulasi muncul akibat pandemi juga belum ada yang mengatur secara spesifik tentang perlunya menjamin kerahasiaan data pribadi masyarakat. Oleh sebab itu pemerintah pusat dan daerah perlu membuat regulasi khusus agar data yang dapat dibuka secara umum hanyalah nama, usia, dan jenis kelamin. Namun, data lain sebaiknya tetap diarsipkan oleh pemerintah daerah dan pihak terkait yang turut melakukan pendataan seperti rumah sakit atau pihak pemberi bantuan.

Penulis:
(Achmad Sani Alhusain, S.E., M.A.)

Abstrak:
Pandemi Covid-19 telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2020 mengalami kontraksi sebesar 2,07%. Kontraksi ini disebabkan oleh menurunnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor pada sisi pengeluaran. Di samping itu, terdapat 10 lapangan usaha mengalami kontraksi pertumbuhan pada sisi produksi. Tulisan ini menggunakan metode kualitatif deskriptif guna memahami fenomena yang terjadi dengan menganalisis data sekunder yang dikeluarkan secara resmi oleh pemerintah. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisis upaya penguatan kebijakan pemulihkan ekonomi 2021 di tengah pandemi Covid-19 yang belum mereda. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan pemulihan ekonomi pada tahun 2020 sudah mampu menahan tekanan pelemahan ekonomi Indonesia yang paling dalam, tetapi belum mampu mengeluarkan Indonesia dari resesi. Untuk itu, pada kebijakan pemulihan ekonomi pada tahun 2021 perlu prioritas penguatan kebijakan berikut. Pertama, penguatan daya beli masyarakat untuk meningkatkan konsumsi rumah tangga, salah satunya melalui pemutahiran data masyarakat yang terdampak. Kedua, melanjutkan dukungan terhadap UMKM dan Insentif untuk korporasi/UMB dengan lebih fokus pada lapangan usaha yang paling terdampak dan banyak menyerap tenaga kerja. Ketiga, meningkatkan capaian target vaksinasi masyarakat guna meningkatkan herd immunity sebagai kunci pemulihan ekonomi melalui pelonggaran mobilitas dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.

Vol. III / No. 1 - Maret 2021

Penulis:


Abstrak:

Vol. II / No. 4 - Desember 2020

Penulis:
(Dr. Suhartono, S.IP., M.P.P.)
(Venti Eka Satya, S.E., M.Si., Ak.)

Abstrak:
Kebijakan dana otonomi khusus (Dana Otsus) kepada Provinsi Papua dan Papua Barat yang telah berumur dua puluh tahun akan berakhir di tahun 2021. Apakah kebijakan tersebut telah berdampak signifikan terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat di Papua. Artikel singkat ini melihat dari indikator PDRB, kemiskinan, pengangguran dan IPM dari Provinsi Papua. Dari sejumlah indikator tersebut, ada perbaikan pada indikator PDRB dan pengangguran, tetapi kurang signifikan perbaikannya pada indikator kemiskinan dan IPM. Oleh karenanya, perlu perbaikan dari aspek pengelolaan Dana Otsus, yang telah menyumbangkan 47% pendapatan Provinsi Papua dan angkanya telah mencapai Rp.69,98 triliun sejak Tahun 2002 sampai 2020. Ke depannya, belanja pemerintah Papua harus bisa menjawab tuntutan kebijakan Otsus untuk memproteksi manusia, alam dan budaya. Untuk itu perlu dukungan agar belanja pemerintah Papua dapat menyentuh ketiga aspek yang akan dilindungi oleh kebijakan Otsus itu sendiri melalui peraturan perundangan yang lebih memberikan fleksibilitas nomenklatur belanja sebagai turunan dari tujuan Otsus, tetapi perlu diikuti dengan pengawasan yang ketat untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas penggunaan dananya.

Vol. II / No. 3 - September 2020

Penulis:
(Tri Rini Puji Lestari, S.K.M., M.Kes.)

Abstrak:
Sampai saat ini, jumlah kasus baru positif Covid-19 terus bertambah dan belum dapat dipastikan akhir dari kondisi Pandemi Covid-19 di Indonesia. Tingginya jumlah kasus baru Covid-19 merupakan cerminan penularan masih terjadi di masyarakat dan belum maksimalnya masyarakat melaksanakan imbauan protokol kesehatan. Namun di sisi lain, pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan pelonggaran PSBB. Memasuki era tatanan new normal perlu ada perubahan perilaku dalam penerapan protokol kesehatan karena dapat mempercepat penanganan pandemi Covid-19. Tulisan ini membahas kondisi penerapan protokol kesehatan di masyarakat dan mencermati tantangan serta peluang yang dapat dilakukan dalam mengubah perilaku masyarakat agar dapat disiplin menerapkan protokol kesehatan dalam percepatan penanganan pandemi Covid-19. Pelanggaran dan rendahnya penerapan protokol kesehatan serta ketidakpuasan masyarakat sebagai tantangan sekaligus pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Perubahan perilaku melalui pemberdayaan keluarga dan masyarakat melalui kegiatan Desa/Kelurahan/Kampung Tangguh Bencana Covid-19 merupakan kunci dalam pendisiplinan masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan. Tingkat keberhasilan sangat dipengaruhi oleh komitmen dan kerja sama semua sektor serta pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah daerah.

Penulis:
(Dian Cahyaningrum, S.H.. M.H.)
(Monika Suhayati, S.H., M.H.)

Abstrak:
Pandemi Covid-19 menimbulkan dampak di berbagai bidang, termasuk bidang ketenagakerjaan. Banyak pekerja yang terdampak Covid-19, antara lain pemutusan hubungan kerja (PHK) dan risiko tertular di tempat kerja. Tulisan ini mengkaji pelindungan hukum terhadap pekerja pada masa pandemi Covid-19 dan kendala regulasi dalam pelaksanaan pelindungan tersebut. Berdasarkan hasil kajian, hak tiap-tiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan telah dijamin dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain jaminan tersebut, negara juga harus memberikan pelindungan bagi pekerja. Pelindungan hukum bagi pekerja yang mengalami PHK diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor (No.) 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan No. M/3/HK.04/III/2020 dan No. M/8/HK.04/V/2020. Namun demikian, peraturan perundang-undangan tersebut memiliki kelemahan. UU No. 13 Tahun 2003 tidak mengatur masalah pelindungan pekerja jika terjadi pandemi, oleh karenanya perlu direvisi untuk mengatur masalah tersebut. Sementara peraturan dalam bentuk SE Menteri Ketenagakerjaan tidak mengikat gubernur dan pengusaha. Akibatnya pelindungan hukum terhadap pekerja lemah. Oleh karena itu pelindungan pekerja sebaiknya diatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan dengan hierarki lebih tinggi dari SE agar mengikat semua pihak untuk menaati dan melaksanakannya.

Penulis:
(Debora Sanur Lindawaty, S.Sos., M.Si.)
(Drs. Ahmad Budiman, M.Pd.)

Abstrak:
Pandemi Covid-19 telah menyebabkan pemerintah menemui tantangan dalam melakukan tugas dan kewajibannya dalam pelayanan publik. Tantangan terutama karena kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menyebabkan pelayanan publik terhambat. Demikian pula dengan kebijakan pembatasan aktivitas di kantor bagi seluruh pegawai termasuk Aparatur Sipil Negara dengan pemberlakuan bekerja dari rumah. Berdasarkan hal tersebut maka yang menjadi pertanyaan dalam tulisan ini yaitu bagaimana pengembangan model pelayanan elektronik dari sistem e-Government di era new normal? Ditemukan bahwa era new normal menuntut agar penggunaan media elektronik menjadi sarana utama pemerintah dan masyarakat dalam melakukan berbagai kegiatan. Peran pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan di era pandemi membutuhkan inovasi di bidang layanan berbasis teknologi informasi kepada masyarakat serta perlu juga ditunjang dengan ketersediaan data yang valid dan otentik. Tersedianya data yang valid dan otentik, menjadi salah satu indikator utama dari kepuasan masyarakat terhadap pemerintah di era new normal. Selain itu, pelaksanaan e-Government harus mampu membentuk interaksi komunikasi antara elemen pemerintah pusat, daerah serta masyarakat melalui sistem elektronik berbasis informasi digital. Realitanya, pertukaran informasi melalui digital jauh lebih cepat dan efektif dilakukan daripada melakukan interaksi informasi melalui pelayanan tercetak. Selanjutnya setelah era new normal pelayanan melalui online masih dapat terus dilaksanakan sebagai wujud modernisasi pelayanan dari pemerintah kepada masyarakat.

Vol. II / No. 2 - Juni 2020

Penulis:
(Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.)

Abstrak:
Rencana Pemerintah untuk membentuk ibu kota negara (IKN) baru memiliki implikasi hukum luas yang melibatkan kewenangan lembaga negara dan perlunya pembenahan regulasi. Tulisan ini menganalisis permasalahan kewenangan Pemerintah dalam pembentukan IKN dan menganalisis regulasi yang diperlukan baik regulasi yang wajib dibentuk untuk keabsahan pembentukan IKN maupun regulasi pendukung pelaksanaannya. Hasil analisis menunjukan bahwa kewenangan pembentukan IKN bukan merupakan kewenangan penuh Pemerintah, tetapi menjadi kewenangan bersama antara Pemerintah dengan DPR yang diwujudkan dalam persetujuan bersama pembentukan undang-undang (UU) mengenai IKN. Pemindahan IKN Republik Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur juga perlu didukung dengan perubahan beberapa peraturan perundang-undangan yang substansinya memiliki keterikatan dengan IKN. Salah satu UU yang harus direvisi adalah UU Nomor (No.) 29 Tahun 2007 Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hubungan ini, pembahasan RUU tentang IKN dan regulasi pendukungnya, harus dilakukan secara komprehensif dengan melakukan pengkajian mendalam terhadap setiap aspek. Sikap terbuka dan transparan terhadap masukan masyarakat juga perlu menjadi perhatian Pemerintah dan DPR RI dalam setiap tahap pembahasan RUU terkait.

Penulis:
(Sri Nurhayati Qodriyatun, S.Sos., M.Si.)

Abstrak:
Ibu Kota Negara (IKN) akan pindah ke Kalimantan Timur, tepatnya di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Alasan pemindahan IKN adalah bencana alam yang sering terjadi di Kota Jakarta (banjir, gempa bumi, dan permukaan tanah turun). Masalahnya, lokasi IKN tidak terbebas dari bencana alam (krisis air bersih, kebakaran hutan dan lahan, serta banjir). Tulisan ini mengkaji bagaimana meminimalisir bencana alam di IKN baru. Melalui studi kepustakaan, kajian ini menyimpulkan, perlu upaya antisipasi untuk mengurangi dampak ekologi di IKN baru, baik selama proses pembangunan infrastruktur maupun setelah menjadi IKN. Upaya itu antara lain melakukan reklamasi lahan bekas tambang, pengembangan dan penggunaan renewable energy sebagai sumber energi, penghijauan kembali kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), mempertahankan kawasan lindung dari alih fungsi lahan termasuk lahan gambut, melakukan penegakan hukum atas penyalahgunaan pemanfaatan lahan, penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran air dan udara, dan penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran lahan.

Vol. II / No. 1 - Maret 2020

Penulis:


Abstrak:

← Sebelumnya 1 2 3 Selanjutnya →